Nak, kamu sudah dewasa sekarang. Setahun ke depan kamu akan menjadi seorang mahasiswa. Belajarlah dengan sungguh-sungguh, perbanyaklah doamu, dan jangan sampai tinggalkan ibadahmu. Ketika kamu berhasil menjadi mahasiswa, kelak kehidupanmu akan lebih mudah, nak. Jangan sampai kau sia-siakan kesempatanmu ini.

Kalimat itu merupakan pesan moral yang selalu disampaikan setiap orang tua kepada anaknya yang akan beranjak menjadi seorang mahasiswa. Sudah menjadi mimpi setiap orang tua untuk dapat menyekolahkan anaknya hingga jenjang pendidikan tinggi. Berbagai macam daya upaya mereka curahkan untuk mencapai mimpi tersebut.

Pendidikan tinggi masih dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai wadah pendidikan yang bersifat elitis. Di mana mahasiswa dianggap sebagai masyarakat dengan struktur sosial lebih tinggi, dengan prestise yang disandang olehnya mempunyai derajat lebih tinggi dibanding status pelajar lainnya.

Kontruksi sosial masyarakat yang seperti itu merupakan bentuk dari kegagalan atas penyelenggaraan sistem pendidikan yang demokratis dan berkeadilan. Sistem pendidikan tinggi hari ini diarahkan menjadi wadah pendidikan sekunder untuk mengembangkan tingkat intelektualitas.

Penyelenggaraan pendidikan yang berkeadilan merupakan pengejawantahan dari nilai keadilan sosial dalam Pancasila serta telah dilegitimasi melalui UUD 1945. Namun ketika akses pendidikan tinggi dibatasi oleh kemampuan modal, dan sebagian besar diisi oleh masyarakat menengah keatas, apakah benar bahwa Indonesia mengalami disorientasi pendidikan? Namun dari mana semua ini terjadi?

Lahirnya Orde Baru dan Terbentuknya Mafia Berkeley

Masih membekas dalam ingatan, bagaimana tragedi yang terjadi pada dekade 1960an. Ketika bangsa Indonesia masih dipimpin oleh Soekarno, seorang nasionalis karismatik yang berapi-api. Di saat umur negara ini masih sebesar biji jagung, bangsa Indonesia harus dihadapi berbagai macam ujian; hiperinflasi yang mencapai 650 persen serta instabilitas politik membuat permasalahan tersebut makin kompleks.

Permasalahan yang terus bertambah parah membuat masyarakat Indonesia mulai geram. Berbagai macam pemberontakan masyarakat, salah satunya yang dilakukan oleh mahasiswa yang tergabung dalam barisan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) memaksa Soekarno untuk turun dari singgasana kepresidenannya.

Berkuasa di masa-masa sulit yang dihadapkan pada kondisi serba tidak stabil, terutama dalam bidang ekonomi, memaksa Soeharto memutar otaknya untuk menyelamatkan negara dari jurang krisis. Maka dari itu, Soeharto mengumpulkan teknokrat yang ahli dalam bidang ekonomi makro untuk membantunya dalam mengatasi permasalahan tersebut. Tim ekonomi ini sering disebut Mafia Berkeley.

Mafia Berkeley adalah sebutan bagi lima teknokrat pengampu kebijakan ekonomi era Orde Baru. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh David Ransom dalam artikel yang berjudul The Berkeley Mafia and the Indonesian MassacreDisebut demikian karena empat dari lima teknokrat tersebut adalah alumni University of California, Berkeley, Amerika Serikat (AS) yang di antaranya: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dan Mohammad Sadli.

Yang menarik dari pembahasan seputar Mafia Berkeley bukan terletak pada prestasinya dalam mengeluarkan Indonesia dari zona krisis ekonomi, namun kepentingan-kepentingan di balik pembentukannya.

Mafia Berkeley terbentuk atas relasi antara elit intelektual, elit politik dan elit ekonomi. Politik dibalik pembentukan tim ini bukan hanya sekadar mengurusi kondisi perekonomian pasca Soekarno lengser. Namun juga terkait dengan visi utamanya yaitu mengganti haluan ekonomi Indonesia menjadi lebih terbuka terhadap modal asing serta merubah haluan pendidikan Indonesia menjadi pro-Barat.

David Ransom menjelaskan terkait langkah-langkah yang ditempuh Sumitro Djojohadikusumo sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) sekaligus sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam usaha memodernisasi Indonesia dengan menolak kebijakan proteksionisme terhadap pemodalan asing, dan menganggap bahwa Indonesia membutuhkannya untuk mencapai Indonesia yang lebih modern dan maju.

Sebagai seorang pengajar, Sumitro memiliki akses untuk mempersiapkan peserta didiknya dalam mengaktualisasikan pemikirannya di masa yang akan datang. Atas bantuan Ford Foundation, sebagai donatur dalam restrukturisasi pendidikan tinggi ekonomi dan politik di Indonesia, Sumitro dapat mengirimkan peserta didiknya untuk kuliah di Berkeley. Serta mentransformasi FE-UI menjadi perguruan tinggi ekonomi, statistika, dan administrasi bisnis gaya AS.

Kondisi Pendidikan Tinggi Pasca Mafia Berkeley Terbentuk

Apa yang dilakukan AS terhadap pendidikan ekonomi dan politik di Indonesia adalah upaya untuk menancapkan hegemoninya melalui institusi dalam masyarakat. Dan sudah tugas dari lembaga pemerintahan untuk menggiring masyarakat agar menilai hal tersebut merupakan sebuah kewajaran, dengan kedok untuk meningkatkan taraf pendidikan tinggi di Indonesia.

Keberhasilan AS dalam memberikan pengaruh ekonomi liberalisme yang memihak kepada kepentingan imperialis dapat dirasakan hingga sekarang. Bagaimana kaum intelektual di Indonesia lebih memihak terhadap sistem kapitalisme gaya AS yang merupakan kontradiksi dari sistem ekonomi kerakyatan. 

Hal tersebut dianggap sebagai suatu kewajaran mengingat model pendidikan saat ini cenderung dogmatis, tidak dialektis tanpa melalui perdebatan secara kritis.

Tidak demokratisnya sistem pendidikan di Indonesia, menjadikan nalar kritis kaum intelektual makin tumpul dan menganggap apa yang dipelajari di institusi pendidikan saat ini sebagai suatu kebenaran. 

Liberalisme gaya AS bagai penyakit yang menggeronggoti filosofi pendidikan demokratis sebagai azas utama jalannya pendidikan di Indonesia. Liberalisme telah mengubah orientasi pendidikan menjadi private goods atau barang privat yang menjadi tanggung jawab masing-masing individu untuk memenuhinya. Pendidikan juga dianggap sebagai barang investasi yang dikeluarkan oleh individu, untuk mengharapkan pengembalian modal ketika sudah bekerja nanti.

Kondisi tersebut ikut serta dalam memengaruhi kontruksi sosial masyarakat dalam memahami hakikat dari pendidikan. Fenomena yang kini terjadi memperlihatkan adanya pergeseran paradigma masyarakat dalam memahami esensi pendidikan. Munculnya anggapan bahwa pendidikan merupakan barang investasi membuat masyarakat berpikir transaksional dan bersifat material. Bagaimana biaya pendidikan yang telah dibayarkan dapat tertutupi setelah mendapatkan pekerjaan.

Paradigma seperti ini juga menjadi alasan utama mengapa institusi pendidikan tinggi kini bertransformasi menjadi kapitalis birokrat yang membela kepentingan kaum elit ekonomi dan ikut serta dalam usaha penyengsaraan masyarakat marjinal.  

Relasi antara elite ekonomi, elit politik, dan elit intelektual menjadi agen utama dalam kelestarian sistem ekonomi politik neo-liberalisme dan neo-imperialisme.

Menurut kawan saya, Rizky Pratama, dalam artikelnya yang berjudul Sumitro Djojohadikusumo dan Petaka Modernisasi Indonesia, mimpi untuk membawa keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan harus dikorbankan demi kepentingan negara-negara imperialis.

Pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melepaskan belenggu ketidak-tahuan, serta menjadikan manusia menjadi pribadi yang merdeka. Pendidikan memiliki peran yang esensial dalam membangun manusia Indonesia yang cerdas secara intelektual dan berbudi secara moralitas. 

Sudah seharusnya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia berorientasikan terhadap rakyat dan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.