Mendapat kesempatan kuliah atau menjadi Mahasiswa merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi beberapa orang, karena dengan begitu (seolah-olah) martabat dan status quo kita berada 1 level di atas masyarakat pada umumnya yang tidak mengenyam perkuliahan, tidak bisa dipungkiri Kampus memang menjadi salah satu penunjang dalam perbaikan Sumber daya manusia (SDM). Termasuk ketika semasa kuliah kita terjun ke dalam dunia Organisasi, sedari dulu (dulu tapi yah) menjadi salah satu media sekaligus alternatif dalam melahirkan manusia baru.

Dari beberapa fenomena hari ini yang saya temui di kampus, khususnya di kalangan mahasiswa yang mengikuti Organisasi (kita sebut saja aktivis) terdapat beberapa Patologi yang merebak. 

Kita ambil beberapa sampel; ada yang hanya supaya dikenal banyak mahasiswa dan dosen lah sehingga ambisius menduduki jabatan, punya kenalan sana-sini lah agar dikemudian hari mendapat pekerjaan, bahkan rela mengesampingkan kuliahnya bertahun-tahun, dan tidak sedikit saya lihat ber-orientasi Profit pribadi dengan menjual nama organisasi.

 Teramat banyak mahasiswa hari ini yang masuk organisasi untuk memenuhi hasrat (please organisasi bukan pemuas hasrat), fenomena seperti ini benarlah miris dan menjadi ancaman yang serius didunia Organisasi sendiri. 

Kegiatan-kegiatan Organisasi yang seharusnya menjadi momen pembelajaran dan pengembangan dengan sekejap disulap menjadi pemuas hasrat popularitas dan ajang eksistensi, bahkan tidak sedikit juga saya melihat organisasi disulap menjadi arena tinju UFC dan sangkar kursi bersayap.

Sedikit me-refleksi, sekilas kita kembali ke masa Pra-Kemerdekaan Indonesia. Di masa itu, bukankah kita sama-sama tau bahwa para pemikir kita; Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka serta pejuang tokoh lainnya merupakan Mahasiswa yang juga terjun kedalam dunia Organisasi? Bukankah Organisasi pada waktu mereka jadikan sebagai alternatif pembelajaran tambahan selain kelas? Dan bukankah jelas Organisasi pada waktu itu melahirkan manusia-manusia pemikir dengan spirit perjuangan untuk bangsa? Lantas kenapa hari ini yang terlahir hanyalah seonggok daging yang arogan, emosional dan berpemikiran kerdil? Ok cukup, Mari kita sedikit berdiskusi.

Organisasi yang seharusnya menjadi salah satu sumber pelahiran solusi dan gagasan, hari ini berubah menjadi salah satu ladang masalah yang kompleks, yang turut harus diperhatikan dan diperbaiki.

Saya sepakat dengan statement, “Kaderisasi merupakan jantung Organisasi” karena melalui kaderisasi lah proses-proses jati diri aktivis terbentuk dan menjadi kokoh. Mengutip apa yang dikatakan Tan Malaka, “Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk”, melalui benturan proses kaderisasi; mental, intelektual dan moral kita akan terbentuk. 

Hanya saja timbul satu pertanyaan, apakah mahasiswa hari ini masih memungkinkan setia terhadap proses kaderisasinya? Saya rasa sedikit sekali hari ini mahasiswa yang mau mengorbankan waktu, tenaga dan finansialnya untuk proses tersebut. Virus Pragmatisme yang menjangkit aktivis hari ini sudah mengakar menjadi sifat alaminya.

Kita kembali pada masa orde baru tepat menjelang terjadinya reformasi, (baca buku Anak-anak Revolusi, karya Budiman Sudjatmiko) era itu organisasi PRD dengan tekun mengadakan diskusi-diskusi ilmiah diberbagai kampus dan daerah baik kepada mahasiswa maupun masyarakat, mereka melakukan advokasi sebagai bentuk konkret selayaknya aktivis. 

Bahkan mereka menjadi garda terdepan dalam menentang rezim waktu itu, Mereka tidak gentar ketika menerima tindakan represif dari aparat, mereka rela ketika harus disiksa, dibui hingga mengorbankan nyawanya demi menyuarakan keadilan. (bisa baca novel Laut Bercerita, karya Leila S. Chudori)

Aktivis hari itu semuanya sama, mereka ada dan untuk Masyarakat. Berbeda jauh dengan realitas aktivis hari ini, Proses dengan protes, siangnya demonstrasi meneriakkan kata ‘lawan’ malamnya bersandar lelah dengan sang pujaan. Semangat yang timbul bergantung pada restu pacarnya, giliran diputusin langsung ngilang dari organisasi, tugas pengkaderan berubah menjadi ‘pem-baperan’. Bagaimana intelektual dan analisis tidak tumpul apabila masa-masa menjadi mahasiswa dihabiskan dengan hal-hal yang tidak menunjang perkembangan, euforia semata.

Sudah terjadi pergeseran orientasi yang cukup lebar pada aktivis hari ini, sosok yang dibanggakan sebagai Agent Of Change dan sosial of control kini telah menjadi mitos belaka. Aksi-aksi yang dilakukannya hanya sebatas reaksioner, berujung vandalisme dan tidak solutif. 

Ruang-ruang proses yang seharusnya melahirkan gagasan dan perubahan dikontaminasi hingga berubah menjadi ruang kontestasi kepentingan, Gerakan-gerakan dilakukan sebagai investasi untuk menggapai kekuasaan dimasa depan. Alih-alih kaderisasi padahal kooptasi! Menggadaikan Idealisme demi janji manis senioritas! Positioning aktivis yang seharusnya bersama masyarakat berubah menjadi bersama para oligarki.

Jika serangkaian proses kaderisasinya di isi dengan hal-hal yang tidak esensial dan ber-orientasi kepentingan, yang terlahir hanyalah sosok yang arogan, berpemikiran dangkal, gila jabatan dan anarkis. Hanya se-sosok ‘sampah’ yang bahkan tidak akan bisa didaur ulang, sekali penulis tegaskan, ‘Hanya akan ada se-sosok SAMPAH’ yang pada akhirnya menjadi bagian dari apa yang disebut teori ‘Lingkaran setan’ yang disebut Karl Marx.

Mengutip kata-kata Auguste Comte seorang bapak Sosiologi dalam buku Pengantar Sosiologi karya George Ritzer, “Rusaknya kondisi sosial disebabkan oleh rusaknya intelektual”, memasuki Organisasi dan mengikuti proses kaderisasi dengan utuh seharusnya menjadi alternatif yang tepat bagi para aktivis dalam menggodok Intelektualnya.

Kita lengah dan terlindas oleh kemajuan teknologi, terlena dengan status sosial dan popularitas, kita semua lupa bahwa tujuan sebuah pendidikan (menurut Paulo Freire) ialah ‘melahirkan manusia baru’, kita lupa bahwa pentingnya merawat Tradisi Intelektual, kita lupa seperti apa mahasiswa aktivis yang sebenarnya, kita semua lupa bahwa seharusnya kita mengabdi bukan BERKARIR! Kita lupa bahwa proses sama pentingnya dengan hasil.

Dimulai dari berubahnya fungsi Organisasi hal itu mempengaruhi pula pada orientasi para aktivis yang terlahir, dan tentunya akan sangat berpengaruh pula pada aspek- aspek kehidupan lainnya. Jargon yang mengatakan bahwa, ”Orang besar terlahir dari Organisasi” semakin hari menjadi semakin bias, kejenuhan terhadap organisasi hanya tinggal menghitung waktu.

Terakhir, sebagai bahan refleksi kritis kita bersama penulis kutip beberapa kata-kata yang selalu menjadi pegangan penulis agar tetap berusaha istikamah dalam mengembangkan diri dan setia terhadap proses:

GusDur, “ Jadilah Akademisi yang berjiwa Aktivis dan jadilah Aktivis yang akademis”.

Gus Mus, “Gelar sarjana bukanlah sebuah prestasi, baru disebut prestasi ketika bermanfaat bagi sesamamu”.

Karl Marx. “ revolusi akan terjadi dengan sendirinya melalui pembangkitan kesadaran”

Wiji Thukul, “Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli, apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu”.

Sang guru penulis, nasihat-nasihat Abah KH. Asep Syaifuddin Chalim yang senantiasa meng-inspirasi dan memotivasi dalam proses belajar.

Sang Guru penulis, Nur Sayyid Santoso Kristeva dalam pengantar buku Manifesto Wacana Kiri, “Apakah mungkin kader yang tolol dan dungu dengan segudang kemiskinan pengetahuan dalam otaknya mampu melakukan perubahan! Tampaknya suatu hal yang mustahil”.

Dan kata-kata penulis sendiri, “Bukan hanya tubuh yang perlu diperhatikan asupan nutrisinya, melainkan otak sekalipun perlu diperhatikan asupan nutrisinya demi terjaga dari kecacatan dalam berpikir dengan membaca dan berdiskusi”.


Panjang umur Perlawanan, Panjang umur nafas Perjuangan.

Semoga Bermanfaat.

Catatan:

Ada 2 hal yang melatarbelakangi Tulisan ini; Pertama, sebagai tempat curhat atas keresahan-keresahan yang penulis rasakan selama menjadi mahasiswa yang juga berproses di Organisasi sekaligus menjadi ruang refleksi. Kedua, mengasah skill menulis yang sempat terhenti cukup lama.

Seperti biasa, penulis berharap pembaca bisa bekerja sama untuk memaklumi kekurangan dari tulisan ini, dan membantu penulis dengan memberi masukan agar menjadi lebih baik di tulisan selanjutnya.