Gerakan mahasiswa kembali mengalihkan perhatian dunia. Kali ini para mahasiswa Myanmar bersama rakyatnya yang sedang berjuang menuntut demokratisasi negaranya. Sebagaimana kita ketahui Myanmar sedang mengalami gejolak politik yang panas.

Gejolak politik itu dipicu oleh kemenangan partai politik Aung San Suu Kyi, National League for Democracy/NLD  (Persatuan Nasional untuk Demokrasi) pada pemilihan umum tahun 2020 yang dianggap curang oleh kubu militer Myanmar.

Kemudian pihak militer menganulir kemenangan NLD yang selanjutnya menahan semua pimpinan elit NLD termasuk Aung San Suu Kyi. Tidak berhenti disitu, selanjutnya pihak militer mengambil alih pemerintahan sekaligus menerapkan darurat militer atas Myanmar.

Rentetan peristiwa tersebut memicu protes keras publik Myanmar. Hari-hari berikutnya, para mahasiswa Myanmar bersama rakyat turun ke jalan kota Yangon juga kota besar lainnya di Myanmar mengutuk tindakan pihak militer dan menuntut dikembalikannya demokrasi bagi Myanmar.

Myanmar sebenarnya belum lama menerapkan pemerintahan berlandaskan demokrasi dan masyarakat madani (civil society). Negara ini sejak tahun 1962 sampai dengan tahun 2011 dikuasai oleh pemerintah Junta Militer.

Demonstrasi massa berlangsung sejak awal Februari dan tidak menunjukkan tanda-tanda pihak penguasa militer Myanmar menanggapi tuntutan massa demonstran. Sebaliknya pihak militer malah menanggapi demonstrasi secara represif.

Pada demonstrasi di tanggal 3 Maret 2021 aparat bertindak brutal dengan menembaki para massa demonstran dengan peluru tajam. Menewaskan sebanyak 38 demonstran.. Diantara korban yang tewas tersebut adalah seorang mahasiswi bernama Ma Kyal Sin, umurnya baru 19 tahun. Dia tewas karena tertembak di kepalanya.   

Tewasnya Ma Kyal Sin menyita perhatian dunia. Ma Kyal Sin lantas menjadi viral karena berdasarkan penuturan saksi sesama demonstran, selama turut dalam barisan demonstrasi ia menunjukkan keberanian dan solidaritas kepada sesama demonstran. Bahkan kaus terakhir yang dikenakannya bertuliskan “Everyhing Will be OK” juga turut menjadi viral dan menjadi kalimat simbol perlawanan.

Sebelum Myanmar pada kondisi dikudeta oleh milter lalu kemudian memicu rakyat Myanmar berdemonstrasi, Ma Kyal Sin hanyalah seorang mahasiswi belia beranjak dewasa biasa. Kegiatannya tidak berbeda dengan remaja putri seusianya. Ia sangat menggemari musik juga menari, dan menggeluti olah raga bela diri Taekwondo.

Sayang sekali, sebutir peluru menghentikan perjuangannya. Ma Kyal Sin tidak akan lagi turut dalam barisan demonstran mahasiswa bersama rakyat Myanmar yang hingga tulisan ini dibuat masih belum tuntas. 


Legenda Gerakan Mahasiswa Indonesia      

Di tahun ‘60an, negara Indonesia yang sudah merdeka dari kolonialisme Belanda hampir 20 tahun masih belum bisa mewujudkan cita-cita hakiki kemerdekaan bagi sebuah bangsa, yakni kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Korupsi semakin meralela, kekuasaan presiden semakin absolut namun paradoks dengan kondisi sebagian besar rakyat Indonesia yang semakin sengsara kehidupannya. Alih-alih merubah kondisi bangsa dan kesejahteraan rakyat yang carut-marut, pemerintah malah terus-terusan menjejali rakyat dengan retorika-retorika dan propaganda politik anti neo kolonialisme dan imprealisme (Nekolim).    

Kondisi tersebut semakin memburuk dengan persengketaan para elit politik yang bersiap merebut kekuasaan mengingat kondisi Presiden Sukarno yang kala itu sudah semakin tua dan sakit-sakitan. Walhasil situasi dan kondisi sosial – politik nasional Indonesia kala itu dipenuhi dengan kecurigaan dan kebencian.

Rakyat partisan digiring turut dalam konflik politik, sedangkan kebanyakan rakyat yang tidak tahu menahu soal-soal politik semakin sengsara. Untuk memenuhi kebutuhan pokokpun rakyat harus mengantri panjang untuk jatah beras murah dan minyak tanah.

Atas kondisi tersebut mahasiswa Indonesia saat itu bereaksi. Di tahun 1966 mereka mulai berdemonstrasi turun ke jalan menuntut perubahan dengan mengusung Tritura. Namun pemerintah menjawab aksi mereka dengan tindakan represif. Seorang mahasiswa bernama Arief Rahman Hakim tertembak aparat.

Tertembaknya Arief Rahman Hakim tidak menyurutkan perjuangan gerakan mahasiswa. Mereka semakin lantang menyuarakan tuntutan perubahan negri dan memperjuangkan nasib rakyat jelata.

Dan akhirnya perjuangan gerakan mahasiswa angkatan ‘66 berhasil menjatuhkan kekuasaan Presiden Sukarno di tahun 1967. Indonesia pun memasuki babak baru perjalanan sejarahnya dengan berdirinya pemerintahan yang disebut Orde Baru.

Selain mahasiswa bernama Arief Rahman Hakim ada lagi satu nama mahasiswa yang sosoknya menjadi legenda gerakan mahasiswa Indonesia yaitu Soe Hok Gie. Saat itu ia merupakan mahasiswa Fakultas Jurusan Sejarah di Universitas Indonesia.

Sebelum hari-hari demonstrasi di tahun 1966 kehidupan kampusnya diisi dengan kegiatan kelas-kelas diskusi ilmiah, pentas seni musik, menonton film kemudian membahasnya dan kegiatan pecinta alam yakni mendaki gunung. Soe Hok Gie merupakan salah satu pendiri perkumpulan pecinta alam mahasiswa UI, MAPALA.

Saat aksi gerakan mahasiswa angkatan ‘66 Soe Hok Gie merupakan salah satu koordinator lapangan barisan demonstran mahasiswa fakultas tempatnya belajar, jurusan Sejarah yang merupakan cabang dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.

Setelah pemerintahan Presiden Sukarno tumbang, Soe Hok Gie kembali ke kehidupan dinamika kampus yang penuh keceriaan, namun masih tetap menjaga nalar kritisnya dengan rajin mengirimkan tulisan (essai) seputar isu sosial dan politik nasional ke media cetak. Dan tentu saja ia kembali menjalani kegiatan kesukaannya, mendaki gunung.

Hingga akhirnya sebuah peristiwa tragis menimpa Soe Hok Gie. Saat mendaki ke gunung Semeru bersama kawan-kawannya di tahun 1969, di puncak gunung ia menghirup gas beracun. Gas beracun itu mengakhiri hidupnya di usianya yang menjelang 27 tahun.


Mereka Adalah Mahasiswa “Biasa”      

Baik Ma Kyal Sin dan Soe Hok Gie, mereka berdua telah tiada, pergi selama-lamanya di usianya yang masih muda. Ma Kyal Sin belum lulus dari perkuliahannya, Soe Hok Gie baru saja beberapa tahun lulus menyandang gelar sarjana.

Bagi Ma Kyal Sin, jika kelak Myanmar menjadi negara demokratis dan terwujud masyarakat madani ia tidak akan merasakannya. Sedikit berbeda seorang Soe Hok Gie, ia sempat merasakan sebentar rezim Orde Baru.

Namun Soe Hok Gie masih setia kepada nalar kritis dan kejujuran. Ia sempat menulis sebuah catatan di awal-awal pemerintahan Presiden Suharto, bahwa betapa membosankannya pemerintahan Suharto. Hal itu menunjukkan bahwa ia tetap kritis kepada rezim yang ia sendiri turut membidani kelahirannya. 

Legenda seorang Soe Hok Gie lainnya adalah, ketika beberapa teman-teman mahasiswa angkatan ‘66 mendapat posisi dari pemerintahan Suharto, ia mengirimkan seperangkat kosmetik sebagai bentuk sarkasme dengan dibubuhi tulisan “agar terlihat cantik dihadapan penguasa”.

Ma Kyal Sin, Soe Hok Gie sampai dengan mahasiswa dari gerakan Reformasi angkatan ‘98 yakni Elang Mulia Lesmana, juga seorang mahasiswi bernama Sophie Scholl asal Jerman yang menentang rezim fasis Nazi pimpinan Adolf Hitler di tahun ‘40an, hanyalah beberapa contoh yang bisa disebut oleh penulis. Tentu saja masih banyak lagi tokoh gerakan mahasiswa dan pemuda lainnya yang luput tertulis.

Mereka semua adalah mahasiswa atau pemuda-pemudi “biasa”, yang sebagaimana kebanyakan remaja di usia mereka menjalani hari-harinya dengan keceriaan bersama teman-teman sambil menggiati minat dan bakat masing-masing. Mereka merasa terpanggil ketika nuraninya terusik melihat ketidakberesan negaranya karena ulah penguasa.

Berlandaskan idealisme, hati nurani, kejujuran dan moralitaslah mereka berdemonstrasi atau juga melakukan bentuk gerakan perlawanan lainnya demi menuntut perubahan bangsa ke arah yang lebih baik.              

Mereka menentang satu tirani kekuasaan atau pemerintahan yang otoriter. Mereka tetap setia kepada cita-cita hakiki kemerdekaan bangsa yakni terwujudnya masyarakat sejahtera dan makmur yang menjunjung nilai demokrasi dan penghormatan Hak Asasi Manusia. 

Mahasiswa atau pemuda generasi penerus bangsa tidak mesti mati muda sebagaimana tokoh-tokoh yang penulis sebut diatas. Dengan tetap setia kepada cita-cita hakiki kemerdekaan bangsa, dan menjaga idealisme, moralitas, nalar kritis dan kejujuran sampai kapanpun, anda sudah pantas menjadi legenda.