Beberapa waktu lalu, dalam rangkaian pesan pendek yang panjang melalui WhatsApp, saya menemukan paduan kata yang terasa bermakna. Tanpa berlama-lama, langsung saya nyalakan Personal Computer (PC), piranti yang selalu digunakan untuk menulis.
Melalui PC, cuplikan rangkaian pesan tersebut langsung disalinulang seluruhnya. Setelahnya langsung saya ubah seperlunya untuk dihadirkan sebagai karya tulis.
Risalah Sampah, dua kata yang dipakai untuk menjuduli karya tulis itu. Satu catatan pendek buat saya, karena tidak lebih dari 750 kata. Walau begitu, penuturannya terasa menghantam kalbu. Menjadi semacam ajakan untuk menghayati takdir tercipta sebagai manusia.
Risalah Sampah adalah karya Laila Fariha Zein, yang biasa saya sapa Teh Uus. Orisinal. Meski saya sempat mengubah beberapa bagian, perubahan tersebut hanyalah agar Risalah Sampah tampak pantas.
Saya hanya berperan sebagai sejenis petugas kebersihan untuk menata luapan sampah yang dibuang semaunya oleh perempuan ini. Hampir tidak ada perubahan yang dilakukan terhadap catatan ini, dan kalaupun ada sama sekali tak berarti.
Saya punya kegemaran membaca dan menulis, dan saya kagum pada catatan Teh Uus yang dijuduli Risalah Sampah itu. Yang terutama saya kagumi adalah karena Teh Uus menuliskan catatan ini tanpa dalih untuk menjadi penulis. Dia menuliskan ini tidak dengan kesadaran atau kebanggaan sebagai penulis.
Tentu saja saya bangga dan bahagia menjadi pembaca pertama Risalah Sampah ini. Pasalnya Teh Uus menghasilkan catatan yang sama sekali tak berkelindan dengan posisi eksistensialisme, gengsi kepenulisan, juga tidak harapan agar catatannya diterbitkan.
Puncak kebanggaan saya adalah karena dia bukan mengarang. Melalui Risalah Sampah, Teh Uus tidak sedang mengarang, bukan melakukan pekerjaan mereka-reka. Teh Uus menuliskan catatan tersebut dalam rangka menulis itu sendiri, hanya sekadar mengungkapkan sesuatu yang dipendam dalam ruang rasanya. Tidak penting dia memiliki pengalaman atas yang ditulisnya atau tidak.
Lalu mengapa catatan itu saya juduli Risalah Sampah?
Pertama, karena dari seluruh kata yang dekat dengan catatan, saya lebih suka menggunakan kata ‘risalah’. Kata ‘risalah’ lebih dekat dengan kata rasul, istilah khusus yang hanya diberikan kepada 313/4/5 orang saja.
Melalui kata ‘risalah’, tersirat harapan bahwa catatan yang dihasilkan bisa memberikan penghiburan dan peringatan—seperti misi basyiran dan nadziran yang dilakukan oleh para rasul.
Kedua, catatan itu terasa sebagai luapan hati Teh Uus yang mungkin sedang tercemar keruh dalam lintasan perjalanannya. Teh Uus enggan berlama-lama dicemari, sehingga dia membersihkan dengan cara membuang keruh melalui sebuah catatan. Oleh karena itu, ketika catatan tersebut dibaca, sebenarnya pembaca sedang menikmati sampah dari Uus—yang ternyata enak dan perlu.
Uus memang bukan pengarang. Dia adalah manusia seutuhnya dalam arti al-insan, al-basyar, dan an-naas, yang menghayati kehidupan dengan terus menjalaninya, merenunginya, menangisinya, dan menertawakannya. Catatan hanya salah satu ungkapan dari laku perjalanan yang dialami olehnya.
Memang Risalah Sampah bukanlah catatan megah dalam hal gagasan maupun penyampaian.
Penuturan Teh Uus memang bukan ungkapan baru, menjadi baru hanya karena diucapkan olehnya, diucapkan oleh bukan sekadar penghafal sederet kalimat itu walakin sekaligus oleh sang pelaku. Satu penyebab catatan memiliki energi yang dirasakan, bukan semata materi untuk disampaikan.
Referensi
Laila Fariha Zein. (2018). Risalah Sampah. Qureta, 10 September. [lihat]