Sudah hampir satu tahun virus Covid-19 menyerang Indonesia. Sejak awal laporan kemunculan pada 2 Maret 2020 hingga saat ini pasien positif belum juga mengalami penurunan secara signifikan. Berbagai kebijakan dan peraturan pun bermunculan guna memutus penyebaran virus.
Salah satu peraturan yang digunakan pemerintah adalah dengan mengajak masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan. Pemberlakuan protokol kesehatan diantaranya dengan memerhatikan 3M yaitu: memakai masker, mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, serta menjaga jarak.
Namun belum juga menampakkan keberhasilan, pemerintah menambahkan dua poin lain diantaranya: menjahui kerumunan, membatasi mobilisasi dan interaksi. Sehingga saat ini masyarakat memiliki 5M untuk digunakan meminimalisir tertular virus Covid-19.
Entah akan bertambah lagi atau tidak, namun yang jelas 17M sudah diwacanakan walaupun hilang di tengah proses penyelidikan. Tidak habis pikir kalau semuanya sudah direncankan sebulan sebelum terjadi kasus pertama Corona di Indonesia. Kesal dan terpesona melihat keahlian cenayang tidak hanya digeluti para sesepuh akan tetapi, seorang Menteri pun terpikat untuk mengasah bakat tersebut.
Bahkan tak sekadar mengasah. Mereka seakan-akan hilang ingatan akan sumpah dan janji menjadi pejabat negeri. Tidak memedulikan nasib rakyat yang kini tengah berjuang melawan: kemiskinan, penggusuran, dan ancaman lain yang tentu semakin kompleks. Fenomena semacam ini menunjukan betapa hipokrit dan manipulatif sesunggahnya pergulatan umat manusia dalam peradaban.
Korupsi dan Tindakan Memaklumi
Pandemi ini membuka tabir budaya korupsi yang marak terjadi. Maklum, bukan kali pertama ini saja namun teramat sering negara kecolongan dalam menangani kasus tersebut. Sungguh tragedi nan tragis yang menimpa negeri ini kala pandemi. Mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena komisi yang dilemahkan, Saya rasa tidak sepenuhnya benar.
Kenyataannya mereka mampu mengungkap kasus korupsi dari mulai: kasus korupsi Bupati, dugaan suap yang melibatkan Komisioner, bahkan dua Menteri pun turut ikut dalam daftar operasi. Tentu hal itu tidak dapat sepenuhnya dijadikan acuan bahwa lembaga tersebut tidak benar-benar dilemahkan.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kelanjutan kasus korupsi tersebut? Atau justru para koruptor dibiarkan menjadi buron sampai batas waktu yang tidak ditentukan?. Demi ini dan itu, sejumlah hal wajib disembunyikan. Mengenai proses selanjutnya semua sudah diatur dan diproses yang berwenang, sebagai masyarakat sudah sewajarnya memercayai tugas berat yang diemban lembaga tersebut.
Segala sesuatu pasti mendapat balasan setimpal. Tidak akan ada sel mewah untuk kasus korupsi di tengah pandemi. Bahkan hukuman mati menanti para koruptor tersebut. Pasti mereka bakal dibikin repot dan frustasi karena kesalahannya sendiri. Sehingga tidak akan bermunculan kasus korupsi lain di negeri ini.
Kepentingan Umum Kala Pandemi
Meskipun saat ini kasus positif Covid-19 dibeberapa wilayah menunjukan penurunan, akan tetapi protokol kesehatan harus tetap ditegakan tanpa pandang bulu. Guna memutus rantai penularan, salah satu alternatif yang digunakan adalah dengan memberlakukan jam malam dan pembatasan aktivitas masyarakat.
Hal tersebut dilakukan dengan amat sangat ketat. Terbukti dari gencarnya aparat gabungan dari siang hingga petang mengawasi dan memberi sanksi kepada masyarakat yang melanggar. Tentu hal tersebut patut diapresiasi. Meskipun ada yang mampu meloloskan diri saat melakukan pelanggaran— melibatkan pimpinan partai dan kalangan pejabat, bahkan tidak diproses sama sekali.
Sudah sepatutnya kita memaklumi saja kekalutan dan kekhilafannya. Karena sekali lagi peraturan ini ditujukan kepada masyarakat agar tidak mengganggu “kepentingan umum”. Seperti pembatasan ruang gerak masyarakat guna menekan laju kasus positif Corona sering kali berganti arti. Jika sebelumnya PSBB (Pembatasan Sosial Berskal Besar) kini diganti dengan istilah PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).
Keduanya hampir sama, perbedaanya terletak pada inisiatif pengajuan pembatasan berasal dari Pemerintah Pusat. Prioritas dari kedua istilah tersebut pun berbeda, dalam PPKM hanya menekankan di Ibu Kota 7 Provinsi. Termasuk di Jawa Tengah yang melingkupi wilayah Semarang Raya, Banyumas Raya, Kota Surakarta dan sekitarnya.
Bebarengan dengan kebijakan tersebut, Gubernur Jawa Tengah sudah kali kedua melakukan PPKM. Pertama kegiatan tersebut dilakukan pada tanggal 11-25 Januari 2020. Tentu terdapat pro dan kontra di dalamya. Terlebih dalam peraturan tersebut termuat perintah penutupan jalan dari pukul 21:00-06:00 WIB.
Dengan diberlakukannya penutupan jalan tentu mobilisasi masyarakat mengalami stagnasi. Beberapa ruas jalan pun ditutup selama 24 jam dalam dua minggu berturut-turut. Bahkan sempat diperpanjang mengikuti intruksi Mendagri Nomor 2 Tahun 2021 tentang perpanjangan PPKM.
Ironisnya PPKM pertama pun tidak memberikan hasil yang memuaskan. Hingga muncul inisatif PPKM kedua dengan melakukan gerakan “Jateng di Rumah Saja”. Gerakan ini dilakukan mulai tanggal 6-7 Februari.
Indikasi Salah Meramal
Di sini terlihat jelas bahwa upaya pemerintah untuk mengatasi prahara pandemi mendekati optimal. Namun resiprositas antara masyarakat dan pemerintah perlu diperbaiki kembali. Terlebih mengenai sistem informasi kala pandemi dan berbagai kebijakan dalam menyikapi situasi ini. Banyak sekali silang-menyilang peraturan yang tidak karuan. Akan tetapi hal tersebut dapat dimaklumi lantaran pandemi ini hadir tanpa memberikan isyarat apapun.
Sehingga wajar jika pemerintah terlihat gugup dalam merspons dan mengahadapinya. Kelambanan semacam itu tidak hanya dirasakan oleh pemerintahan di Indonesia akan tetapi, semua negara di seluruh dunia pun merasakan hal serupa.
Indikasi soal salah meramal peraturan merupakan bagian terakhir karena, semua sudah berupaya dengan sekuat tenaga. Baik lahir maupun batin. Dan yang perlu ditekankan bahwasanya sebuah kebijakan tentu memiliki kekurangan jika diletakan pada tempat yang berbeda. Ada nilai positif dan nilai negatif setelah penerapan kebijakan tersebut dijalankan.
Lagi pula, kewajiban untuk mentaati protokol kesehatan merupakan upaya bersama dalam memerangi ekspansi virus Corona. Jadi, sudah sepatutnya tidak saling menyalahkan satu sama lain. Menjaga sinergitas untuk melawan virus adalah kuncinya. Meskipun demikian memaklumi segala hal tanpa sikap waspada adalah kurang bijaksana.