Sekarang, ia di atas motor, seorang diri, dengan tidak membawa perasan bersalah sedikitpun. Lelaki itu – lelaki yang katanya lebih memilih cerpen ketimbang puisi. Bagaimana kalau kita juluki Lelaki Cerpen saja? Oh Lelaki Cerpen.. Perempuan secantik dan sepenakluk itu kau sia-siakan dengan pedang tak bertulang di dalam mulutmu.
Sesampainya di depan gerbang rumahnya, ia mencium bau wangi seperti yang tadi ia cium. Tidak lain lagi, katanya, “Seperti bau parfum Perempuan Cantik Sang Penakluk.” Tiba-tiba bau wangi yang enak dihirup dalam-dalam itu berubah menjadi busuk yang menusuk. Ia takut, cepat-cepat masuk rumah dan mendaratkan tubuhnya pada kasur. Lelaki Cerpen damai pada mimpinya.
Lelaki Cerpen bangun dari mimpi buruknya. Sekujur tubuhnya bergetar, keringat-keringat sudah sebiji jagung di dahinya, telapak tangan dan kakinya dingin. Nafasnya kencang tak teratur, rongga dada kembang kempis.
Ia terkejut matanya melotot pada satu titik sudut kamar. Di dalam mimpinya, Perempuan Cantik Sang Penakluk berdiri dihadapannya membawa pisau. Bersih mengkilat pisau itu, sampai Lelaki Cerpen dapat melihat dirinya di pisau tersebut.
Tatapan Perempuan Cantik Sang Penakluk buruk, amat buruk – terbuka lebar, bola matanya maju sedikit dan terpaku terus tak teralihkan pada bola mata Lelaki Cerpen. Lelaki Cerpen perlahan mundur, Perempuan Cantik Sang Penakluk cepat-cepat maju. Lelaki mundur, Perempuan maju.
Mundur – maju – mundur – maju. Terus begitu.. sampai akhirnya Perempuan Cantik Sang Penakluk tersenyum dan hendak menancapkan pisau tersebut pada dada Lelaki Cerpen. “Jrootttt..” Pisau berhasil tertancap dan Lelaki Cerpen terbangun dengan keadaan seperti di atas.
Matahari sudah meninggi, disertai angin yang membawa teriknya. Lelaki Cerpen merenung di atas kasur tentang mimpi semalam. Ia percaya akan macam-macam mimpi yang terjadi. Ada mimpi yang berasal dari Tuhan, bisikan setan, dan murni alam bawah sadar masing-masing orang. Ia bingung. Kalau mimpinya dari alam bawah sadar, ia rasa tidak mungkin, sebab dia saja tidak memikirkan Perempuan Cantik Sang Penakluk semalam sebelum tidur.
Kalau dari setan, tidak mungkin juga Perempuan secantik dan sepenakluk itu bersekongkol dengan setan untuk merasukinya di dalam mimpi. Kalau dari Tuhan, ia tidak berani meragukannya. Bisa jadi memang dari Tuhan. Tuhan mendengar isak tangis Perempuan semalam, mencari penyebab dan dalang dari pementasan tangis termegah di kelopak mata umat manusia malam itu. Dan dikirimlah mimpi itu kepada Lelaki Cerpen.
Lelaki Cerpen membuka handphone-nya, ia ingin menguhubungi Perempuan Cantik Sang Penakluk. Tapi.. ia ragu, ia takut akan kebenaran mimpi semalam. “Ah.. tidak mungkin Perempuan Cantik Sang Penakluk akan melakukan hal tersebut padaku,” Lelaki Cerpen coba meyakinkan dirinya.
Akhirnya, ia menghubunginya, “Ntik, apa kamu baik-baik saja?” begitu isi pesan Lelaki Cerpen pada Perempuan Cantik Sang Penakluk. Selang sebentar handphone Lelaki Cerpen berdering, ia membuka dan membaca isi pesan Perempuan, “Memangnya kenapa kamu tanya seperti itu?”
“Semalam aku bermimpi bertemu denganmu,” jelas Lelaki Cerpen.
“Oh. Hanya mimpi saja?" singkat balasan Perempuan Cantik Sang Penakluk.
“Iya, hanya mimpi.”
“Ya sudah, apa lagi yang perlu dipermasalahkan?”
“Mengapa kamu tidak begitu antusias? Biasanya saat aku ceritakan mimpiku yang ada kehadiranmu di sana, kamu selalu bersemangat dan menanyakan bagaimana mimpinya,” heran Lelaki Cerpen melihat balasan Perempuan Cantik Sang Penakluk singkat saja.
“Oh kamu ingin aku antusias? Baiklah.. WAW.. bagus dong, itu artinya kamu berkesan atas pertemuan kita semalam. Pasti kamu memikirkannya sepanjang malam ya,” Perempuan Cantik Sang Penakluk mencoba menutupi keadaannya.
“Tidak, Ntik. Tidak seperti yang kamu kira.. semalam aku bermimpi kamu mendatangiku dan membawa sebilah pisau lalu kamu tancapkan itu pada dadaku.”
“Bagus dong.”
“Kok bagus?” Lelaki Cerpen terkejut melihat balasan Perempuan Cantik Sang Penakluk.
“Sudahlah, Lelaki. Aku sedang tidak ingin membahas hal itu sekarang. Aku lagi ingin seorang diri. Aku ingin menemukan diksi yang indah untuk puisiku lalu, aku ingin begitu tunduk merenunginya, dan mengeja nada yang merdu untuk keindahan pembacaannya. Ya.. aku mau menunaikan ibadah puisi-ku.” Perempuan Cantik Sang Penakluk tak bisa menahan perasaannya, ia jelaskan semua dengan analogi puisi yang diberikan Lelaki Cerpen padanya semalam.
Senjata makan tuan - Perempuan Cantik Sang Penakluk, selain cantik dan penakluk, ia juga cerdas. Perumpaan yang Lelaki Cerpen buat semalam, ia jadikan senjata untuk benar-benar menusuk dada Lelaki Cerpen seperti di dalam mimpinya sendiri. Perempuan benar-benar menusuk Lelaki. Bedanya, ia menusuk dengan kata-kata bukan dengan sebilah pisau. Luka dan sakit yang ditimbulkan? Coba saja sendiri bermain dengan kata-kata. Dunia saja bisa mengalami perang karna kata-kata.
“Kamu marah karna perkataanku semalam, Ntik?” isi pesan Lelaki Cerpen yang terakhir dan yang tak dibalas. Entah, apa akan benar-benar jadi yang terakhir kali dan yang tak akan pernah dibalas? Semua kendali ada di Perempuan Cantik Sang Penakluk.
Lelaki Cerpen – lelaki yang diidamkan Perempuan Cantik Sang Penakluk kini “dibuang” begitu saja. Semua karna dirinya sendiri. Keangkuhannya yang hanya pada satu karya ‘sastra’ saja, justru membuatnya terjatuh karna yang diangkuhkan. Kata-kata memang bisa jadi senjata. Salah letak bisa menimbulkan retak.
Kemarin, Perempuan Cantik Sang Penakluk yang begitu bersemangat dengan Lelaki Cerpen. Kini, ia tak lagi sama. Api cintanya sudah padam. Sebab tangisnya yang memadamkan. Lelaki Cerpen menjatuhkan dirinya di atas kasur, menangis sejadi-jadinya dan ia tertidur. Di lain tempat, di kamar indekos kecil, Perempuan Cantik Sang Penakluk membaca puisi rangkaiannya:
PUISI KEPADA CERPEN
KATA-KATA MEMANGLAH KATA
TAPI BISA JADI SENJATA
MELUKAI SIAPA SAJA
YANG BERANI MENGKHIANATINYA
DI DADA-MU,
KU TANCAPKAN PUISIKU!
Lelaki Cerpen terbangun, tubuhnya bergetar, keringat membasahi wajah hingga tubuh, ia pegangi dadanya.