Mampukah kamu menghitung berapa banyak masalah yang manusia hadapi dalam kehidupan sehari-hari? Jika mampu, dengan ini saya nobatkan kamu sebagai Manusia setengah Dewa.

Hahaha canda; pasti banyak, bukan? Sebanyak buih di lautan mungkin. Lantas dengan masalah sebanyak itu bagaimana manusia menyelesaikannya? Pernah dengar logika belum?

Masih banyak teman organisasi saya yang tidak mengetahui logika. Ada juga yang mungkin pernah mendengarnya tapi tak mendalaminya, dan mungkin kamu juga salah satunya hehehe... 

Padahal logika pada dasarnya adalah satu-satunya alat manusia untuk membedah suatu masalah. Jadi, ketika kamu punya masalah maka kamu perlu alat bernama logika untuk membedahnya, lalu mengambil pertimbangan untuk menyelesaikan masalah itu. Dengan kata lain, logika adalah alat yang tentunya sering kamu gunakan, meskipun kamu tidak mengetahui bahwa logika itu ada.

Permasalahan yang timbul jika kamu menggunakan logika tanpa mengetahuinya adalah seperti memberikan pisau ke anak balita. Pernah lihat tidak anak balita megang pisau dapur lagi main dengan anak seusianya? Ngeri? 

Anak itu bisa menyayat, memotong, atau menusuk diri sendiri, dan orang di sekitarnya tanpa ia sengaja. Di dalam ilmu logika hal ini disebut dengan logical fallacy, atau sesat berpikir. Jadi logika bisa berguna dan juga dapat berbahaya, seperti pedang bermata dua.

Logical fallacy atau sesat berpikir sangat efektif dan manjur untuk melakukan tindakan tak bermoral, seperti mengubah opini publik, memutar balikkan fakta, mengubah yang tidak ada menjadi ada, atau yang ada menjadi tidak ada,  bagi-bagi sertifikat tanah, kasus mobil Esemka, pelanggaran hak asasi manusia dan sebagainya. 

Umumnya yang sengaja ber-fallacy adalah orang yang memiliki tendensi pribadi ataupun tendensi orang sekitarnya. Sedangkan yang berpikir ngawur adalah orang yang tidak menyadari kekurangan dirinya, kurang membaca, contohnya.

Logika sangat penting bagi peradaban manusia. Tak ada peristiwa yang terjadi tanpa adanya pengaruh logika. Jika peristiwa itu terjadi dengan landasan Logika yang benar maka hasilnya pasti baik dan jika terjadi dengan landasan logical fallacy maka hasilnya pasti buruk!

Masih banyak pula teman organisasi saya yang terjerat oleh penyakit logical fallacy. Orang yang terjangkit penyakit ini, bisa saja terlihat berpikir dengan benar, sehinggga dengan mudah dia bisa menularkan penyakitnya ke orang lain. 

Oleh karena itu dibutuhkan suatu aturan-aturan agar dapat lebih mudah menghindari jeratan penyakit ini. Aristoteles Sang Bapak Ilmu Pengetahuan telah membuat aturan-aturan untuk berlogika dengan benar sekitar abad ke-4 SM. 2400 tahun yang lalu.

Sudah sangat lama ilmu logika ada. Lantas kenapa masih ada saja orang yang tidak mengetahui ilmu ini? Hmm... Mengherankan. Hasil survei Programe for International Student Assessment (PISA) terkait tingkat literasi pada tahun 2015 menempatkan Indonesia di peringkat ke-62 dari 72 negara. 

Jika Indonesia adalah anak tetangga dekat rumah, mungkin dia sudah habis dibanding-bandingin emaknya dengan anak peringkat pertama hahaha.... By the way hasil survey PISA ini bisa jadi menunjukkan penyebab kenapa masih ada saja orang yang tidak mengetahui logika. Rendahnya minat baca turut andil menurunkan tingkat literasi Indonesia.

Kurikulum pendidikan di negeri kita tidak memasukkan logika sebagai mata pelajaran wajib. Hal ini turut mendukung penyakit sesat berpikir. Penyakit ganas yang kerap menyerang ketika manusia tidak mempelajari ilmu logika. 

Untungnya ada beberapa organisasi yang mewajibkan kadernya untuk mempelajari ilmu ini, meskipun sebutannya berbeda-beda seperti Mantiq, kerangka dasar berpikir ilmiah, dan berbagai sebutan lainnya.

Ada juga organisasi yang hanya mengajarkan retorika tanpa logika. Singkatnya Retorika adalah seni persuasi atau bujuk rayu agar sasaran dapat membantu terpenuhinya tujuan si persuader (orang yang mempersuasi)

Jika kadernya tidak mengetahui logika maka hal ini hanya menambah populasi penduduk Indonesia yang gemar dengan logical fallacy. Kadernya sangat berpotensi untuk melancarkan logical fallacy dengan teknik-tekntik retorikanya. Organisasi seperti itu berpotensi melahirkan kader-kader berwatak Penjahat.

Di dalam ilmu logika terdapat istilah argumentum ad antiquitatem, Organisasi yang telah terjangkit penyakit logical fallacy biasanya menerapkan hal ini. Beberapa organisasi yang berbasis senioritas atau mungkin padanan kata yang lebih tepat adalah gerontokrasi (Geronto = tua, Krasi = Kekuasaan) juga kerap menerapkan argumentum ad antiquitatem.

argumentum ad antiquitatem adalah sesat berpikir yang terjadi karena menggangap apapun yang terjadi dan berhasil pada masa lampau adalah kebenaran.

Sesat berpikir ini umumnya berbentuk seperti :

1. Kata Senior, X telah dilakukan sejak lama,
2. X adalah benar atau baik.

argumentum ad antiquitatem atau pemikiran yang berpatok pada masa lampau dapat menjadi alasan yang membenarkan hal-hal salah atau diskriminatif.

Retorika tanpa logika hanya akan menjerumuskan manusia menjadi orang-orang berseragam oranye seperti yang biasa muncul di TV. Retorika tanpa logika layaknya bungkus permen tanpa isi. Sia-sia dan berbahaya.

Jadi wajar saja jika hanya segelintir orang yang merasakan manisnya buah logika ini. Logika semacam privilege yang hanya dinikmati kaum tertentu dan tanpa logika juga tentunya kamu akan mudah terperdaya dengan janji-janji busuk para politisi pada saat masa-masa kontestasi politik seperti hari-hari ini.