Pagi-pagi sekali, Ijal membakar bunga-bunga origaminya. Ditumpuknya sekardus bunga-bunga itu di sudut halaman, lalu dengan korek gas ia sulut salah satu. Dengan cepat api mengubah bunga-bunga berbagai warna itu menjadi warna merah kemudian abu-abu. Begitulah, tangannya sendiri yang menciptakannya, namun tangannya juga yang memusnahkannya.
Bunga-bunga itu sesungguhnya tidaklah istimewa baginya. Sebelum ia membakarnya, bunga-bunga itu hanyalah hiasan yang tergantung di dinding-dinding kamarnya.
Kehilangan beberapa juga sudah biasa. Kadang-kadang ia memberikannya kepada perempuan yang ia suka. Pernah juga ia memberikannya kepada anak tetangga yang menganggap bunga-bunga itu lucu. Malah sekali waktu, ia pernah menerima pesanan untuk pesta ulang tahun anak temannya, lalu ia berikan saja semuanya secara cuma-cuma.
Tak masalah. Ia senang bila ada yang menyukai karya origaminya. Setelah itu, ia akan melipat bunga-bunga yang baru; suatu kegiatan yang menyenangkan saat lelah sepulang dari kantor.
Masalahnya, kali ini berbeda. Ia bersumpah pada diri sendiri, setelah pagi ini ia tak akan melipat-lipat kertas lagi, sekalipun bila dibayar. Tiba-tiba, ia jadi teringat masih ada setumpuk kertas origami yang ia simpan di lemari. Segera ia ambil dan dilemparkannya ke nyala api.
Api kian bersemangat hingga udara pagi itu berselimut asap pekat. Matanya berair. Tapi, sungguh ia tak merasa sedih, justru yang bercokol di hatinya adalah amarah. Ia merasa tak perlu mengucapkan selamat tinggal kepada bunga-bunganya. Sebagaimana juga kepada tetangga-tetangganya.
***
Malam pukul delapan, sepulang dari kantor, seperti biasa Ijal langsung pulang ke kontrakannya. Ia berniat langsung tidur, karena besok ia mesti kerja lembur lagi. Sesampainya di sana, Ijal mendapati si penjaga kontrakan, Bang Aman, telah berdiri berkacak pinggang di depan pintunya. Aduh, apalagi ini, batin Ijal.
“Mas Ijal,” panggil Bang Aman.
“Iya, Bang?” sahut Ijal dengan senyum dan sedikit menganggukkan kepala.
“Mas Ijal dipanggil ke rumah Pak Haji sekarang.”
“Sekarang? Nggak bisa besok aja? Aku capek banget soalnya.”
“Enggak bisa, Mas. Ini penting. Mas udah ditungguin di sana.”
“Penting? Soal apa?”
“Pokoknya ikut aja, bentar kok.”
“Ya udah.”
Ijal membuntuti Bang Aman sambil menduga-duga sebab apa sampai ia diundang secara pribadi oleh tuan bedeng yang selalu berarti tidak bagus: sebelumnya ia pernah dipanggil karena terlambat membayar sewa, tetangganya yang bulan lalu pindah juga dipanggil karena dilaporkan membawa pacarnya saat malam.
Ah, Ijal baru ingat sewa bulan ini jatuh tempo dua hari lalu. Ijal lupa karena beberapa hari ini ia terlalu sibuk dengan kerjaan kantor. Bila benar ini masalahnya, ia akan berjanji melunasinya besok.
Di teras depan rumah Pak Haji malam itu terlihat tiga orang sedang mengobrol dengan seru: dua orang tetangga kiri-kanan Ijal dan Pak Haji sendiri. Saking serunya, mereka tak sadar Ijal dan Bang Aman telah berada di depan pagar.
“Saya lihat di ti-pi, penyakit kayak gitu bisa nular terutama pada anak-anak. Belum lagi udah banyak kasus mereka suka mengincar pantat bocah. Saya takut anak saya jadi korban. Ini darurat, Pak Haji! Pokoknya kalau Pak Haji tidak mengambil tindakan, kami sendiri yang akan beramai-ramai melabraknya” terdengar suara Bang Deni, tetangga sebelah kiri Ijal.
“Betul! Yang kayak begini tidak bisa dibiarkan, Pak Haji,” timpal Hendra, tetangga yang baru sebulan menempati bedeng sebelah kanan Ijal, yang penyewa sebelumnya diusir karena berduaan di kamar dengan pacarnya.
“Permisi, Pak Haji,” teriak Bang Aman dari luar pagar.
Semua orang menoleh ke arah Bang Aman, kemudian berpindah ke arah Ijal.
“Masuk Man,” perintah Pak Haji.
Bang Aman mengambil tempat duduk di sebelah kanan Pak Haji. Hendra dan Bang Deni juga kemudian berpindah tempat duduk ke sebelah kiri dan kanan Pak Haji, menyisakan satu kursi kosong di seberang. Dan bukannya Ijal tak sadar bahwa semua orang seperti menjaga jarak dengannya. Juga susunan posisi duduk seperti ini mengingatkannya pada kursi pesakitan di ruang pengadilan. Ijal merasa canggung, tentu saja.
“Duduk Jal,” Pak Haji menyilakan Ijal duduk di kursi kosong itu.
“I-iya, Pak.”
“Jal, kamu tahu kenapa dipanggil ke sini?” tanya Pak Haji.
“Soal uang sewa kan, Pak? Maaf, beberapa hari ini saya...”
“Bukan, bukan itu. Malahan kamu tidak perlu memikirkan itu.”
“Maksud Pak Haji, saya boleh numpang gratis?” tanya Ijal antara bingung dan hendak melucu.
“Maaf, nih Ijal.” Pak Haji berdehem.”Maksudnya kamu harus segera angkat kaki dari bedeng saya.”
Ijal tertegun sejenak. “Lho, kok saya diusir, Pak Haji? E-emang salah saya apa? Tidak bisa seenaknya begini, dong!”
“Karena elu homo!” sambar Bang Deni yang sedari tadi menahan marah dan merasa basa-basi dari Pak Haji sudah kelewat panjang.
Ijal terperanjat, hampir terloncat. Ijal melirik wajah-wajah yang ada di hadapannya, namun semua wajah itu seperti mengamini perkataan dari Bang Deni.
“Jangan sembarangan fitnah ya! Bang Deni punya bukti?” balas Ijal tak mau kalah galak. Namun, karena suaranya cempreng ia jadi terdengar cemen.
“Lihat sendiri kan,” kata Bang Deni sambil menudingkan telunjuknya ke muka Ijal. “Gaya ngomong elu aja melambai gitu. Kayak banci!”
Wajah Ijal sudah merah padam. Masalahnya, ia pun tahu bahwa suara cemprengnya kadang terdengar mirip suara banci pengamen, terutama bila saat berteriak. Setidaknya, begitulah kata kawan-kawannya.
“Iya, saya juga pernah lihat isi kamarnya. Rapi dan wangi banget, terus banyak bunga-bunga di dinding. Asli kayak kamar perempuan,” Hendra ikut menambahkan.
“Lah, itu hobi saya, origami. Emang apa hubungannya hobi sama orientasi seksual?”
“Eh, elu kira gue gampang dibegoin apa? Gue liat elu sok baik sama anak gue. Elu mau ngembat anak gue, kan? Ngaku aja elu!” Bang Deni menggebrak meja, lalu berdiri dan menghunus tonjoknya, sebelum ditahan oleh Pak Haji.
Jantung Ijal berdegup kencang.
“Tahan dulu, Bang Deni,” Pak Haji mengajak Bang Deni duduk kembali.
“Jadi begini, seperti yang Mas Ijal dengar sendiri, itulah duduk persoalannya. Saya selaku pemilik bedeng, merasa bertanggung jawab atas kententraman para penghuni bedeng saya.”
“Tapi, sumpah demi Allah, Pak Haji, saya tidak seperti yang mereka tuduhkan.”
“Mas Ijal mohon menerima keputusan bersama ini. Sekali lagi, saya bukan bermaksud jahat kepada Mas Ijal, tapi saya hanya tidak ingin para penghuni lain menjadi resah. Dan untuk meringankan Mas Ijal, saya beri waktu seminggu untuk mencari kontrakan lain, uang sewa bulan kemarin biarlah saya ikhlaskan saja. Bagaimana?”
Ijal tertunduk lemas. Ia terlalu lelah dan sadar mau protes bagaimanapun akan tetap percuma. “Baiklah, Pak Haji.”
“Nah, nampaknya Mas Ijal sudah paham. Mas Ijal sudah boleh pulang dan istirahat,” Pak Haji tersenyum ramah.
***
Ijal tidak bisa tidur. Kata-kata dari Bang Deni tidak mau lepas dari kepalanya. Mencoba untuk tidur, ia memandangi bunga-bunga dari kertas yang menggantung di dinding kamar. Cantik sekali.
Namun, ia segera membuang pikiran itu. Besok pagi aku akan membakarnya, dan menggantinya dengan poster lelaki berotot membawa pedang, batin Ijal.
Ijal kembali memejamkan mata. Dari balik dinding, Ijal mendengar suara-suara. Suara-suara yang didengarnya hampir setiap malam: suara teriakan perempuan dan bocah, suara makian, suara benda dibanting. Suara itu berasal dari bedeng Bang Deni. Ijal semakin tidak bisa tidur., padahal besok ia lembur.