Melindungi Tuhan dengan Undang-undang
Saya merasa getir melihat putusan hukum terhadap terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atas tuduhan menistakan agama Islam. Wacana pemenjaraan Basuki tidak sesederhana urusan mayoritas-minoritas; atau siapa bebas bicara apa di Indonesia. Bagi saya, pada dasarnya, Basuki adalah korban produk hukum.
Saya memang bukan ahli hukum. Secara logis saya sebatas menangkap bahwa UU Penodaan Agama mengandung diksi yang multitafsir nan tak terukur. Siapa yang dapat menentukan “hina” atau tidaknya suatu tindakan? Bukankah hal itu sangat subjektif?
Lebih jauh lagi, UU tersebut pada dasarnya tampak seperti pembelaan negara terhadap kebertuhanan. Saya memilih diksi kebertuhanan, bukan Tuhan, sebab kebertuhanan merangkum kompleksitas yang lebih dari sekadar Tuhan dalam agama-agama formal. Hal yang saya ungkapkan memang bukan hal baru. Sudah banyak orang yang begitu percaya bahwa UU Penistaan Agama adalah sebuah pasal karet yang tak pantas dipertahankan.
Pada momen pertama kemunculannya di era Presiden Soekarno, UU Penodaan Agama memang berupaya menyingkirkan aliran kepercayaan lokal yang mengandung mistisisme. Di masa kepemimpinan yang otoriter dan sentralistik itu, ada anggapan bahwa telah bermunculan para pemeluk aliran-aliran tersebut yang memecah persatuan nasional dan menodai agama (Islam). Dalam pasal-pasalnya, terdapat semacam pembelaan terhadap tuhan. Hukum yang imanen digunakan untuk mengawal sesuatu yang transenden. Hukum yang objektif, digunakan untuk menilai sesuatu yang bersifat subjektif, personal, dan eksistensial.
Seperti dilansir Tirto.id, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani menilai, penafsiran atas pasal 156a bercabang. Praktiknya bisa dengan mudah digunakan semena-mena. Menurutnya, sejauh ini, pasal terkait penodaan agama tersebut selalu menimbulkan kegaduhan yang dimotori oleh para pelapor. Ada kecenderungan, desakan massa dipakai untuk memutuskan perkara penodaan agama.
Dalam Rancangan KUHP (RKUHP), pemerintah memecah pasal 156 dan 156a menjadi 6 pasal. Peraturan tersebut diselipkan di BAB VII RKUHP, terkait tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama, terdiri dari pasal 348 hingga 353.
Padahal, pasal tersebut berbenturan dengan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi melalui UU No.12 tahun 2005. Isi dalam pasal 18 UU itu terkait melindungi kebebasan berpikir, berhati nurani, dan beragama.
Liberalisme Sebagai Jalan?
Nah, kali ini mari bicara soal kebebasan. Liberalisme memang merupakan ide bagus. Di tengah kompleksitas bernegara, cukup layaklah ia untuk dipertimbangkan sebagai basis berperilaku.
Saya paham bahwa Maman Suratman dalam tulisannya, Sikap Liberal untuk Kasus HTI dan Ahok pada dasarnya mau bicara tentang penolakan terhadap perubahan negara Pancasila menjadi negara Agama. Saya sepakat bahwa jika Indonesia menjadi sebuah negara agama, kelak akan terdapat sebuah tirani keagamaan yang mematikan pluralitas kebangsaan. Penganut agama selain Islam akan termarjinalkan. Namun benarkah liberalisme merupakan jalan keluar yang tepat? Saya pikir tidak.
Kita harus membedakan secara tegas antara negara yang melindungi agama, dengan negara yang merepresentasikan agama. Saya pikir, masyarakat multikultural seperti di Indonesia harus melindungi agama—dengan terlebih dulu memiliki pemahaman yang jernih tentang persoalan privat-komunitas agama, dan mana persoalan publik dari agama.
Saya yakin kok, setiap agama dan keyakinan memiliki kepedulian terhadap persoalan publik yang menyangkut keadilan, kesejahteraan, kemanusiaan, dan keberadaban. Harus ada semacam titik temu antara berbagai komunitas agama. Jadi, agama tetap punya kontribusi terhadap kehidupan publik.
Maman menyebutkan dalam tulisannya bahwa “…liberalisme merupakan satu paham tentang kebebasan. Ide pokok yang diusung oleh pandangan filsafat ini adalah pengukuhan kebebasan individu. Mulai dari kebebasan berpikir, berekspresi, berkumpul atau berserikat, baik itu di bidang politik, ekonomi, hukum, pendidikan atau budaya (agama).
…kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik paling unggul. Cita-cita yang hendak dicetus adalah masyarakat bebas—saya mengistilahkannya “Negara Kebebasan”. Tak ada pembatasan, serba boleh tanpa absennya konsep tanggungjawab (kewajiban).”
Kedengarannya sih oke. Modern sekali, begitu. Keimanan bukan lagi perkara publik. Nilai-nilai spiritual tak mungkin menjadi jiwa politik. Kok kelihatannya saya inkonsisten dengan dukungan terhadap Basuki? Kelihatannya. Tapi saya coba meminjam istilah Jim Wallis tentang politik ketuhanan (God’s politics). Dalam politik ketuhanan, kepentingan nasional, etnis, ekonomi, dan budaya yang sempit tidak dimungkinkan lagi. Moralitas juga tidak selektif. Dalam perkara kemanusiaan, tidak ada standar ganda—seperti yang terjadi pada Basuki sekarang ini.
Apalagi kita sedang berada pada masa krisis moralitas melanda ruang publik: korupsi merajalela, kekerasan menjadi banal, dan sebagainya. Maka bagi saya, liberalisme itu jalan keluar yang kuno alias telat! Kalau peran agama dikucilkan di ruang publik, maka akibatnya kita bisa bayangkan: agama di ruang publik bisa menampakkan wajahnya yang mengerikan. Semacam “boleh kamu punya gagasan sebengis apapun, nanti kami tinggal tunggu saja tanggungjawabmu.”
Buat saya, tinggalkan liberalisme. Liberalisme cuma membuat spiritualitas dan politik saling mengucilkan, menyingkirkan, dan saling berusaha mengalahkan. Seram sih, membayangkan warga negara yang muka luarnya saleh tetapi meninggalkan kesalehan sosialnya. Ekstremnya, individu-individu menjadi bermuka dua, dan parahnya lagi, pelan-pelan, politik jadi tidak bermakna lagi bagi kehidupan individu.***