Aura Asmaradana yang terkasih,

Saya sepakat ketika Aura berkata, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah korban dari produk hukum Indonesia. UU Penistaan Agama adalah pasal karet yang tak bisa lagi dipertahankan, apalagi harus diberlakukan.

Ya, 156a itu kini menjadi pasal maut untuk Ahok. Catatan Najwa menyebutkan, pasal ini menjadi senjata ampuh yang dibarengi dengan hebatnya politik tekanan massa.

Tak terhitung kiranya sudah berapa kali pasal ini diuji-materikan di Mahkamah Konstitusi. Banyak pihak sudah menyatakan: pasal itu sudah tidak lagi relevan di alam demokrasi. Tetapi mengapa tetap saja eksis? Ini problemnya.

Sebenarnya tidak ada problem jika Pasal 156a ini ada. Hanya saja, pemberlakuannya tak jarang eksis secara semena-mena. Dan itu jelas dalam kasus Ahok. Pemberlakuannya hanya berpihak pada yang kuat. Pemberlakuannya menindas pada yang lemah, pada yang berbeda.

Aura, saya juga sepakat ketika kamu menyebut bahwa kasus Ahok itu tidak bisa ditindak tegas secara hukum. Berulang kali soal ini sudah juga saya sampaikan—sila rujuk Buku Qureta (Buqu) saya berjudul Gara-Gara Pilkada. Seperti katamu, hukum itu objektif, tak bisa dipaksakan kepada hal-hal yang sifatnya subjektif, personal, apalagi yang eksistensial.

Saya yakin Aura juga berpendapat sama. Bahwa pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu kala itu adalah murni perbedaan tafsir semata. Produk hukum seperti apa yang boleh menindak fakta perbedaan? Siapa yang bisa menentukan hina atau tidaknya suatu tindakan individu?

Hukum berlaku hanya di wilayah publik. Yang privat adalah urusan masing-masing. Bahkan ulama atau nabi sekalipun, sejauh itu menyangkut pengalaman religius (spritualitas) seseorang (individu), tak ada pihak yang berhak untuk mencampurinya. Negara? Apalagi. Tuhan? Saya yakin juga tidak.

Tapi sudahlah. Soal itu tidak akan jauh-jauh saya ulas kembali di tulisan ini. Inti yang ingin saya tekankan di sini adalah menjawab pertanyaan mendasarmu dalam Liberalisme Bukan Jalan Keluar.

Mengapa Liberalisme?

...Liberalisme memang merupakan ide bagus. Di tengah kompleksitas bernegara, cukup layaklah ia untuk dipertimbangkan sebagai basis berperilaku... Namun, benarkah liberalisme merupakan jalan keluar yang tepat?

Kesimpulan Aura: TIDAK!

Ya, saya memang mengulas liberalisme dalam Sikap Liberal untuk Kasus HTI dan Ahok. Dua kasus itu saya nilai sebagai bagian dari kompleksitas bernegara kita hari ini. Meski tidak melulu hanya untuk dua kasus itu semata, tetapi liberalisme tetap menjadi cara universal untuk meretas segala kompleksitas yang kini kita hadapi.

Mengapa harus liberalisme? Ada kesan dari Aura yang menilai liberalisme dari segi usianya saja. Benar bahwa paham pengusung ide kebebasan ini adalah tradisi politik yang kuno, klasik. Tapi itu bukan berarti bahwa kekunoan atau keklasikannya lantas harus diklaim sebagai hal yang tidak patut lagi kita berlakukan. Ke-tua-an tidak bisa meniadakan relevansi.

Alquran sendiri sebagai pedoman hidup umat Islam kan produk zaman klasik. Tapi mengapa itu tetap mereka rujuk? Ini sekadar bahan renungan saja. Bahwa relevansi ajaran itu terletak pada sejauh mana ia mampu kita kontekstualisasikan. Ruang dan waktu tak boleh jadi aral.

Konteks di mana kita hidup memang terbilang sudah maju. Itu jika kita perbandingkan dengan konteks kala liberalisme pada mulanya tercetus. Tapi Aura harus paham, bukankah realitas peradaban kita hari ini tak ada beda dengan realitas di abad kegelapan?

Lihatlah ketika kasus Ahok diplintir sedemikian rupa hanya karena perbedaan tafsir semata. Zaman kita bukan lagi zaman pembungkaman, bukan? Terlebih kita hidup dalam alam demokrasi seperti di Indonesia. Kebebasan individu mesti mendapat ruang yang istimewa.

Seperti di tulisan saya yang Aura respons, sejauh kebebasan individu tidak melanggar tatanan di luar dirinya, termasuk tatanan sistem keindonesiaa kita, kebebasan di sana sah adanya. Dan ini jelas berbeda dengan konteks kasus pembubaran HTI.

Masih perlukah kiranya saya mengumbar alasan mengapa pembubaran HTI saya pandang sebagai tindakan yang tidak melanggar kebebasan individu? Saya rasa sudah tidak. Jika pun belum jelas, Aura bisa merujuknya sekali lagi.

Kembali ke pertanyaan mendasarmu, Aura, di sini saya tekankan: liberalisme itu kuno tapi tetap relevan.

Merujuk sejarahnya, liberalisme jelas merupakan produk sejarah yang dipertaruhkan dalam pertarungan ide. Tanpa perlu lagi menyoal dari aspek pergulatannya, yang jelas, liberalisme mampu bertahan dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda-beda.

Saya ingin katakan, sejarah pergulatan liberalisme selamanya harus kita pandang sebagai proses pematangan daya berpikir. Ketika dulu orang hanya mampu berpatokan pada daya-daya di luar daya berpikirnya, semisal pada kebijaksanaan alam (natural) maupun yang tak berfisik (supranatural), dengan liberalisme, kini orang mampu menjadikan daya berpikirnya sendiri sebagai satu batu loncatan paling mendasar.

Jelas, kini mereka tak lagi berharap banyak pada yang lain di luar dirinya. Melalui proses berpikir itu, mereka dan kita akhirnya bisa mandiri. Mereka dan kita sudah mampu berdiri di atas kesadaran berpikir sendiri.

Relevansinya

Sejauh ini, belum muncul kiranya satu tatanan berpikir yang menghendaki kemajuan selain liberalisme. Sejumlah pilar yang ditanamkan, seperti misalnya kebebasan individu, demokrasi, kapitalisme, sekularisme, liberalisasi pendidikan, hingga emansipasi perempuan, siapa kiranya yang tidak menghendaki kebutuhan mendasar semacam itu?

Yang menolak berarti hendak menolak kemajuan dan kehidupan. Dengan kata lain, yang menolak berarti menghendaki sebuah kematian. Ngeri, ah!

Ada banyak pihak memang yang menolak tradisi politik bernama liberalisme ini. Tapi sejauh pengamatan saya, belum ada saya temui alasan penolakan mereka secara memadai. Jika pun ada, paling sebatas berdasar pada eksistensi masing-masingnya.

Kaum komunis atau sosialis misalnya. Ketika mereka menghendaki kepemilikan bersama dalam konteks ekonomi, mereka lalu mengusung doktrin sama rata-sama rasa. Tak ayal jika mereka menolak liberalisme yang mendasarkan sistemnya pada ekonomi pasar (kapitalisme) lantaran meniscayakan adanya kepemilikan pribadi atau individu.

Di wilayah ini, kira-kira sistem mana yang berpotensi mencipta kesejahteraan bersama? Mengutip Adam Smith, kalau seseorang mementingkan dirinya sendiri, maka secara tak langsung dia akan membawa kepentingan publik.

Sebagai contoh, jika Aura belajar sebaik-baiknya di lingkungan kampus, sekolah, atau kelas, maka teman Aura pasti akan terpantik untuk belajar sebaik-baiknya pula. Tujuan Aura dan teman-temannya adalah kepentingan diri agar bisa bermutu. Alhasil, kelas Aura pun kemudian jadi bermutu karena setiap orang akan berkompetisi.

Sayang, yang terjadi hari ini tidaklah demikian. Seperti kata Milton Friedman, yang terjadi justru sebaliknya: kalau orang selalu bicara mengenai kepentingan umum, maka secara tak langsung dia sebetulnya berbicara mengenai kepentingan pribadi.

Dalam kasus Ahok, ketika massa aksi berteriak Bela Islam atau Bela Ulama, apa yang hendak dituju? Benarkah kepentingan Islam yang mereka usung? Sungguh sebuah strategi politik paling busuk yang pernah saya lihat.

Berlanjut ke wilayah krisis moralitas yang Aura juga singgung. Benar, hari ini kita tengah berada di masa-masa kelam itu. Krisis moralitas melanda ruang publik kita. Korupsi merajalela. Kekerasan menjadi banal.

Untuk meretas krisis ini, Aura lagi-lagi menempatkan liberalisme sebagai jalan keluar yang telat. Yang Aura tawarkan: peran agama di wilayah publik tak boleh dikucilkan. Karena kalau begitu, seperti katamu, agama bisa menampakkan wajahnya yang mengerikan.

Sadarkah Aura menuliskan pandangan semacam ini? Kita memang patut mempertimbangkan hal itu. Tetapi ketakutan pada agama yang akan tampil beringas di ruang publik ketika ia dikucilkan, saya kira, tidak bisa jadi pertimbangan utama.

Memaksakan ini, saya jadi berpikir, jangan-jangan vonis hakim untuk Ahok itu juga mendasarkan keputusannya pada ketakutan seperti itu? Hakim takut kalau-kalau massa jadi beringas ketika tidak dianulir kepentingannya. Hukum jadi mati hanya karena ketakutan pada tirani mayoritas.

#RIPJustice. Equality before the law terbengkalai. Seperti inikah yang Aura harapkan?