Letih lesu tubuhku. Keringat mengucur deras, bermunculan dari wajah dan badanku. Kakiku kadang bergetar menahan beratnya beban di pundak.
Berjibaku dengan kehidupan mau tak mau membuatku menjadi seorang buruh. Rasa berat hati memang ada. Tapi aku tak tahu ke mana arah langkah kaki ini pergi selain harus terus memikul karung. Protes pada kehidupan juga sia-sia. Mungkin lebih baik menikmati saja (?).
“Om Linus, tolong bawa 200 kilo ke bagian produksi. Nanti, setelah itu, om Linus tolong antar yang sudah jadi ini ke bagian gudang. Segera!”.
“Baik pak, segera dilaksanakan”.
Dua belas tahun bekerja di pabrik, hampir tak ada protes. Kalau pun ada, itu hanya tersimpan dalam hati. Tak aku keluarkan. Tak mau pula aku pendam menjadi dendam. Barangkali sampai di sini aku bisa memaklumi keberadaan takdir. Namun, setiap hari aku mencoba melawan takdir itu.
“Bro, Linus, apakah kamu tidak capai bekerja di sini? Apakah kamu puas dengan gaji yang hanya lima puluhan ribu itu setiap hari?”
“Tidaklah, bro Vid. Tetapi, jika tidak puas dan lalu pergi dari sini, apakah ada jaminan bagi saya untuk bekerja di tempat lain? Umur hampir kepala empat begini mana ada yang mau menerima?”
“Tapi dari wajah bro Linus, tampak selalu tidak bersemangat”
Aku tak tahu harus bagaimana. Keseharian menjadi buruh membuatku terus hidup di bawah beban karung berkilo-kilo. Memikul karung menjadi pekerjaan harianku. Sehingga teman-teman buruh memberiku julukan “Om Linus Tukang Pikul Karung”.
Di pabrik tidak ada pekerjaan lain bagiku selain memikul karung. Dari profesi pemikul karung pula, yang terbayang di pikiranku adalah uang, uang dan uang. Ini demi istri dan dua anak-ku yang masih di bangku sekolah dasar.
***
Senin, 11 September 2018. Pagi yang cerah. Aku kembali masuk pabrik bersama si bebek yang mulai reot termakan usia. Beruntung, jalanannya tidak terlalu macet dan ribet. Memang tumben hari Senin tidak macet seperti biasa.
Terbersit dalam pikiran kalau jalanan tidak macet, apalagi hari Senin, artinya akan ada suatu hoki di pabrik. Barangkali hari ini memberi secercah harapan akan gaji.
“Kami minta gaji kami!!!”
“Berikan upah kami!!!”
“Kami menuntut keadilan!!!”
“Keadilan harus ditegakkan dalam upah yang adil!!!”
Aku mendengar suara itu dari kejauhan. Benar. Ratusan pekerja tampaknya sedang berada di depan kantor. Mereka menuntut upah yang belum dibayar.
Beberapa karton melayang-layang di atas kepala para pendemo yang tidak lain adalah teman-teman pekerja pabrik. Dominan tulisan adalah seperti yang aku dengar dari kejauhan tadi. Mereka menuntut gaji!
“Bro Linus”, panggil seseorang dari antara para pendemo. Rupanya David. “Kemarilah, ikut bersuara atas ketidakadilan yang menimpa kita”.
“Apa tuntutan yang harus disuarakan?”
“Apakah cuma bro Linus yang belum tahu? Pihak pabrik belum memberi kita gaji bulan ini”.
Benar! Hari ini sudah minggu kedua tapi gaji belum juga diberikan. Keluhan istriku dua hari yang lalu juga ada benarnya, sebab keuangan keluarga telah menipis karena banyaknya keperluan dadakan.
Belum sempat kami berbicara lanjut, pak Dirla keluar dari kantor. Suara yang terus berteriak ketidakadilan pun mulai mereda. Dalam tempo lima menit, pendemo diam hendak mendengar putusan pembayaran gaji.
“Baik teman-teman semua. Kami memohon maaf atas keterlambatan dalam pembayaran gaji teman-teman. Tadi dari pihak bank memberitahukan kepada kami bahwa mereka membuat sebuah kesalahan kecil, tetapi berakibat buruk pada kelancaran pihak pabrik dalam hal distribusi gaji teman-teman sekalian. Di tangan saya sudah ada surat pernyataan resmi dari pihak bank. Dan pihak kami juga saat ini sedang mendistribusi gaji teman-teman sekalian. Sekali lagi kami mohon maaf dan teman-teman bisa bekerja kembali sebagaimana mestinya”.
Satu per satu pekerja mulai bergegas pergi masuk ke dalam pabrik hendak melanjutkan pekerjaan. Suara-suara lega terdengar kecil di antara para pekerja.
David di sampingku juga sangat lega dengan peristiwa itu, sembari agak jengkel dengan kekeliruan pihak bank. Aku sendiri sangat bersyukur dengan berita dari pak Dirla sehingga aku juga bisa bekerja dengan tenang.
“Bagaimana bro David, sudah lega sekarang?”
“Iyalah bro Linus. Kan bayar dulu baru kita semangat kerja?”
Selepas demo, semua kembali bekerja seperti biasa di pos masing-masing. Aku melihat ibu-ibu mulai berhadap-hadapan dengan mesin-mesinnya, para mandor hilir mudik mengontrol para pekerja, David dengan kereta besi pengangkut barang-barang jadi, lalu Beni dengan mobil pengangkut barang mentah. Aku sendiri kembali dengan karung-karung berat.
***
Pukul 12.00. Artinya, jam istirahat tiba. Seperti biasa, aku mencari makan di warung makan. Letak warung tidak jauh dari pabrik. Tapi aku pergi ke warung dengan perasaan penuh beban seperti beratnya beban karung. Aku merasa tidak tega menggunakan uang ini. Mungkin lebih baik aku menabung saja untuk keperluan lain. Tetapi, jam kerja masih sampai jam tiga.
Di warung, aku duduk sendiri. Sudah lima menit terduduk, tapi aku belum memesan apapun selain termangu di antara keramaian para buruh pabrik yang tengah menikmati istirahat siang.
“Tukang pikul karung, kamu kenapa?”
Rupanya Beni yang datang membangunkan lamunanku. Tapi aku masih terdiam dan baru mulai bicara ketika dia duduk tepat di depanku.
“Hidup ini memang sulit ya bro Ben”.
“Hmmm? Ada apa denganmu teman?”
“Huufff... Saudara kandung yang tinggal dengan saya di rumah kontrakan sedang sakit. Sudah dua hari dia tidak dibawa ke rumah sakit.”
“Saudaramu itu sakit apa?”
“Demam berdarah”
“Gawat itu. Mengapa tidak ke rumah sakit?”
“Boro-boro ke rumah sakit, uang saja tidak punya. Masalahnya, saya sedang bingung menggunakan uang yang ada. Kalaupun besok terima gaji, saya bingung, antara mengantar saudara ke rumah sakit atau untuk bayar kontrakan, makan minum istri anak juga pendidikan anak.”
Wajah Beni ikut murung. Dia tampak seperasaan denganku.
“Teman Lin, hidup sebagai buruh memang tidak sejahtera. Dulu saya berpikir kalau kerja di pabrik pasti dapat uang banyak mengingat setiap hari pabrik selalu memproduksi barang-barang. Jadi, uang juga selalu masuk ke pabrik. Tapi nyatanya tidak demikian. Uang hanya dinikmati oleh mereka yang di kantor. Bila pun kita demo pasti tidak digubris. Bila pun putus kerja sama pabrik, kita tidak tahu apakah ada jaminan untuk mendapat pekerjaan di luar sana atau tidak. Kita ini terpinggir dan tak diperhatikan!”
“Betul bro Ben. Sejak bekerja di sini, saya tak pernah diperhatikan. Jangankan diperhatikan sama elit pemerintah setempat, dengan elit berdasi di kantor saja hampir tidak pernah.”
Kami lalu terdiam bersama di tengah keramaian itu. Terbersit dalam pikiran, sampai kapan harus menjadi seperti ini? Aku tak apa dengan keadaan diriku saat ini.
Tetapi bagaimana dengan keluargaku, istri dan anak-anak? Masih cukupkah tenagaku mencari nafkah untuk keluarga? Cukupkah gaji yang ku terima untuk makan minum dan pendidikan anak-anakku?
Runyam kehidupanku. Aku sadar kalau karung-karung ini merengut masa depanku, merebut jalan hidupku, dan menghabiskan energi tubuhku. Adakah nasib baik untukku dan juga teman-temanku di sini yang entah mengapa bernasib menjadi buruh?
Sesekali aku hanya bisa menghela nafas di tengah pekerjaanku. Memikul karung adalah memikul salib, sama seperti Dia, Si Pemikul Salib. Tidak ada yang indah dalam pekerjaan ini. Tapi aku tak ingin melihat pekerjaan memikul karung sebagai pekerjaan yang hina, karena Si Pemikul Salib tak pernah memandang pekerjaan-Nya yang terakhir itu sebagai pekerjaan hina.
Aku sebagai buruh dengan penghasilan yang jauh dari sejahtera ini sangat mengharapkan akan datangnya kebaikan. Bukan hanya untukku saja, tapi juga teman-teman buruh yang lain. Dia yang memikul salib sudah mendapat kemenangan lewat kebangkitan-Nya.
Tapi, penderitaanku dalam memikul karung salib belum juga berakhir. Aku masih sangat menderita dengan karung berisi salib-salib kecil itu! Aku juga ingin mengakhiri semua ini seperti Dia dalam kemenangan. Aku mengharapkan kemenangan lewat kesejahteraan hidup, sebuah hidup yang lebih baik di kemudian hari.