Sepekan lalu terbit tulisan Goenawan Mohamad di Tempo. Judulnya pendek sekali: Maaf. Hanya itu. Meski demikian, uraian orang tentangnya sangat panjang. Tak sepanjang suguhan GM sendiri dalam penguraiannya.
Ya, banyak orang merespons Catatan Pinggir GM yang terbit baru-baru ini—termasuk saya sendiri. Tetapi itu bukan berarti saya semata hendak memperpanjang respons atasnya, melainkan sekadar mempertegas apa maksud GM dalam Maaf-nya.
Umumnya orang sudah tahu, Maaf GM mula-mula adalah respons atas sikap Pram. Sebab penulis Teatralogi Buru ini menolak maaf yang dilayangkan Gus Dur sebagai pemimpin Negara saat itu. Sebagai reaksi atasnya, GM pun menulis Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer (Majalah Tempo, 2000).
Seperti dapat kita baca—ditegaskan Pram dalam Saya Bukan Nelson Mandela (Tanggapan Buat Goenawan Mohamad), alasan penolakan itu sangat sederhana. “Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia adalah bagian dari Orde Baru.”
***
Pram adalah manusia. Sebagai manusia, Pram juga punya titik jenuh. Apalagi kita tahu, di hampir separuh hidupnya, hak-haknya sebagai penulis dirampas habis-habisan. Itu sebabnya mengapa Pram sangat menaruh curiga, sampai-sampai ketidakpercayaannya begitu kukuh pada diri pemerintah, terutama Orde Baru dan mereka-mereka yang dianggap sebagai produk-produknya seperti Gus Dur.
Tentu tidak mudah memang menaruh percaya, apalagi hendak memberi maaf kepada siapa yang sedari awal secara nyata memberi rasa yang tidak adil pada diri. Mencaci, fitnah, hingga menyiksa, kata “maaf” atasnya sulit sekali untuk terberi. Dan demi mengurainya, di titik inilah GM hadir dengan nada “maaf”-nya.
Kehadiran GM dengan Maaf, sayangnya, justru tambah memperkeruh suasana. Yang satu menilai GM lewat Maaf-nya sebagai sebab, yang lain menilai respons (negatif) atasnya itulah yang jadi faktor utamanya.
Hadirnya tulisan ini tak lain sebagai respons atas kedua hal tersebut. Di satu sisi, saya hendak menegaskan—mungkin semacam “menafsir”—apa yang ingin disampaikan GM kepada khalayak. Dan di sisi lain, saya ingin membendung respons orang atas Maaf GM yang dalam penilaian saya terbangun secara tidak proporsional.
Antara Memberi dan Menghapuskan
Ketika GM mengutip kisah Mandela dalam Surat Terbuka-nya, ada kesan memikat bahwa dirinya hendak memberi ruang atas kata “maaf”. Tetapi ketika kita membaca kembali ulasan GM dalam Maaf yang belakangan ini jadi trending topic, pun terdapat kesan kuat bahwa dirinya hendak menghapuskan kosa kata itu dari perbendaharaan. Kontradiktifkah gagasan GM?
Saya tidak tahu pasti bagaimana jalan pikiran yang mengarung dalam diri GM. Bisa jadi ia hanya bersembunyi di balik kata-katanya yang manis, tetapi bisa juga tidak. Yang jelas, Surat Terbuka untuk Pram ataupun Maaf GM yang utama, punya balutan makna tersendiri, yang jika kita tilik secara bijak akan mampu hadirkan gagasan nan mencerahkan.
Saya tidak menyesali ketika banyak orang memberi suara atas Maaf GM. Karena ini berguna, sebaik atau seburuk apa pun makna gagasan yang dikandungnya. Tetapi saya sangat menyesali, respons orang atasnya, alih-alih mengkritik, justru yang nampak adalah caci-maki dan hinaan. Dan justru karena inilah saya ambil posisi “membenarkan” GM sembari tetap berlandas pada anjuran Pram: “harus adil sejak dalam pikiran”.
Secara umum, saya melihat ada konsistensi dan kedinamisan dari cara berpikir GM. Maaf-nya GM menghadirkan konsep “maaf” dari berbagai ranah dan perspektif. Dan ketika di suatu tempat GM memberi ruang atas kata “maaf”, hingga di akhir ia hendak menghapuskannya dari perbendaharaan istilah, di sini pulalah letak kedinamisan GM dalam berpikir.
***
Memberi ruang “maaf” dalam kehidupan berarti memberi kebebasan pada diri setiap yang hidup (manusia). Seperti Arendt, saya pun mengakui bahwa hanya melalui saling memaafkanlah, saling membebaskan dari apa yang telah terjadi, manusia menjadi manusia bebas. Dengan kata lain, melalui maaf, manusia membuka lembaran baru dan menjadi manusia baru—meski “tak segampang itu” jika menurut Pram.
Sebaliknya, menghapuskannya dalam perbendaharaan kata, pun sama bijaknya dengan memberinya ruang, bahkan justru melampauinya. Bahwa di satu sisi, meminta maaf adalah bentuk apologi. Dan di sisi lain, pun termasuk sebagai bentuk dari perbuatan munafik.
Pertanyaannya, sebenarnya di mana sikap atau posisi GM? Apakah memberi atau hendak menghapuskannya? Bagi saya sendiri, GM tidak berada di dua sikap atau posisi itu. Dan itu bisa kita tafsir dari dua paragraf terakhir dalam Maaf di mana GM menuturkan kembali kata-kata Hay Djoen: “Apa hak moral kita untuk menolak memberikan maaf...”
Dengan demikian, Maaf GM adalah maaf filosofis. Maaf GM bukanlah maaf yang kontradiktif, apalagi sekadar berapologi ataupun hendak menjadi munafik. Justru kedua hal itulah yang hendak ia tantang dan hapuskan dalam ruang kehidupan manusia.