Ketika langit sore menimpa kaca kantormu, Kau sedang memikirkan Lelaki Yang Kau Cintai. Matamu tak pernah lepas dari layar komputer yang redup. Begitu juga pikiranmu yang tak pernah pindah dari Lelaki Yang Kau Cintai. Kadang tanganmu tak sengaja menulis namanya di buku kecil atau kertas di atas meja kerjamu. Kantormu terdiri dari banyak lantai.
Kau bilang, di Jakarta gedung-gedung besar sama seperti kekuasaan. Semakin besar gedung tersebut maka semakin besar pula kekuasaan yang menaungi bagian bawahnya. Kau menghabiskan sepanjang hari di lantai dua puluh satu bersama teman-teman sekantormu yang memilih menghabiskan waktu mereka di lantai yang sama, kecuali hari libur Kau memilih menghabiskan harimu dengan memikirkan Lelaki Yang Kau Cintai dua kali lebih banyak.
Berlibur di akhir pekan, Kau tak punya waktu untuk itu. Kau tidak pernah berhenti memikirkan Lelaki Yang Kau Cintai. Lelaki Yang Kau Cintai itu sedang berada jauh entah di mana. Kadang Kau berbicara sendiri, Jauh bukanlah kata benda untuk mengutarakan tempat1. Lalu Kau melakukan pembenaran-pembenaran. Kau lupa bahwa pembenaran berbeda dengan kebenaran.
Dan seterusnya dan seterusnya. Kau mendapati dirimu dalam kebingungan seperti orang yang mendatangi tempat asing. Berulang kali Kau menyiapkan diri untuk Lelaki Yang Kau Cintai, bersolek, memakai baju bagus dan berkaca sampai Kau bosan lalu melakukan panggilan video yang tak berlangsung lama. Kira-kira waktunya sama dengan yang dibutuhkan lelaki untuk mandi.
1 kutipan dialog dari “Tiga Kata Untuk Emilie Mielke Jr” oleh Norman Erikson Pasaribu
Hari ini Kau berharap sesuatu terjadi seperti lima tahun silam saat Kau menemukan Lelaki Yang Kau Cintai di Beijing. Ini adalah takdir, pikirmu dengan bodohnya percaya begitu saja. Kebetulan-kebetulan yang terjadi lima tahun lalu Kau anggap takdir. Kebetulan Kau bertemu dengan Lelaki Yang Kau Cintai karena beasiswa yang sama.
Kebetulan sekali pertemuan itu terjadi jika mengingat Kau berasal dari Indonesia dan Lelaki Yang Kau Cintai berasal dari daratan Eropa. Lalu pikiran konyolmu menganggap kebetulan itu adalah takdir Tuhan yang sedang mempertemukan Kau dan Lelaki Yang Kau Cintai. Untungnya jatuh cintamu tidak membuatmu melupakan Tuhan. Kau pernah bilang, “menyusuri masa yang lewat itu menyenangkan” kepada Lelaki Yang Mencintaimu dan sedang memikirkan masa depan denganmu.
Terpisah ribuan kilo tidak membuat cintamu kurang sedikit pun. Kau pernah bermimpi dan mengigau akan melipat jarak agar dapat bertemu dengan Lelaki Yang Kau Cintai. Paginya Kau bangun dan teringat mimpimu. Kau bersiap melipat jarak dan masuk ke kamar mandi. Air yang terdengar dari kamar mandi seperti hujan yang menciptakan rindu kian tumbuh. Semakin banyak air yang jatuh pun semakin banyak rindu yang tumbuh. Semakin lama waktu yang Kau butuhkan untuk mandi berbanding lurus dengan rindu yang bermekaran di dadamu.
Segera Kau berdandan menghadap cermin yang sudah bosan melihat wajahmu yang penuh harap. Waktu itu hari libur. Kalau sudah mengingat Lelaki Yang Kau Cintai, Kau bukanlah Kau dan sepanjang waktu Kau bukanlah Kau. Senyum indah sudah Kau pasang pagi itu. Senyum itu dulu yang terlihat oleh Lelaki Yang Mencintaimu dan memutuskan untuk jatuh hati padamu.
Kau mengenakan baju berlengan panjang berwarna merah dengan corak kembang-kembang di bagian kanan. Tidak ketinggalan Kau memasang kaca mata berbingkai coklat kesukaanmu. Lalu melakukan panggilan video seperti biasanya. Dengan selulermu Kau dengan mudah memendekkan jarak. Mungkin karena itu Kau sangat suka dengan teknologi yang semakin canggih, tetapi Kau lupa bahwa bicara cinta akan selalu menjadi klasik.
Setiap hari Kau berusaha melipat jarak. Sampai-sampai saat kau sedang berbicara dengan Lelaki Yang Kau Cintai, Kau berada dalam tahap ingin melipat ruang dan waktu.
“Aku ingin melipat ruang dan waktu,” katamu dalam satu panggilan video ketika jarak jauh sedang Kau pendekkan.
Lelaki Yang Kau Cintai hanya menunjukkan wajah masa bodoh. Kau tentu tidak mengetahuinya. Sebab, Cinta juga bisa membuat orang menjadi keliru. Dengan polos Kau menanggapi wajah masa bodoh itu dengan senyuman yang dulu telah memikat Lelaki yang Mencintaimu.
Kau hanya mendengus kesal ketika panggilanmu tidak dijawab. Setelah percobaan lebih dari sepuluh kali Kau tidak mendapatkan hasil yang berbeda. Kau mengeluarkan air matamu, mencari-cari tisu untuk menghapus kesal yang tumpah di matamu. Sebegitukah Kau mencintainya?
Bagaimana dengan Lelaki Yang Mencintaimu yang menahan setiap dorongan untuk ingin tahu kabarmu. Sudah berapa banyak Kau tidak memedulikan Lelaki Yang Mencintaimu. Lelaki Yang Mencintaimu hanya bertanya kabarmu barang sebulan sekali karena takut Kau risih dan menjauh. Kau sudah cukup banyak memberikan ketidakpedulian kepada Lelaki Yang Mencintaimu, tapi kenapa Kau begitu kesal ketika Kau tidak dipedulikan barang sekali saja.
Agaknya Kau perlu belajar mencintai dari Lelaki Yang Mencintaimu. Seharian itu Kau memasang wajah murung di kamarmu. Cinta telah menghilangkan senyum manismu. Harusnya Kau berkaca ketika sedih bukan hanya saat sedang berbunga-bunga. Kau perlu melihat dirimu dari sisi lain.
Lelaki Yang Kau Cintai tidak kunjung memberikan kabar. Selagi tidur Kau selalu mengeluarkan air mata. Entah mimpi buruk seperti apa yang mampir di mimpimu. Tingkahmu makin aneh ketika Kau mendapat kabar bahwa Lelaki Yang Kau Cintai tengah bersama keluarga barunya. Lelaki Yang Kau Cintai baru menikah dan sudah memiliki anak manis berumur dua tahun.
Lelaki Yang Kau Cintai sudah memiliki anak sebelum menikah dan Kau karena pikiran bodohmu mengira dia masih ada untukmu. Pergaulan di sana memang seperti itu. Kau terlalu sibuk memendekkan jarak, sementara sesuatu yang besar telah terjadi Kau tak tampak. Agaknya cinta juga tidak memedulikan budayamu. Di negara tempatmu tinggal memiliki anak sebelum menikah adalah dosa besar seperti menaruh kotoran di wajah.
Takdir tidak lagi masuk dalam kamus hidupmu sejak itu. Tetapi, Kau baru sadar ingin melipat waktu dan kembali ke masa lima tahun lalu. Kau ingin terus berada di dekatnya. Kau tidak peduli dengan kata ‘pulang’. Andai saja Kau bisa berada dalam satu kecepatan cahaya untuk melipat ruang dan waktu.
Kau mengalami depresi berat mendengar kabar itu. Beberapa kali kau mencoba mengakhiri hidupmu dengan meminum racun. Namun, racun kalah dengan cintamu. Sebab, cinta tidak benar-benar mematikan atau Kau hanya salah meminum racun yang tidak begitu mematikan. Cinta selalu memiliki harapan bahkan untuk orang yang tidak memiliki harapan sekali pun. Kau masuk ke rumah sakit di kota itu.
Aku sangat membenci bau rumah sakit, katamu sekali waktu saat Kau dan lelaki Yang Mencintaimu menjenguk salah seorang teman. Mendengar kabar itu, lelaki Yang Mencintaimu memesan tiket pesawat untuk terbang di hari yang sama saat mendengar kabar tentangmu. Siapa sangka cinta pun membuatnya keliru. Kekeliruan itu bisa mendatangi siapa saja. Lelaki Yang Mencintaimu salah memesan tiket.
Dia memesan tiket untuk keesokan hari. Dengan perasaan yang kelabu, lelaki Yang Mencintaimu pergi ke bandara yang ramai dan menunggu sampai tahu bahwa tidak ada penerbangan menujumu hari itu. Hampir tiga jam Lelaki Yang Mencintaimu melamun, memikirkan keadaanmu di parkiran bandara. Sebegitu besarkah cinta Lelaki Yang Mencintaimu itu?
Malam itu adalah malam terpanjang bagi Lelaki Yang Mencintaimu semasa hidupnya. Waktu seolah berhenti dan hanya merangkak sekali-sekali seperti kehilangan kaki. Di dunia ini tidak ada yang memercayai waktu seutuhnya. Waktu selalu diperlakukan tidak adil. Akan diingat saat senang namun akan dihapuskan mati-matian saat terjadi sesuatu yang mengecewakan. Anehnya, aturan itu tidak berlaku bagi manusia yang sedang jatuh cinta. Terutama bagimu dan Lelaki Yang Mencintaimu. Sudah seharusnya selalu mengingat waktu meskipun yang terjadi hal mengecewakan sekali pun asalkan tentang orang yang dicintai.
Kau terbaring di atas kasur tipis dengan seprai biru putih. Dokter bilang, kau kesulitan bernapas. Pernapasanmu tengah dibantu dua buah selang melalui hidungmu yang berasal dari tabung oksigen berukuran besar. Kau terlihat lebih rapuh ketimbang tabung oksigen itu. Semoga Kau sadar mengisi ronggamu dengan nama Lelaki Yang Kau Cintai pun tidak ada gunanya. Kau tetap perempuan—Ya, Kau masih manusia.
Cinta tidak serta-merta membuatmu melanggar aturan alam. Kadang cinta memang bisa membuat Kau berhenti menjadi manusia. Kau harus menghirup oksigen selagi Kau masih memiliki paru-paru.
Lelaki Yang Mencintaimu menunggu di sebelahmu dengan mata memerah seperti dipenuhi darah. Sangat merah. Entah berapa lama dia menangis. Kau tahu, lelaki tidak bisa pura-pura menangis soal Cinta. Matamu tak kunjung terbuka, namun ada bening kristal jatuh menuju pipimu.
Lelaki Yang Mencintaimu tidak mengusap bening itu, hanya melihat dengan saksama bahwa di sana ada luka yang Kau tinggalkan untuknya. Mulutnya tak berhenti bergerak, pundaknya bergetar menahan rambatan kesedihan dari tanganmu.
Udara dingin menyelimuti seisi kamar dan Lelaki Yang Mencintaimu tidak merasakan apa pun. Hanya kaos hitam dan celana jins hitam yang melindunginya dari serangan dingin. Apakah memakai serba hitam tanda berkabung? Kau tak akan tahu sebelum Kau tanyakan sendiri. Kau harus banyak belajar darinya mengolah sedih.
Wajah Lelaki Yang Mencintaimu perlahan berubah ketika melihatmu membuka mata. Kau memang pandai mengubah sesuatu. Kesedihan berubah keceriaan, kebahagiaan berubah kemurungan, Kau piawai mengubah itu. Akan tetapi, Kau tidak pandai mengolah sedihmu. Buktinya kau berakhir dengan infus dan selang bantu pernapasan.
“Aku mau pulang,” bisikmu lirih sambil memejamkan mata.
Lelaki Yang Mencintaimu diam.
“Dia mengkhianatiku,”
“Tidak. Bukan itu,” Lelaki yang Mencintaimu berkata pelan. “Dia tidak mencintaimu.”
Kau diam seolah kata-kata itu baru Kau sadari sekarang. Harusnya Kau menyadari itu ribuan tahun lalu. Terlambat menyadari sesuatu memang mengesalkan.
Kau menahan air mata di ujung pelupuk. Mungkin Kau malu. Atau Kau sudah tidak ingin menangisinya lagi.
“Kau Bodoh,” ini pertama kalinya lelaki Yang Mencintaimu mengatakan hal buruk tentangmu. “Kau bodoh. Kau bodoh.” Tiga kali diucapkan. Lelaki Yang Mencintaimu suka menghitung.
Kau diam seperti tabung oksigen di sebelahmu. Tidak bergerak namun masih terasa kehidupan di sana. Bahkan memberikan kehidupan.
Dulu Kau pernah bercerita dengan temanmu tentang Lelaki Yang Mencintaimu. Dia bodoh sekali, aku sudah menceritakan tentang orang yang aku cintai, tapi dia selalu menaruh perhatian lebih kepadaku. Aku tidak suka dia, katamu sambil memainkan ujung sedotan dengan tanganmu. Waktu itu temanmu hanya mengangguk sebanyak kata bodoh yang keluar dari mulutmu. Sekarang Kau mengerti bodoh bisa menghampiri siapa pun.
Setelah dibolehkan pulang oleh dokter, Kau diantar menuju tempat tinggalmu. Kau bergeming sepanjang jalan. Mungkin Kau bermain tebak-tebakan di pikiranmu atau berusaha membohongi perasaanmu atau Kau tengah belajar tentang mencintai. Lelaki Yang Mencintaimu pamit untuk pulang ke kotanya karena pekerjaan sudah menumpuk. Membereskan sesuatu yang berantakan tidaklah mudah. Butuh waktu panjang.
Pikiranmu kembali ke masa silam. Melipat ruang dan waktu melebihi lima tahun lalu. Ketika Kau memberi senyuman kepada Lelaki Yang Mencintaimu di ruang tunggu kampus. Setelah Kau memasang wajah bosan menunggu giliran menemui pembimbing. Di sana tempat manusia menunggu. Menunggu. Menunggu. Menunggu.
*
“Kau bodoh. Kau bodoh,” mengulang untuk ketiga kalinya pun tak sanggup. “Tidak. Bukan itu. Dia tidak mencintaimu,” tulis Lelaki Yang Mencintaimu.