Sidang sengketa hasil pemilu khususnya pilpres 2019-2024 telah usai. Seluruh gugatan dari kubu 02 ditolak oleh MK. Puluhan atau bahkan ratusan bukti yang diajukan tim kuasa hukum Prabowo-Sandi dikesampingkan dan tidak diteliti atau ditindaklanjuti oleh para hakim MK.
Bagi pendukung Prabowo-Sandi, apa yang terjadi pada sidang MK adalah bukti konkret kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif. Narasi bahwa hakim MK ternyata manusia biasa dan bukan kepanjangan "tangan" Tuhan muncul akibat ketidakpuasan mereka atas hasil sidang.
Pertanyaan besar yang mungkin ada di benak mereka adalah, bukti seperti apa lagi yang diinginkan MK? Belasan saksi lapangan, puluhan bukti fisik, beberapa video, dan bahkan pendapat ahli sudah dihadirkan. Kenapa tidak ada satupun yang berhasil menyita perhatian para hakim MK? Bahkan, para hakim MK ini memutuskan secara mufakat, tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka.
Di sinilah masalahnya. Kuasa hukum BPN yang dikepalai dua orang ahli hukum sekelas Bambang dan Denny saja tidak mampu membawa bukti yang layak. Wajar jika para pendukungnya juga tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang jenis bukti seperti apa yang dikehendaki oleh UU dan yang akan dipertimbangkan oleh MK.
Seluruh bukti yang diajukan kuasa hukum 02 adalah bukti kualitatif, sedangkan yang diinginkan MK adalah bukti kuantitatif. Tidak semua bukti kualitatif dapat dikuantifikasi. Kalaupun bisa dikuantifikasi, sifatnya hanya asumsi dan bukan merupakan sebuah kepastian. Ruang perdebatan akan sangat luas di sana.
Berbeda dengan bukti kualitatif, bukti kuantitatif dapat secara pasti dihitung pengaruhnya terhadap perolehan suara. Ruang perdebatan akan sangat sempit, maksimal hanya akan memunculkan perdebatan mengenai memengaruhi atau tidak, bukan seberapa besar pengaruhnya.
Money politics termasuk bukti kualitatif, karena tidak dapat dihitung jumlah suara yang diperoleh dengan adanya money politics tersebut. Begitu pula menaikkan gaji ASN, tidak dapat dihitung berapa jumlah ASN yang berubah pikiran setelah mendapat kenaikan gaji. Bahkan, beberapa survei menyebut mayoritas ASN malah cenderung memilih paslon 02.
Lalu, berbentuk seperti apakah bukti kuantitaif itu? Berikut lima contoh bukti kuantitatif yang pastinya akan dipertimbangkan MK. Bahkan jika jumlahnya cukup, bisa jadi MK akan memutuskan paslon 02 yang memenangkan pilpres atau minimal meminta diadakan PSU.
1. Model C7.DPK-KPU, Daftar Hadir Pemilih Khusus
Beberapa orang mengisahkan bahwa mereka bisa mencoblos di TPS tempat domisili hanya dengan membawa e-KTP beralamat asal tanpa membawa form A5 sebagai bukti pindah TPS. Hal ini tentu bertentangan dengan aturan dari KPU.
Form model C7 yang merupakan daftar hadir di tiap TPS bisa dijadikan bukti bahwa ada oknum yang tidak berhak menggunakan suaranya, tetapi diizinkan oleh KPPS di TPS. Bukti ini bisa menjadi sarana untuk menuntut diadakannya PSU.
Terlebih jika kejadiannya benar-benar masif, ada 1 juta orang yang hanya menggunakan e-KTP tanpa A5 mencoblos di TPS yang tidak sesuai alamat. Mengadakan PSU di 500.000 TPS (misal tiap TPS ada dua pelaku) tentu merepotkan, maka gugatan yang dilayangkan adalah menganggap 1 juta orang tadi semua memilih paslon 01 dan meminta 1 juta suara paslon 01 dikurangkan.
2. Model C1-PPWP, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara Paslon Presiden dan Wakil Presiden di TPS
Saksi lapangan yang seharusnya dibawa BPN ke persidangan adalah saksi TPS. Laporkan kesalahan hitung, baik disengaja atau tidak, dengan membawa bukti copy Model C1-PPWP yang dibawa saksi TPS. Akan lebih lengkap jika disertai Model C2-KPU sebagai pernyataan keberatan saksi saat perhitungan suara di tingkat TPS yang tidak diindahkan KPPS.
Contoh kesalahan hitung di sini, misalnya, jumlah suara paslon 01 dan 02 yang tertukar saat memindah ke Model C1-PPWP atau Model C1-Plano-PPWP. Jumlah perhitungan seharusnya paslon 01 mendapat 50 suara dan 02 memperoleh 150 suara, tapi oleh KPPS ditulis sebaliknya. Keberatan saksi tidak digubris dan C1 yang salah itu yang dibawa ke tingkat kelurahan.
Jika ada 10.000 saksi TPS yang melaporkan ini ke MK, maka gugatan yang diajukan adalah menambah 1 juta suara 02 dan mengurangkan 1 juta suara 01.
3. Model DA1-PPWP, Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Paslon Presiden dan Wakil Presiden dari setiap Kelurahan/Desa
Saksi lapangan yang seharusnya dibawa BPN berikutnya adalah saksi perhitungan suara tingkat Kelurahan/Desa. Ketika tidak semua TPS memiliki saksi, maka peran saksi perhitungan suara tingkat kelurahan atau desa menjadi penting.
Ada narasi yang menyebut bahwa kecurangan terjadi bukan di tingkat TPS, tetapi di tingkat atasnya. Modusnya berupa me-mark up hasil perolehan suara di tingkat kelurahan. Bisa dengan cara mengedit hasil perolehan suara 01 dan 02, mengubah suara tidak sah atau sisa surat suara menjadi suara 01, dan sebagainya.
Nah, tugas saksi kelurahan adalah mengumpulkan C1 di tiap TPS dan mencocokkan hasil perhitunganya dengan model DA1 yang merupakan rekapitulasi di tingkat kelurahan. Jika ada perbedaan, berarti ada yang salah.
Misal, berdasarkan C1 dari 50 TPS di sebuah kelurahan, total suara 01 adalah 2.500, suara 02 adalah 7.500, suara tidak sah 1.000, dan sisa surat suara 4.000. Tetapi di model DA1-PPWP tertulis paslon 01 mendapat 7.500 suara, paslon 02 memperoleh 7.500 suara, sedangkan suara tidak sah dan sisa surat suara 0. Mark up 5.000 suara ini, apabila terjadi di 200 kelurahan, maka kuasa hukum BPN dapat menggugat 1 juta suara 01 tidak sah.
4. Model DB1-PPWP, Sertifikat Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Paslon Presiden dan Wakil Presiden dari setiap Kecamatan
Tidak punya cukup saksi untuk hadir di setiap kelurahan? Masih memungkinkan untuk menghadirkan saksi di perhitungan tingkat kecamatan. Tetapi jika tidak ada saksi di kelurahan, lalu manipulasi terjadi di level kelurahan, tentu saja perhitungan di tingkat kecamatan akan terlihat benar.
Mengumpulkan copy C1 di tiap TPS dalam lingkup satu kecamatan akan lebih sulit daripada mengumpulkan C1 untuk satu kelurahan.
Di sini saksi tingkat kecamatan harus membandingkan dengan sumber lain. Dengan Kawal Pemilu, misalnya. Maka, perbedaan hasil perhitungan Kawal Pemilu dengan hasil perhitungan dalam model DB1 akan menjadi bukti yang valid dan layak diperhitungkan oleh MK. Tentu, MK akan meneliti lebih jauh perhitungan siapa yang salah.
Ingat, Kawal Pemilu menghitung berdasarkan C1 di tiap TPS yang di-upload oleh relawan, sehingga jika manipulasi terjadi di tingkat kelurahan, maka akan ada perbedaan perhitungan antara kawal pemilu dan KPU.
Misal, saksi kecamatan menemukan ada 50 kecamatan yang hasil perhitungan di DB1-PPWP untuk suara 01 berselisih rata-rata 20.000 lebih banyak dengan Kawal Pemilu, maka gugatan untuk mengurangkan suara 01 sebesar 1 juta bisa diajukan.
5. Daftar DPT, Model C7.DPT-KPU dan C1.
Ada indikasi terdapat jutaan DPT siluman, ada di daftar nama, tetapi orangnya tidak ada. Untuk membuktikan DPT siluman ini memengaruhi hasil, maka saksi BPN harus menunjukkan bukti bahwa jatah surat suara milik DPT siluman ini dimanfaatkan.
Caranya, menunjukkan daftar hadir C7.DPT-KPU di mana nama-nama yang terindikasi siluman ini tidak hadir, tetapi surat suaranya tercoblos atau tidak ada sisa surat suara di form C1-nya.
Bisa juga dengan menunjukkan C7 di mana tulisan tangan dan tanda tangan nama-nama DPT siluman tadi mirip, sehingga terkesan satu orang menggunakan banyak surat suara.
Atau, misalkan nama-nama DPT siluman itu digunakan oleh warga asing, atau anak berusia kurang dari 17 tahun. Saksi bisa mengambil foto dan menunjukkan bahwa ada pemilih tidak sah yang diizinkan KPPS untuk mencoblos.
Dengan bukti-bukti tersebut, kuasa hukum 02 dapat meyakinkan MK bahwa jutaan DPT fiktif tadi dapat memengaruhi hasil suara. Katakan ada 1 juta DPT fiktif yang terbukti dimanfaatkan dengan berbagai cara.
Kelima bukti di atas menunjukkan bahwa pilpres 2019 penuh dengan kecurangan yang TSM, ada 1 juta oknum yang mencoblos di TPS lain tanpa A5, ada mark up suara di 10.000 TPS, manipulasi data di 200 kelurahan, otak-atik perhitungan di 50 kecamatan, dan 1 juta DPT palsu yang jatah surat suaranya dimanfaatkan.
Namun sayangnya, bukti-bukti tersebut masih kurang, karena selisih suara 16 juta lebih. Jika kuantifikasi bukti yang diajukan hanya 6 juta, masih ada 10 juta selisih suara yang perlu dibuktikan ketidaksahannya.
Lalu, pada sidang MK kemarin, ada berapa suara 01 yang terbukti tidak sah? Ada berapa selisih suara yang terpangkas? Saya rasa jawabannya adalah tidak ada.