Getaran dan porak-poranda membayangi Indonesia bagian Lombok. Gelap dan pekatnya membaluti sebagian wilayah Nusa Tenggara Barat. Tetap ada secercah cahaya tersebar, tersebar dalam tenda-tenda pengungsian. Luluh lantak bangunan, kalang kabut manusia, alam tertaklukkan, namun tidak menghentikan langkah insan dan menjatuhkan harapan tinggi para penerus negeri ini.
Gempa memang mampu melumpuhkan hidup dan kehidupan sebagai jaminan, namun energi semangat generasi ini terus melambung jauh. 5 Agustus 2018 waktu dimulai kehidupan yang baru.
Suara-suara nama Tuhan menggema, isak tangis manusia menjadi bising tatkala goncangan dahsyat berkekuatan 7,0 SR menyentuh muka bumi bagian Lombok. Harta dan tahta seketika lupa selain panjatan doa-doa seluruh masyarakat Indonesia dan rasa empati sebagai bentuk kemanusiaan dalam berbangsa dan bernegara.
Sebagian kita tak hanya larut pada tangis dan rasa iba semata, sederet hal lain pun turut mengikuti di balik terjadinya bencana alam. Dimulai dari viralnya seorang hamba yang mengimami salat saat gempa berlangsung, hingga penyelamatan diri ekstrem warga dalam pusat perbelanjaan.
Di balik itu, ada hal yang lebih mengerikan dari sebuah goncangan. Hoax sana-sini dari netizen yang budiman dengan mengaitkan preferensi politik mereka dengan adu domba media bahwa gempa Lombok akibat dari dukungan politik gubernur NTB, Tuan Guru Bajang (TGB) kepada Jokowi dalam Pilpres 2019. Demi Tuhan apa yang kalian sembah hingga pandangan tidak masuk akal ramai di lini masa rakyat Indonesia.
Namun satu hal yang pasti bahwa bencana alam lainnya sekalipun gempa akan bisa terjadi dalam ruang dan waktu yang tidak dapat kita request. Kita yang percaya akan Pencipta, fenomena alam seperti hal ini kita tamsilkan sebagai teguran terhadap hamba-Nya. Sehingga tulisan ini bukan untuk memperdebatkan dimensi politik yang disinyalir oleh sebagian publik, namun jauh dari itu, hal ini adalah bentuk empati kita dalam membangun solidaritas kemanusiaan.
Trauma dan pilu tentu dialami secara psikologis, terutama bagi masyarakat yang mengalami dampak secara langsung akan bencana alam gempa. Tidak ada satupun dari kita yang mengharapkan peristiwa ini. Kesedihan menjadi hal yang wajar secara manusiawi bagi siapa saja yang mengalaminya. Doa dan donasi adalah bentuk kepedulian yang dapat menguatkan dan mengobati traumatis serta kesulitan yang saudara-saudara kita alami di Lombok dan sekitarnya.
Doa dan donasi menjadi penyemangat akan kemanusiaan, namun hingar bingar hari kemerdekaan tetap akan selalu dirindukan. Tidak ada kemeriahan dan kemilau bendera merah putih sana-sini, tidak ada perlombaan untuk sekadar berfoto lalu dibagikan ke media sosial di kaki bukit, danau hingga puncak Gunung Rinjani.
“Tahun kemarin bisa jadi ada 1000 orang lebih ke puncak, 5000 orang di kaki bukit. Setiap 17 Agustus, bahkan tenda saja tak muat,” keterangan salah satu warga yang menyaksikan pemandangan berbalik 180 derajat. Karena menurutnya gempa telah mengubah segalanya.
Tak ada lagi orang berebut gaya di puncak gunung. Tatap haru terserap dalam makna kemerdekaan yang sederhana. Sehelai bendera putih berkibar dalam potongan kayu bambu. Mata berkaca-kaca menyaksikan pemandangan bendera tak lagi terpasang penuh. Bendera setengah tiang menjadi simbol peringatan bahwa kenangan bencana alam gempa patut kita ingat dan syukuri dalam irama kemerdekaan bangsa ini.
Doa yang syahdu turut mengiringi alunan suasana pulau seribu masjid itu. Hampir tiap titik posko merayakan kemerdekaan versi sederhana. Prosesi khidmat yang akan disampaikan oleh korban bahwa semangat berapi terus dikobarkan untuk membangun kembali Lombok.
Gempa 7 SR memang mengguncang fisik bumi Lombok, namun tidak akan ada keluhan bahwa iman akan goyah dan semangat akan luntur. Peristiwa ini menjadi renungan perjuangan bagi para pendahulu bangsa yang telah berjuang dengan darah untuk mendapatkan kemerdekaan Indonesia.
Memang saat ini, Jepang dan Belanda sudah tak lagi menjajah. Namun pada era sekarang, penjajahan berasal dari diri masing-masing. Warga lombok bertekad, merdeka adalah bebas dari mengeluh. Berikut kutip pesan heroik oleh Iskandar Zulkarnain, salah satu pembina upacara di wilayah Lombok Barat.
Namun maknanya adalah kemerdekaan dalam tanah gempa bukan untuk menuju dalam keterpurukan, momen warga dalam membangun kembali desa, masyarakat, generasi penerus bangsa dengan semangat adalah petikan arti yang harus kita gaungkan dalam jiwa tanah air kita.
Lombok dan sekitarnya mengajarkan kita bahwa kemerdekaan milik siapa saja yang menghendaki, dari segala kesempitan dunia terhadap leluasannya. Kemerdekaan dalam kesederhaan dimaknai dengan semangat dan bangkit membangun peradaban.
Sayup tertegun tatkala kesulitan yang mereka alami dikerangkai sebagai makna berbagi. Karena hakikatnya hidup tidak akan berarti jika kita saling menyakiti, maka manusia yang taat pada Ilahi mari berbagi terhadap sesama insani.
Semangat hari ini hampir sama dengan semangat 73 tahun yang lalu. Kalau dulu semangatnya merebut kemerdekaan, kalau hari ini semangatnya bangkit dari trauma atas musibah gempa.
Dirgahayu HUT RI ke 73 dan tetap semangat serta turut berbela sungkawa untuk Lombok dan sekitarnya. Salam takzim dan Merdeka!