"Senior" adalah kata yang sejak awal masuk kuliah sudah sangat menjijikan dalam ingatan saya. Bagaimana tidak, tragedi lima tahun lalu, tahun 2014, di saat Orientasi Pengenalan Kampus (Ospek), itu masih membekas.

Kami dibuat semacam bola pimpong. Ditendang sana-sini, dipukul kiri-kanan, diperintah tidak boleh melawan, disemprot air kotor harus diam, diceramahi wajib tunduk dan dibully harus ikut tertawa. Itu perintah. 

Walhasil, dipaksa harus meneladani mazhab kekerasan dari orang yang mendakwa diri "saksi sejarah" di bangku perkuliahan itu. Bang***, bukan? 

Senior juga kerap diasosiasikan sebagai orang yang wawasannya luas, berpengaruh, kuat, dan tahan banting menghadapi "ancaman" pihak kampus, baik itu mata kuliah yang nilainya rada-rada tuntas maupun proposal yang terus menerus dicoret hingga diperintah mengganti judul atau mengganti pembimbingnya. Apa pun yang berkaitan dengan cobaan kampus, senior inilah orangnya yang sudah makan asam garam.

Lucu, dungu, dangkal, dan tololnya berprofesi sebagai senior. Jika teman-teman seangkatan saya telah melupakannya, atau yang lain hanya mengenang sebagai peristiwa "komedi", dan atau yang lainnya mengenang sebagai catatan yang kerap dirindukan, saya justru marah. Kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak ada pembenaran, sekalipun atas nama kebaikan.

Kampus, sebagai lingkungan akademis, tempat perkumpulan orang terdidik, justru harus menjadi wadah yang kritis terhadap ketimpangan sosial, penindasan struktural, dan hierarki modal. Bukan malah melegitimasi kekerasan dengan dalih: itu kan kegiatan perkenalan kampus, atau ini kan untuk solidaritas sesama angkatan; atau paling oportunis menurut saya adalah agar mahasiswa baru bisa menghargai senior. Penyematan busuk yang belum pernah sembuh hingga kini.

Menjadi mahasiswa yang baru mengenal kampus memang wajib ketiban sial. Sama halnya dengan wajib membayar SPP. Pergaulan hanya bisa sepadan dengan kawan seangkatan dan tidak berlaku pada mahasiswa tingkat akhirul zaman, mahasiswa yang sudah lama. Tua dan rente.

Ada semacam klasifikasi di situ. Mahasiswa baru rendahan, mahasiswa agak senior, dan mahasiswa paling senior. Ini umumnya juga memengaruhi hingga tingkat pergaulan. Bahkan sampai ada teman sekelas saya yang merasa minder, hingga jarang sekali pergi ke kampus tapi dia juga tidak tahu.

Mahasiswa akhirul zaman itu pun seolah-olah memegang kendali atas privasi dan properti kami. Standar minum kopi di warung selalu saja didampingi oleh sekawanan kami yang baru untuk ditraktir. Modalnya satu: jadi tim penasihat mahasiswa. Ceramahi pakai teori, filsafat, hingga rokok habis.

Selain itu, di semester yang pucuk itu, kami yang buta akan kenyataan objektif, dipaksa menunduk-nunduk ketika lewat di hadapan mereka.

Kenyataan ini tidak saja terjadi di saat Ospek dan kegiatan kampus lainnya. Bahkan, ada organisasi pergerakan, yang platformnya mati-matian membela rakyat (wallahu a'lam), kritis atas kebijakan kampus, juga melanggengkan praktik-praktik kekerasan dengan menggunakan kapasitas "senior" dalam organisasi.

Kader-kadernya terus menerus dipaksa tunduk. Arahan apa pun yang keluar dari mulut seniornya harus diikuti. Walau salah, walau masuk jurang: menindas sesamanya.

Sejak Indonesia merdeka pada 1945, tujuh puluh dua tahun lalu, tidak membuat watak kolonial yang gemar menindas dan membunuh kekritisan hilang begitu saja. Apalagi, sejak rezim militerisme, Soeharto berkuasa, penindasan secara ekonomi-politik-sosial-budaya secara sistematis terjadi.

Watak penindas mendarah daging. Organisasi mahasiswa yang berkuasa di masa itu turut meracuni isi kepala kadernya dengan obat-obat rezim yang suka kekerasan dan menindas.

Kadernya dipaksa bungkam bila seniornya dapat jatah dari dalam. Kader dengan status mahasiswa baru dijinakkan bak sapi perahan. Memelihara mental budak untuk mewarisi para seniornya, yang sebenarnya lebih dungu daripada binatang.

Saya, di semester yang tidak bahagia ini, yang sering dipanggil "senior", justru sangat marah. Saya pernah marah pada seorang teman, dia mahasiswa semester 8, hanya karena masalah ini.

Jangan anggap ini sepele. Justru budaya sapaan "senior-junior" ini membunuh kekritisan mahasiswa. Bila hingga mewabah kepada generasi selanjutnya, makin kompradorlah bangsa ini. 

Senioritas tidak hanya memalukan, tapi juga menjijikkan. Nalar kritis dan keberanian anak muda dibunuh. Ini semacam perbudakan.

Lantas, apa yang harus kita lakukan? 

Sangat beruntungnya saya karena dijauhkan (dan tidak dididik oleh organisasi mahasiswa seperti itu) dari sampah zaman klaim diri menjadi "senior". Begitu banyak tugas yang harus kita lakukan bersama, yang harus kita pikirkan bersama, yang harus kita bangun bersama, yang harus kita perjuangkan bersama tanpa kepentingan sepihak dengan alasan konyol.

Senioritas harus dibunuh. Tidak saja dalam pikiran, tapi melalui tindakan-tindakan yang membebaskan. Siapa saja bisa berpikir dan memutuskan kemaunannya sendiri ataupun organisasi.

Sehingga sikap apatis, cuek, dan skeptisisme dengan masalah-masalah sosial dan pergerakan mahasiswa harus dilenyapkan, dikubur bersama sikap senioritas. 

Kita, mahasiswa, punya agenda yang lebih besar: membangun persatuan dan kekuatan, hingga nanti demokrasi bisa jadi alat untuk partisipasi seluruh mahasiswa tanpa memandang bulu. Dan hingga, impian membebaskan rakyat dari ketertindasan tanpa perlu tunggu keputusan senioritas.

Senioritas harus tumbang. Mahasiswa baru jangan diam, demi tugas besar membebaskan rakyat dari penindasan. Ayo, lawan apa saja yang menghambat kemajuanmu. Termasuk melawan senior dengan segala kebobrokan dan ketelodoran pseudonya.