Belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berita palsu mengenai legalisasi LGBT dan koempoel gebouw sebab Mahkamah Konstitusi menolak permohonan AILA (aliansi cinta keluarga) yang membuat permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengubah redaksi dalam Pasal 284, 285, dan 292 KUHP.

Ditambah lagi tiga hari yang lalu terjadi gempa dengan magnitude 7.3 SR mengguncang wilayah Tasikmalaya – Jabar yang getarannya terasa hingga di daerah Jabodetabek turut menciptakan timbulnya kepanikan masyarakat sehingga tersebarlah bucailleism yang mencocok-cocokkan peristiwa-peristiwa yang tidak memiliki hubungan kausalitas sama sekali.

Saat gempa bumi terjadi, saya sedang berada di dalam sebuah studio bioskop untuk menyaksikan Starwars the Last Jedi yang mulai pukul sebelas malam, berselang 47 menit kemudian gempa bumi terjadi dan goyang-goyangan bahkan dapat dirasakan di kursi-kursi bioskop.

Mengingat malam itu juga berlangsung acara Djakarta Warehouse Project, ketika pihak CGV sedang melakukan evakuasi saya bercanda dengan teman saya jika masyarakat pasti akan mengatakan bahwa gempa yang saat itu saya rasakan adalah adzab dari Djakarta Warehouse Project dan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan AILA.

Mengutip kalimat Francis Underwood dalam House of Cards saya langsung menuliskan pula dalam sosial media saya “Dogs are easily predictable, aren’t they?”

Tentu saja hal-hal seperti ini adalah hal yang sangat mudah ditebak disebabkan pola-polanya sudah bisa dilihat dari pengalaman bertahun-tahun saya lahir dan tumbuh di Indonesia. Serangan-serangan berupa berita palsu (hoax) pun semakin berkembang layaknya virus yang bereplikasi.

Padahal tidak ada satu pun hal yang istimewa dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, melainkan hanyalah mempertahankan status quo yang ada.

Malah setelah membaca dissenting opinion dari para hakim termasuk di dalamnya Ketua Majelis Hakim yang dilampirkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-XIV/2016, saya semakin yakin bahwasanya lembaga tinggi yang disingkat MK tersebut adalah Mahkamah Konstipasi bukan Mahkamah Konstitusi karena tidak mampu memberikan argument yang berdasarkan alur logika yang baik.

Misalnya dalam halaman 462 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-XIV/2016 yang berisikan dissenting opinion para hakim, disebutkan bahwasanya koempoel gebouw merupakan mala in se bukan mala prohibita. Argumen dalam dissenting opinion ini menyatakan bahwa koempoel gebouw (adultery & forcination) adalah mala in se karena sifat ketercelaannya (verwijtbaarheid) bersifat intrinsik dan jelas disebutkan dalam Al Qur’an serta berbagai kitab suci lain.

Padahal kenyataannya, mala in se (singular : malum in se) adalah perbuatan yang dianggap jahat karena secara alamiah adalah sebuah kesalahan yang inheren. Mala in se ini adalah bentuk kejahatan yang universal dan bersumber pada natural law (hukum alam), bukan pada sumber hukum tertulis. Ada pun bentuk kejahatan yang diakui jahat oleh seluruh manusia misalnya seperti pembunuhan, pencurian dan pemerkosaan. Padahal verbatim dari baris terakhir alinea terakhir halaman 462 menegasikan kenyataan bahwa hal tersebut adalah mala in se karena menggunakan kalimat “serta berbagai kitab suci” bukan seluruh kitab suci.

Tentu jika kita lihat secara sosiologis, milieu masyarakat global pun menolak bahwasanya koempoel gebouw atau yang dalam pemahaman umumnya disebut consensual sex adalah kejahatan.

Di samping itu, jika dilihat dalam halaman 465 Putusan MK tersebut dissenting opinion para hakim menyatakan bahwasanya UUD 1945 menjamin freedom of religion dan bukan freedom from religion. Dalam hal ini bahkan para hakim tidak dapat memahami apa yang dimaksud hak asasi manusia yang disebut kebebasan beragama.

Padahal verbatim dalam UUD 1945 menyebutkan agama sebagai hak, bukan kewajiban. Dalam ilmu mengenai kaidah-kaidah ilmu hukum, dijelaskan bahwa hak bersifat fakultatif yaitu bisa dipergunakan atau tidak, sedangkan kewajiban yang bersifat imperatif.

Pancasila tentu dapat diartikan sebagai staatsfundamentalnorm menggunakan teori Hans Nawiasky, yakni sumber dari segala sumber hukum yang ada di Indonesia. Akan tetapi penginterpretasian Pancasila tidak dapat dilakukan tanpa memerhatikan sejarah dari Pancasila itu sendiri. Misalnya dari dokumen-dokumen resmi negara tentang penjelasan Pancasila yang dijelaskan oleh Soekarno, founding father dari Republik ini.

Jika kita merujuk kepada penjelasan Soekarno mengenai Pancasila dalam pidatonya yang berjudul Build the World Anew pada sidang umum PBB ke XV, dia menjelaskan dengan gamblang bahwasanya orang-orang yang tidak percaya Tuhan sekali pun (ateis) menerima sila pertama Pancasila sebagai karakteristik bangsanya karena pembawaannya yang toleran. Hal ini membantahkan seluruh narasi-narasi yang populer di masyarakat bahwasanya seorang ateis tidak mungkin menjadi Pancasilais dan Pancasila menolak ateisme. Dengan kata lain, Pancasila pada mulanya adalah sebuah gagasan berkebangsaan yang sekuler (netral dalam urusan keagamaan).

Hal itu juga yang menjelaskan mengapa di awal-awal berdirinya bangsa ini tokoh pendidikan seperti Ki Hadjar Dewantara sangat menentang pendirian Kementrian Agama dan menganggap urusan agama dapat diatur oleh Kementrian Dalam Negri saja.

Jadi apa yang seharusnya dilakukan oleh MK adalah menolak permohonan AILA karena permohonan tersebut bertentangan dengan Pancasila itu sendiri, bukan hanya karena salah alamat.

Akan tetapi, kita tidak bisa memungkiri bahwasanya hukum adalah produk dari politik hukum sehingga hukum yang tercipta saat ini tidak memperdulikan kepentingan seluruh warganegara.

Pancasila sebagai alat politik hukum digunakan untuk melegitimasi intoleransi terhadap orang-orang yang tidak beragama, orang-orang yang tidak bertuhan serta orang-orang yang memiliki konsep ketuhanan yang berbeda atau cara menginterpretasi ayat yang berbeda.

Pancasila digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kartel toleransi antara orang-orang yang ingin masuk surga. Toleransi dimonopoli oleh kartel agama-agama yang memiliki kekuatan politik. Ketika orang tidak menginginkan surga, maka toleransi tidak dapat diberlakukan bagi mereka.

Selain itu, penguasaan terhadap konteks yang rendah terhadap suatu kalimat yang diucapkan oleh orang yang memiliki otoritas dalam ilmu pengetahuan juga digunakan untuk melegitimasi kartel-kartel mereka yang ingin masuk surga.

Misalnya pernyataan dari Dr. Fidiansjah yang mengutip Einstein bahwasanya “Ilmu tanpa agama itu buta, agama tanpa Ilmu itu pincang” untuk membenarkan ayat-ayat suci menolak LGBT karena homoseksualitas adalah hal yang dilarang dalam kitab suci.

Padahal yang dimaksud agama (religion) oleh Einstein adalah kumpulan orang yang memiliki pemahaman konsep ketuhanan yang sama. Einstein sendiri adalah seorang pantheist yang mengimani Tuhan non-personal sesuai dengan filsafat Baruch Spinoza. Dengan kata lain, Einstein tidak mempercayai konsep surga dan neraka maupun Tuhan yang ikut campur dengan urusan manusia. Tuhan bagi Einstein adalah natura naturans. Sehingga sebenarnya sangat fatal mengutip Einstein untuk membenarkan iman surga-neraka dalam konsep Samawi.

Masyarakat nir-nalar juga pasti akan tetap bersikeras menyatakan bahwasanya gempa yang disebabkan pergerakan tektonik di lempeng bumi adalah kuasa Tuhan. Padahal mereka hanya menjadikan Tuhan sebagai god of the gap, mengisi ketidaktahuan manusia yang sebenarnya dalam Ilmu Alam mereduksi eksistensi Tuhan hanya untuk mengisi lubang dari ketidaktahuan manusia. Sama seperti di zaman dahulu sebelum manusia memahami petir, mereka menganggap dewa Thor penyebabnya.

Kiranya kita harus menghormati badut-badut baik di Mahkamah Konstipasi maupun masyarakat nir-nalar dengan menertawakannya.