Makna tersirat ialah wujud atau pengertian mengenai penjelasan yang tidak disampaikan secara terang-terangan, tapi secara tersembunyi. Makna tersirat hanya dapat dipahami setelah memahami keseluruhan penjelasan tulisannya.

Tidak dapat kita sangka, tepat pada setahun yang lalu Minggu (19/7/2020) seorang maestro besar sastra kebanggaan tanah air tercinta (Republik Indonesia), menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Eka, Tangerang Selatan. 

Kepergian sang maestro ini membawa duka yang cukup dalam sehingga meninggalkan banyak kenangan mendalam bagi penikmat sastra dan puisi. Beliau bernama Sapardi Djoko Damono yang lebih dikenal dengan singkatan “SDD”.

Beliau lahir di Surakarta pada tanggal 20 Maret 1940. Eyang Sapardi juga merupakan seorang pujangga, sastrawan, dekan, dan juga Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia pada periode 1995—1999. 

Beliau dikenal sebagai seorang sastrawan hingga maestro sastra karena sepanjang kariernya, beliau menghasilkan berbagai karya puisi hingga novel yang sukses digemari banyak pembaca.

Salah satu yang menarik pada buku antologi puisi SDD adalah yang berjudul “Duka-Mu Abadi” merupakan salah satu puisi dari tulisan tangan Eyang Sapardi Djoko Damono yang bertengger di antara 42 puisi lainnya dalam buku pertama antologi puisi Duka-Mu Abadi yang terbit pada tahun 1967—1968. 

Selain itu, sang maestro ini juga menulis antologi lainnya seperti Yang Fana Adalah Waktu, Manuskrip Sajak Sapardi, dan yang paling terkenal adalah Hujan Bulan Juni.

Eyang Sapardi kerap kali ditanya mengapa judul antologi karyanya Hujan Bulan Juni. Eyang Sapardi pun menjawabnya dengan lugas, “Kalau bulan Desember itu nanti tidak ada artinya. Tidak ada yang nanya.” pungkas Eyang saat pelucuran buku Hujan Bulan Juni.

Dalam puisi “Duka-Mu Abadi” terdapat bagian puisi yang berjudul “Berjalan di Belakang Jenazah” karena dalam bait puisi tersebut dapat dikaitkan dengan kepergian sang maestro sastra Indonesia ini. 

Hampir seluruh penikmat sastra, bahkan keluarga yang ditinggalkan semua melangkah demi selangkah di belakang keranda jenazah beliau untuk melepas beliau untuk yang terakhir kalinya. Seperti yang termuat pada puisi di bawah ini.

Berjalan di Belakang Jenazah

Berjalan di belakang jenazah angin pun reda

Jam mengerdip

Tak terduga betapa lekas

Siang menepi, melapangkan jalan dunia

 

Di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala

Di atas: matahari kita, matahari itu juga

Jam mengambang di antaranya

Tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

Dalam puisi di atas terdapat makna terselip yang beliau tuliskan dalam puisi tersebut. Makna dari puisi tersebut yakni terdapat duka di balik kepiluan yang ditinggalkan yakni tentang perenungan mengenai kematian yang sudah pasti akan menghampiri kita.

Tidak hanya soal duka saja, di sini terdapat pada bagian yang menarik yakni “berjalan di belakang jenazah angin pun reda” yang memberikan makna dalam ketika mengantarkan jenazah sampai ke peristirahatan terakhirnya dengan keadaan entah merenung tentang kehidupan jenazah sebelum menghadapi sebuah kematian.

Dengan begitu, jika disimpulkan dari puisi “Berjalan di Belakang Jenazah” memberikan makna mendalam yakni ketika sesuatu yang tidak pernah bisa kita duga  bahwa kita harus melepas seseorang yang kita sayangi ketika usianya di dunia sudah usai, mengiringinya sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Seakan-akan dunia kita berhenti sementara meskipun jam dinding terus berputar. Seperti pada bagian “siang menepi, melapangkan jalan dunia” menjelaskan bahwa ketika akhir dari usia seseorang telah usai, jalan dunia “jadi lapang”.

Artinya bila seseorang pergi untuk selama-lamanya kita harus memiliki kelapangan hati yang abadi, mungkin dapat dikatakan mengikhlaskan.

Selain itu, dalam puisi ini kita mendapatkan sebuah pelajaran penting yakni merenungkan tentang kematian yang sudah pasti akan datang pada waktunya masing-masing.

Kita tidak tahu, kapan waktu itu akan tiba menghampiri kita, yang jelas ketika usia kita belum berakhir maka perbanyak ibadah. Lalu, setelah kita mengantarkan jenazah, kesadaran apa yang akan kita dapatkan?

Apakah kehampaan, penyesalan, atau bahkan meredup sekejap lalu kembali bangkit untuk meneruskan hidup tanpa orang yang disayang?

Seperti yang telah dijelaskan di atas mengenai kaitan dengan kepergian sang maestro sastra ini, seakan-akan memang Eyang Sapardi mengetahui bahwa ketika beliau akan pergi untuk selama-lamanya. 

hampir seluruh Indonesia tidak menduga bahwa beliau akan pergi secepat itu. Kemudian kepergian beliau diiringi dari orang-orang yang beliau cintai berjalan di belakang beliau dengan keadaan entah sedih, entah menunduk mengenang beliau.

Yang jelas kita harus bisa mengikhlaskan orang yang kita cintai dan melanjutkan kembali jalan hidup kita sampai waktu yang menjemput kita tiba.

Semoga makna dan pelajaran dalam puisi “Berdiri di Belakang Jenazah” yang termuat di dalam buku Duka-Mu Abadi yang ditulis oleh Eyang Sapardi bisa bermanfaat untuk pembaca.