Di dalam hidup kita, kerap kali kita di pertemukan dengan beberapa penyesalan tentang beberapa keputusan yang telah kita ambil sebelumnya, kita ingin berada di suatu kondisi atau tempat dimana kita merasa disituhlah aku “seharusnya”, lantas apakah itu benar benar harus ?
“Aghhh pekerjaan numpukk seharusnya aku tidak menunda nunda!”
“Aku seharusnya berhenti scrolling dan mulai mengerjakan sesuatu yang produktif”
Dewasa ini seberapa seringkah kita merasa harus melakukan sesuatu tapi sebenernya tidak ada keinginan buat melakukannya? Setiap bulan, seminggu, atau bahkan tiap hari? Jika di perhatikan , mungkin terdapat beberapa keputusan yang kita ambil itu sebenernya didorong sama ekspektasi orang lain ataupun standar yang kita inginkan bukan keinginan kita sendiri. Itu bukan hal yang kita mau lakukan, tapi hal yang kita rasa HARUS kita lakukan.
Mudah untuk buat kita ngerasa kayak gitu, terlebih kalo kita inget-inget keputusan penting yang kita ambil waktu kita masih muda. Misalnya, pilihan tentang pelajaran yang harus kita ambil, di mana kita harus tinggal, atau bahkan siapa calon pasangan hidup kita. Kadang-kadang itu semua didasarkan sama pandangan temen-temen kita, orangtua atau pun fantasi kita sendiri. Lalu apa itu seharusnya ?
Apa itu “Seharusnya” ?
Kata “Harus” atau “Seharusnya” kerap kita jumpai di dalam kehidupan sehari-hari yang biasa di gunakan sebagai kalimat perintah dari orang-orang sekitar ataupun dari diri kita sendiri, tapi apa makna di balik kata “Seharusnya”? Dalam konteks seperti apa dan apakah berpengaruh terhadap lawan bicara ?
Merujuk ke salah satu artikel yang saya jumpai tentang makna kata “seharusnya” dan juga KBBI makna kata tersebut merujuk pada lema semestinya, sepatutnya, dan sepantasnya. Semua kata-kata tersebut juga termasuk kelas kata adverbial/kata kerja. Bahkan pada diksi semestinya, ada pemaknaan sememangnya. Kata 'sememangnya' sangat jarang digunakan dalam percakapan/komunikasi.
Dalam KBBI sendiri, kata seharusnya dimaknai sepatutnya, semestinya, dan sepantasnya. Kata semestinya bermakna seharusnya, sebenarnya, dan sememangnya. Kata sepatutnya dimaknai selayaknya, seyogyanya, dengan sepantasnya, dan dengan baik-baik. Selain itu sepintas saya juga sempat melihat terdapat dua arti dari kata “Harus”.
harus1/ha·rus/ adv1 patut; 2 wajib; mesti (tidak boleh tidak): kalau dia tidak datang, kau -- menggantikannya;
harus2/ha·rus/ v boleh dilakukan dan boleh juga ditinggalkan; jaiz; mubah: hal yang demikian itu hukumnya –
Di dalam penggunaan kata ini saya juga membaginya kedalam dua konteks external dan internal sebagai contoh :
Extr = Orangtua : “Seharusnya kamu bgini loh atau jadi kek dia”
Intr = Monolog “Saya seharusnya bgini deh atau begituh yah ? Oh mungkin saya seharusnya seperti ini !”
Beratnya kata “Seharusnya”
Menurut saya kata ini merupakan kata yang memiliki beban yang cukup berat, sehingga dapat menimbulkan dampak tertentu bagi individu. Contoh jika kita memakai kata ini dalam berkomunikasi dengan orang lain mungkin itu akan terlihat sebagai sebuah saran terlebih jika itu memiliki dasar yang jelas, namun bagaiamana jika itu terjadi di dalam kepala kita sendiri ? akibat dari standar yang kita ciptakan pada diri kita sendiri ?
Kata “seharusnya” lebih rentan mempunyai beban expektasi yang cenderung tinggi selaras dengan berjalannya target yang tinggi dan juga tidak realistis. Tak ada salah nya kita mempunyai standar diri yang cukup tinggi guna mencapai mimpi atau pun guna beradaptasi dengan norma tertentu lagi pula kita juga butuh mimpi, but do you ever think, ini semua bukan melulu tentang apa yang kita mau ?
Terdapat salah satu teori dari psikolog terkenal yaitu The Tyranny of the Shoulds oleh Karen Horney, Horney mengatakan bahwa manusia mempunyai setidaknya dua gambaran ideal dalam bagaiamana manusia memandang diri mereka dua gambaran itu ialah Ideal & Truth.
Sesuai namanya Ideal merupakan suatu gambaran diri ataupun expektasi mengenai gambaran diri sebagai mana yang kita ingin kan, sedangkan Truth merupakan diri objektif yang sebenarnya.
deal dan truth memiliki jarak berbeda-beda bagi setiap individu, jarak itulah yang menentukan seberapa sering individu menggunakan kata seharusnya dalam bagaimana cara individu berinteraksi dengan dirinya sendiri, Semakin jauhnya atau besarnya gambaran ideal seseorang dapat membuat seseorang itu terlepas/terputus dari realitas ataupun dari gambaran diri mereka sebenarnya
Sebagai penutupnya izinkan saya menunjukkan salah satu karya puisi autobiografi dalam Lima Bab Pendek oleh Portia Nelson yang ada dalam buku There's a Hole in My Sidewalk: The Romance of Self-Discovery
Aku berjalan menyusuri jalan.
Ada lubang yang dalam di trotoar. Saya jatuh.
Saya tersesat. . . saya tidak berdaya.
Itu bukan salahku. . .
Butuh selamanya untuk menemukan jalan keluar.
Aku berjalan di jalan yang sama.
Ada lubang yang dalam di trotoar.
Aku berpura-pura tidak melihatnya.
Aku jatuh lagi.
Aku tidak percaya aku berada di tempat yang sama ini. Tapi itu bukan salahku.
Masih butuh waktu lama untuk keluar.
Aku berjalan di jalan yang sama.
Ada lubang yang dalam di trotoar. Saya melihatnya di sana.
aku tetap jatuh. . . itu kebiasaan. . . tapi,
mataku terbuka.
Saya tahu di mana saya berada.
Aku yang salah.
Saya segera keluar.
Saya berjalan di jalan yang sama.
Ada lubang yang dalam di trotoar. Saya berjalan di sekitarnya.
Aku berjalan menyusuri jalan lain.
Terimahkasih