Salah satu filsuf generasi ketiga dari Mahzab Frankfurt, Axel Honneth mengatakan dalam teori perjuangan untuk pengakuan bahwa gerakan feminisme merupakan salah satu contoh perjuangan untuk pengakuan yang berhasil menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam skala global. Salah satu bentuk afirmasi dari kesuksesan pengakuan perjuangan adalah dengan keharusan setiap partai politik di Indonesia memberi 30 persen kuota untuk calon perempuan.

Sebagai penikmat gagasan Axel, pernyataan ini memang bisa menjadi salah satu contoh dari pemikiran Axel yang menyatakan dalam The Struggle of Recognition, bahwa konflik yang melibatkan kelompok-kelompok sosial awalnya adalah konflik individual. Axel menemukan dalam setiap masalah sosial ada pengalaman direndahkan pihak lain, sehingga dalam frasa lain yang bernada lebih positif, masalah sosial merupakan tuntutan akan pengakuan dari pihak lain. Begitupula gerakan feminisme yang diawali dengan pengalaman perempuan yang direndahkan dalam struktur patriarki oleh dominasi gender laki-laki.

Jika dalam agenda politis keterwakilan perempuan bisa diukur dari sisi kuantitas, lantas kita tentu boleh juga memberi sikap skeptis terhadap gagasan Axel jika berkaca dari pengalaman sulitnya mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Pengesahan UU ini melalui jalan yang sangat panjang dan penuh kontroversi, seolah, gagasan Axel Honneth tentang pengakuan perjuangan bisa saja ditepis jika RUU ini terus menggantung tanpa kepastian.

Akibat sedang gandrung pada gagasan Axel Honneth yang ditulis oleh Fitzerald Kennedy Sitorus, dosen filsafat Universitas Pelita Harapan di Majalah BASIS, saya menemukan beberapa kesimpulan untuk menjawab lemahnya proses advokasi dan perjuangan pengakuan atas masalah kekerasan seksual.

Dikutip dari tulisan Fitzerald, ada tiga dimensi pengakuan dalam masyarakat mendorong yang bisa mendorong perjuangan pengakuan membawa perubahan.

Dimensi pertama adalah dimensi rasa percaya diri dengan landasan cinta kasih yang umumnya bersumber dari lingkungan keluarga.

Dimensi kedua, adalah rasa hormat diri yang bersuumber dari dalam diri sendiri. Meski demikian rasa hormat diri hanya bisa terwujud dengan kesadaran individu bahwa dia memiliki martabat yang sama dengan orang lain. Dalam dimensi kedua ini ada hak atas hidup layak, hak pendidikan, hak pekerjaan, hak keamanan, dan disini civil society punya peran sebagai wilayah aktualisasi kehormatan diri.

Dimensi ketiga adalah rasa harga diri, perasaan yang menekankan bahwa setiap orang di hadapan hukum adalah sama dengan tetap menekankan keunikan maupun perbedaan setiap orang. Secara rinci, dimensi rasa harga diri dalam masyarakat modern tercermin dengan penghargaan pada seseorang dengan keahlian atau kepakaran tertentu. Kondisi ini membuat sifat intersubyektif dari rasa harga diri yakni orang hanya akan merasa berharga jika dia tahu bahwa dia telah diakui untuk kemampuan yang mereka sumbangkan dengan cara yang berbeda dari orang lain.

Gerakan feminisme secara umum mungkin telah mengadopsi tiga dimensi tersebut. Pertama, keluarga yang egaliter tentu akan memberikan rasa percaya diri pada anak perempuan yang sama dengan anak laki-laki. Pada dimensi kedua, masyarakat sipil telah ikut mendorong penghargaan kepada perempuan dengan memberikan rasa hormat kepada perempuan. Dalam dimensi kedua ini, kita bisa mulai melakukan perdebatan untuk masuk pada masalah utama sulitnya pengesahan RUU PKS.

Izinkanlah saya mengambil salah satu contoh perjuangan pada pengakuan untuk memenuhi nilai dimensi kedua. Pada pertengahan Januari 2021 lalu, Aliansi Jurnalis Independen Jakarta (AJI Jakarta) mengeluarkan survei pelecehan dan kekerasan seksual kepada jurnalis. Hasilnya dari 34 jurnalis yang mengisi survei ada 31 perempuan dan 3 laki-laki; dan 25 di antaranya pernah mengalami kekerasan seksual. 

Tak tanggung-tanggung, survei ini juga menemukan bahwa para korban berasal dari beragam jenjang jabatan. Terbanyak dari tingkatan reporter sebanyak 21 orang, asisten redaktur sebanyak 1 orang, editor ada 5 orang, redaktur utama ada 1 orang, pemimpin redaksi ada 3 orang, pemilik media ada 1 orang, dan jurnalis freelance ada 1 orang.

Dari sisi pelaku, survei juga mengungkap ada 13 responden yang mengaku bahwa pejabat publik menjadi pelaku. 

Adapun pelaku lain yang mengancam jurnalis yakni narasumber non-pejabat publik berjumlah 8 responden, atasan di kantor ada 9 responden, teman sekantor juga cukup banyak mencapai 10 responden, sesama jurnalis beda kantor sebanyak 11 responden, massa aksi berjumlah 2 responden, aparat sebanyak 1 responden, dosen sebanyak 1 responden, lainnya berjumlah 6 responden.

Sekilas hasil survei ini bisa menawarkan beberapa kesimpulan.

Pertama, narasumber pejabat publik dan teman sekantor jurnalis sebagai pelaku terbanyak mengafirmasi bahkan kalangan media menunjukkan kecacatan advokasi RUU PKS. Dapat dikatakan, media sebagai produsen konten dan pemberi pengaruh kepada publik untuk mendorong pengambilan keputusan masyarakat nyatanya belum memiliki penghormatan kesetaraan gender. Sekalipun rasa hormat diri bersumber dari kesadaran individu untuk setara, nyatanya rasa hormat bersifat dua arah dan membutuhkan aktualisasi pada kancah masyarakat sosial. Secara lebih spesifik kita bisa menyimpulkan, media sebagai bagian dari masyarakat sipil tidak memberi rasa hormat pada kesetaraan gender dan urgensi RUU PKS sebagai ruang aman bagi segala gender.

Kedua, tidak terpenuhinya dimensi kedua yakni rasa hormat diri tentu akan berimbas pada semakin sulit untuk memenuhi dimensi ketiga yakni rasa harga diri. Hal ini terlihat dari indikator utama rasa harga diri adalah ketika negara bisa menghargai keunikan dan perbedaan setiap orang, tentu dalam hal ini tidak bisa dibatasi pada gender perempuan saja, tetapi juga keunikan laki-laki dan perempuan serta golongan LGBT.

Dilansir dari status Facebook Nur Imroatus, peneliti media dan gender, sepanjang 1-31 Juli 2020 yakni sebulan saja ada 4.248 media online yang memberikan kekerasan seksual. Jumlah berita ada 24.756, dengan total jumlah kasus dalam berita 424 kasus. Artinya, dalam sebulan ada 424 kasus kekerasan seksual yang dialami berbagai gender bukan hanya perempuan.

Kondisi ini seharusnya menimbulkan rasa tidak nyaman dan membangun semangat kolektif perjuangan pengakuan. Artinya, kejadian yang terdata itu sangat mungkin terjadi di sekitar kita, apalagi dengan kejadian yang belum terdata. Tentu agenda besar selanjutnya yang memiliki ruang kritik untuk media adalah tentang cara pengemasan berita atau framming atas konteks masalah tersebut agar lebih memberikan ruang aman dan empati bagi korban.

Honneth menyebut, negara yang baik adalah negara yang menjamin pengakuan ketiga dimensi tersebut. Artinya, jika RUU PKS saja sedemikian sulit melalui proses legitimasi maka sebagai masyarakat sipil kita masih harus melalui jalan yang sangat panjang untuk mewujudkan negara sebagai negara yang baik dalam definisi Honneth. Penganut mahzab Frankfurt ini meyakini perubahan sosial masyarakat tidak dimotivasi oleh kepentingan konkret material bidang ekonomi produksi, ataupun perubahan sistem masyarakat. Honneth meyakini perubahan sosial kini berasal dari perjuangan moral yakni pengalaman penderitaan atau pelecehan yang bersifat individual mendorong gerakan perjuangan untuk pengakuan.

Semoga tulisan ini memberi Anda keyakinan bahwa penting bagi Anda ikut terlibat dalam perjuangan pengakuan apalagi jika Anda memiliki luka yang sama.

Sumber:

Axel Honneth: Filsuf Generasi III Mahzab Frankfurt Bagian II: Perjuangan untuk Pengakuan, Dr. Fitzerald Kennedy Sitorus, Majalah BASIS Nomor 9-10, Tahun 69, Yogyakarta

Pejabat Publik Menjadi Pelaku Terbanyak Pelecehan Pada Jurnalis Perempuan, Tika Andriana, Konde.co

Official Youtube: Aliansi Jurnalis Independen Jakarta