Anda pasti tidak asing lagi dengan cerita legenda Malin Kundang. Legenda klasik ini bercerita tentang seorang anak yang durhaka kepada ibunya lalu dikutuk menjadi batu. Mungkin selama ini Anda membaca ceritanya dari buku, atau didongengin oleh orangtua saat masa kecil dulu.
Minggu sore kemarin, dalam sebuah konser musik bertajuk Millenial Marzukiana, saya beruntung bisa menikmati sebuah momen langka, disuguhkan cerita legenda lewat narasi yang dibawakan dengan apik oleh Handry Satryago berpadu dengan alunan musik nan merdu gubahan Ananda Sukarlan.
Melalui tangan dingin sang pianis dan komponis kenamaan ini, kita dibawa hanyut dalam suasana seolah sedang berada di pantai Air Manis tatkala Malin Kundang tidak mengakui ibu kandungnya. Bahkan setelah acara pertunjukan konser selesai, saya masih merinding setiap melihat kembali rekamannya di ponsel saya.
Saya ingin mengapresiasi Handry Satryago. Lewat narasi yang luar biasa dan intonasi suaranya saat membawakan cerita, membuat kita tersedot masuk ke dalam suasana batin sang ibunda ketika rasa rindu terhadap sang anak membuncah di dalam dada. Juga ketika perasaan yang begitu nelangsa akibat perbuatan durhaka anaknya, kita juga ikut merasakannya.
Tidak cukup sampai di situ, alunan musik Ananda Sukarlan Orchestra seolah mendeskripsikan setiap suasana dan atmosfer di lokasi peristiwa. Padahal cerita itu sudah sangat lama beredar dan familiar di benak dan ruang dengar kita, namun tetap saja yang versi ini rasanya sungguh luar biasa dan sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Bagaimana tidak, meskipun kita duduk di kursi penonton, namun atmosfer yang disuguhkannya membuat kita seolah berada di tepian pantai dan melihat sebuah kapal megah di tengah laut sana membawa seorang anak pergi jauh dari ibunya demi mengejar cita-cita dan demi kesejahteraan keluarga.
Pun ketika hati sang ibu terasa begitu pilu akibat perbuatan sang anak, alunan musik dari Ananda Sukarlan Orchestra sukses ikut menyayat-nyayat hati dan perasaan ini menjadi tak menentu dibuatnya. Ah, benar-benar sebuah suguhan yang rancak bana.
Dari Ananda, saya baru tahu kalau ternyata ada yang namanya musik ballet. “Malin Kundang itu sebetulnya aku buat untuk musik koreografi. Musik ballet-lah. Kerennya kayak Swan Lake, Spartacus, Gayaneh, The Rite of Spring gitu deh. Eh kok nyebutnya komponis Rusia semua, ya; itu kan bikinannya Tchaikovsky, Khachaturian, Stravinsky. Ya ok deh, Prince of The Pagodas deh, itu favoritku, musiknya dari Benjamin Britten untuk koreografi John Cranko, atau Rodeo, musik Aaron Copland untuk koreografi Agnes de Mille,” tulis Ananda dalam blog pribadinya.
Musik koreografi? Apa itu dan siapa pula itu Benjamin Britten? Jujur saja, saya sama sekali tidak kenal semua nama-nama itu. Komponis yang saya kenal cuma Addie MS dan Ananda Sukarlan.
Katanya, sampai saat ini belum ada musik yang “klasik” gitu untuk koreografi ballet Indonesia. Tapi tunggu dulu, apaan lagi itu “ballet Indonesia”? Maklum, saya belum pernah nonton pertunjukan ballet atau mendengar musik ballet. Paling sering dengerin musik Slank atau Iwan Fals, selain uning-uningan dan gondang khas Batak tentunya.
“Ya intinya sama kayak Indonesian classical music-lah: menggunakan teknik ‘Eropa’, tapi materialnya Indonesia: ceritanya dari Indonesia, musiknya juga sangat Indonesia.” Begitu kata Ananda.
Well, terlepas dari keribetan istilah maupun keribetan dalam proses menuliskan musiknya oleh sang komponis jenius, saya cukup senang mendapatkan kesempatan untuk menikmatinya. Dan baru kali ini saya dengar lagu tradisional “Gelang Sipatu Gelang” dibawakan dengan indah oleh sebuah kelompok musik orkestra.
Walaupun tidak ada peran atau adegan yang ditampilkan di panggung seperti sebuah penampilan opera atau pertunjukan teater, namun saya bisa melihat setiap adegan demi adegan tersaji melalui imaginasi yang hanyut oleh lantunan musik yang membangun atmosfer dan melalui deskripsi oleh sang pembaca narasi.
Sampai saat ini saya masih belum bisa move on dari konser Millenial Marzukiana kemarin dan tidak bosan-bosan untuk memutar ulang rekamannya .
Mungkin Anda bingung, kok bisa saya merekam pertunjukannya? Bukankah biasanya ada larangan dan petugas berbadan tegap yang mengawasi? Ya memang dalam setiap pertunjukan seni musik atau pertunjukan teater pada umumnya, kita dilarang untuk merekam dalam bentuk video, juga dilarang ini dan itu, serta banyak peraturan lainnya.
Saat konser Millenial Marzukiana yang digelar di Ciputra Artpreneur Theater pada Minggu, 13 Januari 2019 kemarin, panitia juga melarang untuk merekam video saat pertunjukan berlangsung. Namun saya tetap nekat merekam dengan diam-diam.
Tak disangka, sebelum pertunjukan babak kedua berlangsung, tiba-tiba Ananda mengambil mikrofon lalu memberikan pengumuman bahwa penonton boleh merekam pertunjukan, dan bahkan ia juga menganjurkan audiens untuk menayangkan siaran langsung lewat media sosial kita masing-masing.
Seketika ruangan menjadi riuh dengan sorak-sorai para penonton yang bahagia. Ya, namanya juga konser millenial, apa jadinya millenial tanpa gadget iya kan? Apalagi para musisi yang tampil juga dari kalangan milenial yang berusia di bawah 30 tahun seperti Jessica Sudarta (Harpis), Finna Kurniawati (Violis), Anthony Hartono (Pianis), Mariska Setiawan (Soprano), dan Widhawan Aryo (Tenor).
Eh, ngomong-ngomong, saya masih termasuk golongan milenial lho.
Pertunjukan yang berlangsung selama 2 jam tersebut rasanya terlalu cepat untuk berlalu, dan saya menyukai setiap detailnya dari sejak awal ketika penonton disuguhi Tsunami sebuah karya musik dari Ananda yang terinspirasi dari kejadian di Selat Sunda baru-baru ini. Dengan musik Tsunami ini, ia menyuguhkan ke penonton “aural experience” tsunami yang menghanyutkan dan sekaligus mengena di hati.
Indonesia Pusaka ditampilkan sebagai suguhan penutup acara. Seolah berkata bahwa dalam jiwa kita, rasa nasionalisme harus tetap membara, sama seperti ketika Ismail Marzuki menuangkan rasa cintanya terhadap Indonesia melalui lagu-lagu ciptaannya.
Dan kini cinta yang sama terhadap tanah air ini kembali membahana bahkan hingga ke penjuru dunia melalui seorang putra bangsa bernama Ananda, pianis dan komponis yang sudah mendunia melalui karya karyanya yang luar biasa.
Semoga musik klasik Indonesia semakin berkembang dan mendunia melalui putra-putri terbaik bangsa.