Di era dunia yang makin dinamis, setiap orang dalam berbagai bidang kehidupan punya lipatan-lipatan problem tersendiri, termasuk produsen kertas. Produsen kertas kini ditakdirkan untuk bergerak lebih inovatif dari apa yang sebelum-sebelumnya telah mereka lakukan.

Mengingat kertas merupakan satu tiang penopang paling penting dalam kehidupan, atau barangkali telah menjadi kehidupan itu sendiri, maka prospek keberlanjutannya layak untuk dibicarakan. Alasan utamanya adalah pohon yang ditebang tidak boleh tumbang sia-sia.

Tadi sudah saya katakan, produsen kertas diharuskan untuk bergerak lebih inovatif. Itu pekerjaan rumah. Sedangkan pekerjaan di luar rumah atau tantangan produsen kertas, selain memulihkan hutan, adalah manusia-manusia yang sudah terbiasa membuang sampah tidak pada tempatnya. Inilah tantangan paling berat sekaligus paling menyebalkan, karena mengatur tingkah laku manusia tak segampang merapikan manuskrip yang berserakan di dalam kamar.

Saya berada di luar rumah. Jadi, di sini saya akan membicarakan tentang "sampah", dan subjek atau lingkup yang saya pilih adalah kampus; rumah manusia sakti yang mengakui dirinya sebagai agent of change, social control, dan moral force, spesifiknya mahasiswa: manusia yang, bagi saya, paling bertanggung jawab atas kelestarian alam dan keramahan lingkungan.

Dunia pendidikan, khususnya kampus, sarat dengan penggunaaan kertas. Tetapi di sana, penggunaan kertas masih dianggap "sepele", bukan sebagai prioritas.

Di kampus, produksi kertas menjadi sampah dilakoni seperti menindaki hobi; lumrah nan santai. Sebagai contoh: bila mahasiswa hendak mengerjakan tugas, proposal, atau mau mengajukan judul tugas akhir, diperlukan kertas yang jumlahnya tidak sedikit. Sudah begitu, bila ada salah penggunaan ejaan, tanda titik, koma, yang salah langsung dicoret dan pasti langsung dikucak dan dibuang.

Sebelum terlalu jauh, saya ingin pertegas dulu bahwa manusia paling mubazir kertas, yang hobinya produksi sampah, itu banyak bertebaran di kampus-kampus, bukan di hutan.

Mustahil mereka tidak tahu setiap lembar kertas yang digunakan dan dipandang sepele merupakan metaforik pohon yang tumbang, yang berasal dari hutan hijau—pun pohon itu sendiri merupakan pakaian bumi. Di lain sisi, saat bumi sudah telanjang dan tubuh bumi terasa panas (global warming), mereka kemudian menyalahkan perilaku penebangan pohon.

Mereka sangka diri mereka bukan penanggung jawab kelestarian hutan dan lingkungan sekitar yang tidak berdosa, sampai-sampai mereka gencar menuduh orang-orang yang berusaha memberi kebermanfaatan pohon dalam kehidupan manusia. Padahal sesuatu dikatakan berdosa adalah ketika dilakukan atau dipergunakan terlalu berlebihan alias mubazir, keluar dari esensinya, dan tidak bermanfaat bagi orang lain.

Barangkali mereka terlalu sibuk bersuara, berteriak lantang tentang tangan-tangan yang bersentuhan langsung yang dianggap "menggunduli" hutan dan belum mampu memulihkan hutan-hutan gundul yang ada di Indonesia. Di saat yang sama, para agent of control, mahasiswa, sendiri pun masih belum paham dan sadar memperlakukan kertas sebagaimana mestinya di sekitar kehidupannya sendiri.

Biasanya orang yang terlalu sibuk membicarakan orang lain lupa pada dirinya sendiri. Sialnya, saya adalah seorang mahasiswa. Saya pun ikut berdosa dan harus bertanggung jawab.

Sejak awal saya berniat memaksudkan tulisan ini untuk diri saya sendiri, dan teman-teman mahasiswa di kampus-kampus di Indonesia, bahwa tugas penting homo sapiens di zaman ini adalah meletakkan sesuatu tepat pada tempatnya, di antaranya adalah membuang sampah pada tempat yang telah disediakan.

***

Bagi saya, kertas dan hutan adalah sepasang mata manusia. Tanpa mata, kemajuan teknologi tidak memberikan apa-apa selain kegelapan. Orang-orang bisa lancar mengetik, tapi latah menulis—bisa membaca, tapi mudah lupa apa yang dibaca.

Saya pikir kehancuran dunia lebih banyak terjadi karena manusia terlalu mengabaikan keberadaan dan keberlanjutan kertas, misalnya: musibah sosial, seperti konflik antarindividu atau kelompok terjadi akibat orang-orang mengabaikan kertas suci (kitab suci) seperti Alquran dan Alkitab.

Serta lebih mudah kemakan berita palsu karena enggan membuka buku kertas—pun bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan lain sebagainya, adalah momok menakutkan dalam kehidupan manusia bila hutan rusak dan pengabaian keramahan lingkungan sekitar.

Maka, kita perlu memikirkan ritme pemakaian secara tepat, cara untuk memelihara dan menangani kertas supaya proporsional dan berkelanjutan.

Ada banyak cara yang bisa ditempuh, di antaranya menggugah kesadaran: penggunaan sumber daya yang sadar bahwa masing-masing orang menjadi hakim bagi orang lain dan tindakannya sendiri untuk selalu berusaha mempertahankan harmoni antara manusia dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya (the balance of nature).

Sudah saya sebutkan di atas bahwa alasan paling umum membuang kertas adalah menemukan kesalahan tata bahasa, tanda baca pada dokumen yang dicetak. 

Maka dari itu, saya kira, kita perlu mulai dengan mengatakan kepada dosen-dosen kita di kampus masing-masing bahwa kita perlu melakukan semacam penyederhanaan pengoreksian dokumen atau peninjauan berkas, yang mana itu bisa dilakukan melalui perangkat lunak sebelum dicetak, mengirim tugas kuliah atau proposal penelitan lewat email, misalnya.

Bagi saya, itu langkah subtansial, bukan sekadar prosedural. Karena yang harus bersama mahasiswa dan dosen khawatirkan adalah jangan sampai pohon yang tertebang berakhir sia-sia di tempat sampah, bukan sekadar ejaan atau kalimat ini-itu salah. Pun kita juga mesti memikirkan kertas yang terpakai hanya pada satu sisi saja, sisi lainnya dibiarkan kosong, tidak lagi terbuang sia-sia dan bisa berkurang.

Andai kata suatu organisasi terdiri dari 200 orang dapat menghemat 3 lembar kertas setiap hari, maka dalam satu tahun, kurang-lebih ada 256 batang pohon kayu yang dapat diselamatkan. Saya pikir, dokumen yang salah ketik jangan buru-buru dibuang. Sebaiknya disimpan saja. Bila ada waktu luang, bisa pergi menjualnya supaya didaur ulang.

Bila kita sebagai agent of change dan moral force masih apatis dan latah mengambil langkah untuk memperbaiki pola konsumsi kertas dan produksi sampah, dan juga pihak kampus masih teguh mempertahan pola-pola lama, maka warga kampus (mahasiswa dan dosen) akan tetap berada di garis keras paling depan berjuang membunuh lingkungan mereka sendiri dan kehidupan bumi.

Terakhir, "saya selalu mengambil sampah dari sekitar rumah dan membuatnya menjadi sebuah mainan", kata Ann Makosinski. Salam lestari. Selamatkan kertas dari tempat sampah.