Literasi merupakan perangkat intelektual manusia. Fungsinya mulai dari mengolah pikiran sederhana hingga memancang fondasi proses transformasi organisasi sosial.
Dalam The Logic of Writing and the Organization of Society (1986), Goody memaparkan bagaimana tulisan, sebagai token perkembangan kognitif, sangat berpengaruh pada majunya peradaban. Simpulan itu ia temukan lewat kajian perbandingan sejarah dan kehidupan sosial antara peradaban kuno Mesopotamia, Sumeria, dan Mesir dengan peradaban kerajaan kuno di Afrika bagian barat seperti La Daaga, Asante, dan Dahomey.
Kajian itu mengulik peran tulisan di bidang politik, ekonomi, hukum, dan agama. Hasilnya, peradaban dengan tradisi tulis jauh lebih maju dan mampu bertahan ketimbang peradaban yang hanya mengenal tradisi tutur tanpa sistem aksara.
Tradisi tulis mampu mengembangkan sistem tatanan masyarakat yang lebih kompleks. Selain itu, muncul semacam otoritas yang menjamin kekuasaan yang diikat oleh tradisi tulis tersebut. Aksara yang mulanya sekadar menandai hasil panen terus berkembang hingga menciptakan konsensus-konsensus di kehidupan masyarakat seperti sanksi dan pelanggaran.
Dengan demikian, tulisan menandai setiap perkembangan kognitif manusia dari hal-hal yang sifatnya terbatas hingga mencakup area yang lebih universal seperti relasi Tuhan dan manusia. Aksara dan tulisan untuk pertama kalinya dalam sejarah memberikan otoritas kekuasaan terhadap mereka yang mampu mengolah pengetahuan menjadi sebuah disiplin ilmu.
Mengamati pola perkembangan aksara dengan makin rumitnya tatanan sosial yang diaturnya ke peradaban seperti Yunani kuno dan Romawi kuno, Goody menyimpulkan bahwa tulisan merupakan instrumen rasional yang memungkinkan aspek-aspek kehidupan bernegara seperti hukum, politik, ekonomi, dan agama mengatur pola interaksi antar individu dalam sebuah komunitas masyarakat.
Bagaimana persisnya tulisan mengembangkan sistem kompleks tersebut?
Pada Bab The word of Mammon, Goody menjabarkan peran tulisan dalam aspek ekonomi. Di peradaban yang mengenal aksara, kuil tidak hanya mengurus ritual ibadah, namun juga aktivitas ekonomi. Kuil mencatat pemasukan dan bantuan yang diterima.
Kebiasaan ini membangun tradisi pembukuan dan pemeriksaan keuangan. Sehingga kuil mesti dijalankan oleh pemuka agama yang paham aksara.
Selain kuil, istana juga mengontrol catatan berkenaan dengan pajak, sensus penduduk, dan rekrutmen prajurit. Meski peradaban-peradaban non-literasi juga memungut pajak dari warganya, peradaban literasi mampu mengelola aktivitas ekonomi yang lebih beragam dan kompleks.
Pada 1700 SM, Mesopotamia sudah mencatat produksi tekstil. Sebelumnya, yaitu pada 2400 SM, ditemukan sebanyak 70% peninggalan tulisan berupa pembukuan.
Seperti dijelaskan sebelumnya, kompleksitas aktivitas ekonomi di peradaban literasi bahkan sudah mencakup perdagangan dan perbankan. Goody malah menyebutkan beberapa rujukan yang menyebutkan penggunaan alat tukar.
Ditopang dengan temuan para ilmuan, seperti yang dikutip Gelb (1963) dan Schmandt-Besserat (1989) di masa yang sama, token yang digunakan dalam pencatatan aktivitas pembukuan melahirkan prototipe uang.
Selain itu, pada abad ketiga dari peradaban Mesopotamia, pertukaran properti dan kepemilikan lahan sudah diatur dalam perjanjian tertulis. Sehingga kemampuan literasi makin meluas manfaatnya dengan menjamin kepentingan individu.
Di masa itu, naskah catatan berfungsi sebagai mata uang primitif dan alat transaksi direpresentasikan melalui surat perjanjian serta kredit, geliat koordinasi ekonomi terus berkembang pada skala yang belum pernah dicapai pada masa sebelumnya.
Aksara sebagai Instrumen Kekuasaan
Berdasarkan konteks peradaban kuno tadi, tidak semua golongan masyarakat paham akan fungsi aksara. Sehingga mereka yang memahami tulisan punya kesempatan untuk mengatur jalannya interaksi dan fungsi masyarakat. Dengan demikian, tulisan memberikan jaminan kekuasaan terhadap mereka yang hanya menerima instruksi.
Levi-Strauss dalam bukunya Tristes Tropiques menyebutkan bahwa pada masa Enlighment, yaitu sekitar abad pertengahan, saat bangsa Eropa membuka diri terhadap metode ilmiah ketimbang berpasrah diri pada doktrin agama, literasi membebaskan masyarakat dari dominasi kekuasaan para bangsawan dan pemuka agama. Uniknya, di awal pemanfaatannya, yaitu pada peradaban kuno, literasi justru memberikan dominasi terhadap elit negara.
Integrasi tulisan ke dalam administrasi pemerintahan, seperti pada kasus Mesopotamia tadi justru memetakan masyarakat ke hirarki kelas dan kasta. Kelas dan kasta intelektual yang selama ini dikuasai oleh pendeta atau pemuka agama sekarang merangkul mereka yang mampu menertibkan masyarakat lewat aksara.
Jika pada peradaban tutur, pendeta mengarang kisah yang mengatakan bahwa kekuasaan seorang Raja adalah perintah langit, maka pada peradaban tulis seorang Raja dapat leluasa memberikan jaminan kepemilikan atau penugasan tertentu kepada seseorang lewat secarik papirus berisi tulisan. Tulisan menjadikan kekuasaan lebih konkret alih-alih imajinatif seperti pada peradaban oral non-literasi.
Tulisan menandai banyak dimensi sosial yang membuatnya lebih tertib dan terukur. Daftar yang ditulis pada masa itu mampu membuat pemegang wewenang mengukur sebuah kebijakan berdasarkan data yang ada, seperti menakar jumlah penduduk lewat sensus dan jumlah konsumsi berdasarkan hasil panen yang tercatat.
Kuil dan istana menggunakan catatan yang ada sebagai representasi dari kontrol sosial.
Dalam aspek agama, syair doa dan mitos kemudian dituliskan dalam upaya mempertahankan tatanan yang ada agar generasi berikutnya mampu memahami tradisi yang telah berlangsung tanpa harus mempertanyakannya. Analisis yang diberikan Alan Bourdieu (1996) ini menegaskan fungsi tulisan dalam menggaransikan kekuasaan untuk kalangan tertentu.
Kemampuan tulisan menuntun koordinasi aktivitas sosial tanpa harus membuat para elite turun tangan langsung mengawal merupakan bukti kuat bahwa tulisan itu bersifat mengikat dan masyarakat merasa terawasi karenanya.
Selain itu, tulisan memainkan peran simbolis yang merepresentasikan ruang, waktu, dan identitas seseorang. Ini yang membuat para teoretikus sosial seperti Durkheim dan Habermas menekankan signifikansi tulisan pada proses integrasi komunitas.
Peradaban yang mengenal literasi lebih mampu menarik rasa penasaran peradaban di sekitarnya. Aktivitas sosial ekonomi yang begitu kompleks dibangunnya menjadi daya tarik sendiri bagi pihak lain untuk menjalin kerja sama atau sekadar mengadopsi teknologi yang dikembangkannya.
Oleh sebab warisan budaya yang terabadikan lewat tulisan, banyak pula peradaban lain yang menyandarkan diri untuk sekadar mendapatkan pengakuan historis.
Tulisan dan Kemampuan Kognitif
Peradaban oral non-literasi sangat mengandalkan ingatan dan komposisi ujaran yang disampaikan. Finnegan (1988) mencatat bahwa peradaban ini melahirkan banyak pendongeng yang punya kreativitas khas dibanding penulis kisah di peradaban literasi.
Meski tak selalu unggul dalam segala bidang, Finnegan pun mengakui bahwa peradaban oral non-literasi lebih rentan dimistifikasi hingga dianggap tidak nyata.
Meski demikian, pergeseran bahasa pada peradaban oral non-literasi lebih cepat, terutama dalam aspek fonologis. Menariknya, peradaban ini lebih terbuka terhadap konsep dari bahasa budaya lainnya.
Hal itu mencakup peminjaman kosakata sehingga generasinya punya potensi multikultural dan juga menguasai banyak bahasa. Keuntungannya adalah proses ini menjelaskan keunikan praktik berbahasa, yang dihubungkan dengan kebiasaan, di kawasan tertentu.
Hanya saja, Lloyd (1990) menyangsikan hal tersebut berguna dalam konteks peradaban kuno. Dalam konteks peradaban modern, kelenturan peradaban oral mungkin justru akan membuatnya bertahan dengan meninggalkan jejak di peradaban lainnya. Namun memperhatikan kasus peradaban Yunani kuno, terutama masa pra-Sokrates, kondisinya sangat berbeda.
Dongeng-dongeng yang diriwayatkan Aeosop mencakup pelajaran-pelajaran morel akan kebijaksanaan. Yang menjadi soal adalah tidak ada yang benar-benar tahu asal muasal dari dongeng tersebut. Bahkan Aeosop sendiri diragukan eksistensinya. Soalannya adalah, meski punya dampak besar terhadap peradaban Yunani, dongeng oral itu rentan diubah dan disalahartikan.
Bandingkan dengan kebijaksanaan yang diwariskan Homerus lewat Iliad dan Odyssey. Meski latar belakang cerita yang dituliskannya itu, menurut penuturan beberapa sejarawan, merupakan adaptasi dan himpunan kisah yang digabungkan dalam satu alur, namun sejarah tetap mencatat nama Homerus sebagai sang pengarang.
Bedanya dengan Aeosop, dialek yang digunakan Homer bisa ditelusuri jejaknya.
Periwayatan tertulis suatu kisah akan lebih mudah ditandai dalam ingatan kolektif karena rujukannya yang lebih dekat dengan pengalaman hidup manusia. Kisah-kisah yang diriwatkan secara lisan cenderung melibatkan imajinasi yang tidak konsisten sehingga sering menyasar tema antromorfis atau supranatural.
Lihat saja tokoh fiktif seperti Sherlock Holmes dan rekannya Dr. Watson atau makhluk seperti peri, naga, dan vampir yang tidak sedikit orang percaya bahwa mereka benar-benar ada atau pernah hidup dalam kurun waktu tertentu. Hal yang sama tidak berlaku pada kancil yang bisa berbicara atau air laut yang bisa berinteraksi dengan manusia.
Tulisan menyesuaikan bentuk aksara dalam bahasa tertentu sehingga penutur bahasa itu dapat memberikan bentuk terhadap imajinasi yang disampaikannya. Tuturan sangat bergantung pada penyebutan dan pelafalan yang tidak bisa serta-merta diadaptasi dari satu bahasa ke bahasa lainnya.
Lewat tulisan, sebuah konsep mengalami penyesuaian terlebih dahulu sebelum disampaikan.
Tidak semua suara dapat dituliskan lewat aksara, namun aksara terus-menerus mengalami penyesuaian bentuk sesuai sistem fonologis yang berlaku di masa atau wilayah tertentu. Ini yang menjadikan tulisan mampu menjaga keutuhan sebuah konsep meski tetap terbuka terhadap beragam interpretasi. Intinya, konsep itu selalu bisa ditelusuri meski jauh ke masa silam.
Post-Note
Lalu lintas informasi yang semakin kompleks di era digital ini mudah sekali membuyarkan fokus perhatian kita. Terutama jika kita ingin menarik benang merah untuk menjelaskan suatu peristiwa dari berbagai sumber yang ada.
Belajar dari bagaimana peradaban kuno memanfaatkan tulisan untuk mengatur otomatisasi proses yang sedang berjalan, kita pun sebenarnya dapat mengadopsi sistem yang serupa.
Tulisan mampu menangkap konsep. Meski tidak sepenuhnya utuh, namun membantu kita menandai hal-hal yang memang perlu mendapat perhatian dalam ingatan. Sehingga tulisan membiasakan kita mengukur sesuatu atau setidaknya memberikan gambaran terhadap hal yang bisa dijangkau oleh kemampuan kita yang terbatas. Sehingga, tulisan mengajarkan kita berpikir secara rasional.
Dengan membuat catatan-catatan terhadap segala hal yang perlu mendapat perhatian, tulisan secara efektif menuntun kita membuat daftar prioritas. Tuturan mungkin akan memuntahkan segala isi pikiran kita karena energi yang dihabiskan tidak seberapa. Tulisan tidak demikian. Menulis butuh fokus dan sumber daya informasi yang memadai.
Memilah yang mana yang mesti dituangkan dan dalam bentuk apa memaksa kita untuk berpikir lebih efisien. Proses itu juga butuh waktu. Namun dengan hal itu, tulisan mengajarkan kita bahwa apa yang kita ketahui tidak melulu dapat diekspresikan tanpa terlebih dahulu mengalami penyesuaian.
Dengan memahami tulisan dan ikut menulis, kemampuan kognitif kita akan terus terasah.