Desa Nyatnyono merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.
Terletak di lereng puncak Suroloyo, yang merupakan bagian dari Gunung Ungaran, kawasan Nyatnyono terbilang cukup dingin.Dengan ketinggian berkisar 600-800 MDPL, Desa Nyatnyono menjadi destinasi bagi para turis pencari kabut.
Dengan kekayaan sumber daya alam dan wisata yang dimiliki Desa Nyatnyono, menjadikan desa ini sebagai desa wisata religi di Kabupaten Semarang.
Nyatnyono terkenal dengan makam dari Waliyullah Mbah Hasan Munadi dan Mbah Hasan di puro, kedua tokoh tersebut merupakan wali penyebar agama Islam di wilayah Ungaran, khususnya Desa Nyatnyono.
Menurut beberapa informasi dari pengakuan warga setempat, Mbah Hasan di puro merupakan putra dari Mbah Hasan Munadi.
Sementara Mbah Hasan Munadi merupakan putra keturunan dari Prabu Brawijaya V, Raja atau penguasa dari Kerajaan Majapahit.
Sejarah Singkat Desa Nyatnyono dan Tokoh Ulama Mbah Hasan Munadi
Sejarah singkatnya adalah pada awalnya sebuah kerajaan Islam di Jawa yaitu Kerajaan Demak yang dipimpin oleh pemimpin yang bijaksana serta mempunyai akhlak yang mulia yaitu Raden Fatah.
Pada saat kepemimpinan Raden Fatah, hidup rakyatnya berada dalam kesejahteraan, kemakmuran dan ketentraman serta kerja sama yang harmonis antara ulama dan pemimpinnya.
Sehingga kerajaan Demak mengalami kemajuan yang pesat, Keberhasilan yang dicapai oleh kerajaan Demak tersebut tidak luput dari berperannya seorang ulama Waliyullah yang berpangkat menjadi Tumenggung.
Waliyullah Sunan Hasan Munadi, beliaulah yang memimpin tentara kerajaan Demak dalam melawan segala kejahatan, keangkuhan yang ingin menggoyahkan kerajaan.
Beliau juga merupakan figure pemimpin yang berwibawa, pemberani, dan bijaksana.
Sunan Hasan Munadi mempunyai peran yang besar dalam memperjuangkan dakwah keislaman.
Pada zaman islam dahulu kala, kultur budaya yang sangat kental adalah kultur budaya Hindu - Budha sehingga mewarnai kehidupan masyarakatnya beserta kepercayaan Animisme dan Dinamismenya.
Pada saat itulah Sunan Hasan Munadi bertekad menyampaikan ajaran-ajaran yang benar yang menuju keridhoan Allah SWT.
Wisata Di Desa Nyatnyono
Selain itu, di dekat lokasi makam, terdapat Masjid Subulussalam yang cukup kuno, yang mana masjid tersebut merupakan peninggalan dari Mbah Wali.
Meskipun begitu, sampai sekarang masjid tersebut masih ramai dikunjungi oleh para peziarah untuk sekadar melaksanakan salat maupun berdoa.
Makam Syekh Hasan Munadi dan Hasandipuro kerapkali ramai didatangi oleh para peziarah.
Makam yang terletak di lereng puncak yang tepatnya di dusun Krajan ini biasanya banyak didatangi warga lokal manapun, untuk melaksanakan kegiatan keagamaan seperti; tahlilan, yasinan, pengajian, dan sebagainya.
Adanya tradisi-tradisi di masyarakat sekitar merupakan bagian dari kearifan lokal, Di mana hal tersebut termasuk suatu kewajaran.
Sebab tujuannya tidak lain adalah sebagai bentuk penghormatan kepada beliau (sesepuh) atas jasanya dalam menyebarkan nilai-nilai positif di masyarakat.
Desa Nyatnyono menjadi wilayah yang ramai, seperti makam waliyullah lainnya yang selalu padat didatangi oleh peziarah dan tidak pernah sepi, bahkan hingga malam berganti pagi.
Kebanyakan Peziarah banyak yang tiba diatas jam malam sekitar Pukul 23.00 WIB untuk berziarah dan mandi di sendang.
Saat-saat seperti itu menjadi terasa sangat khusyuk untuk bermunajat dan berdoa kepada Tuhan.
Kemudian ada Sendang Kalimah Thoyyibah yang mana terkenal cukup keramat, Sebab diyakini oleh banyak orang sendang ini memiliki banyak karomah.
Sendang tersebut juga dikatakan oleh warga setempat, mampu untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik jasmani dan rohani, serta dapat membantu mensukseskan “hajat” dari seseorang yang mandi di sendang kramat tersebut.
Sama halnya dengan makam, objek wisata sendang ini juga memiliki pengelola, Pengelola Sendang ini pun pernah mengatakan bahwa disini tidak ditarik pungutan atau biaya sepeserpun, hanya seikhlasnya.
Sehingga apabila ada pengunjung yang hendak mandi dan bertanya berapa tiket masuknya lebih baik langsung masuk tanpa perlu membayar.
Bahkan warga lokal banyak yang menyediakan persewaan sarung, Ini yang unik, karena apabila mandi di Sendang diharapkan memakai sarung.
Meskipun tidak wajib, namun lebih ditekankan untuk tetap menutup aurat dengan begitu, hal ini cukup berdampak dalam membantu perekonomian warga sekitar, dengan biaya seribu rupiah sudah bisa meminjam sarung.
Tradisi Budaya Selikuran di Desa Nyatnyono, Ungaran
Tradisi Keagamaan Selikuran di Desa Nyatnyono, ini dilakukan dalam rangka memperingati wafatnya Sunan Hasan Munadi yaitu pada tahun 1591.
Peringatan ini merupakan bentuk penghargaan dari seluruh penduduk Desa Nyatnyono pada khususnya dan pemeluk agama Islam yang mengetahui, serta mempelajari sejarah penyebaran/syiar agama Islam di tanah Jawa.
Dengan adanya tradisi Selikuran ini masyarakat sekitar meyakini bahwa inilah cara untuk mengungkapkan rasa syukur mereka kepada beliau.
Sehingga dengan penuh hikmat, tulus –ikhlas, warga desa melibatkan diri, menyumbangkan baik pikiran, tenaga, waktu, hingga uang demi kelancaran kegiatan tersebut.
Kegiatan yang dilaksanakan pada tradisi selikuran ini dimulai dengan; Tahlil di makam Hasan Munadi Dan Hasan di puro, lalu kemudian sambutan panitia haul, Rebana, serta membaca quran dari tokoh ulama lainnya yang diundang oleh panitia haul.
Pelaksanaan tradisi Selikuran merupakan bentuk pelestarian kebudayaan daerah, dalam hal ini pada dasarnya setiap masyarakat memiliki budaya lokal.
Budaya lokal berisi berbagai macam kearifan lokal (pengetahuan lokal) yang digunakan oleh kelompok manusia menyelenggarakan penghidupannya.
Budaya lokal tersebut bisa berupa hasil seni, tradisi, pola pikir, atau hukum adat.
Dampak budaya terlihat dari sistem nilai budaya dengan adanya tradisi ziarah dan upacara-upacara ritual keagamaan yang memberikan corak dan nilai terhadap budaya masyarakat Desa Nyatnyono.
yaitu religi yang dalam hal ini merupakan kepercayaan atau keyakinan yang bersifat turun-temurun dari nenek moyang yang masih menimbulkan sinkretisme yaitu perpaduan antara budaya lama (pra-Islam) dengan budaya Islam.
Dampak yang timbul terhadap kehidupan sosial masyarakat yaitu berkembangnya bidang Syi’ar keagamaan agama Islam dimana, terdapat keramaian masyarakat untuk berziarah ke makam tersebut dalam bentuk upacara-upacara ritual keagamaan seperti acara haul, tahlil dan yasinan pada setiap malam Jum’at kliwon.