Kampung menurut KBBI adalah kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu, terletak di bawah kecamatan. Kampung biasanya identik dengan keterbelakangan (belum modern). Hal ini berkaitan dengan kebiasaan di kampung yang masih kolot. Kampung juga biasanya dihuni oleh orang yang berpenghasilan rendah.

Kampung menjadi naik daun ketika lebaran tiba. Jutaan orang pulang ke kampungnya. Data statistik tahun 2016 lalu, ada sekitar 17 juta orang yang mudik di-dari pulau Jawa. Mereka berbondong-bondong menuju tempatnya dilahirkan, ataupun tempat orang tuanya menetap. Kampung menjadi tempat mereka pulang, setidaknya setahun sekali.

Saya pun tiap tahun pulang kampung. Kampung saya di Jawa Barat. Definisi kampung menurut KBBI tersebut rasanya tak tepat dialamatkan untuk kampung saya. Berjejer mobil dan rumah mewah mentereng di pinggir jalan. Pemandangan seperti itu, bukanlah satu dua, melainkan hampir seluruh tepian desa dihiasi mobil dan rumah mewah.

Kesakralan spiritualitas tergambar dari kumandang takbir yang menggema tak henti. Religiusitas orang-orang di kampung saya seketika naik berkali lipat. Mereka menyambut hari yang Fitri dengan suka cita dan penuh khidmat. Hal ini terlihat dari ramainya malam takbir oleh gema takbir yang terdengar di mana-mana.

Saat paling sakral tentu ketika salat Ied. Tetapi ada pemandangan yang sangat kontras. Sekarang kesakralan selalu bersanding dengan kemewahan, tentu atas nama modernitas. Puluhan mobil mewah terparkir di halaman masjid, membludak hingga ke jalan. Jemaat salat Ied berbagi tempat dengan mobil. Baju-baju gemerlap pun menghiasi pemandangan di pagi hari. Sepatu, sandal, kerudung, sarung, sajadah tak luput dari kebaruan.

Sangat sedikit sekali orang mengenakan mukena langsung dari rumah. Kebanyakan mereka mengenakan baju terbaik dan segala atributnya seolah sengaja ingin dilihat orang. Eksistensi diri yang pertama di mulai, tepat ketika adzan takbir masih berkumandang dan matahari masih malu-malu untuk muncul ke permukaan.

Ada rasa masygul melihat itu semua. Kampung saya ternyata tak suka dengan kesederhanaan. Ternyata kampung saya tak dihuni oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah. Mereka juga jika dilihat dari penampilan ternyata sangat modern ‘up to date’. Ada rasa bangga ketika saya menyadari bahwa saya lahir dan tinggal di kampung yang maju. Tetapi kadang banyak tanya apakah cara berpikirnya pun sudah semaju penampilan fisiknya.

Ziarah, adalah kebiasaan kedua yang kerapkali hadir ketika lebaran. Setelah salat Ied dan selesai bersilaturahmi dengan tetangga juga sanak saudara terdekat, biasaya perkumpulan akan dilanjutkan di pemakaman. Ziarah tentu saja tanpa lepas dari kesakralan dan ketulusan niatnya, adalah sebuah ajang eksistensi. Kampung saya yang kecil itu ternyata menyuguhkan pemandangan mobil mewah di pemakaman juga. Jarak yang dekat tak jadi soal untuk menggunakan kendaraan roda empat, yang padahal masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Pemakaman yang kerapkali dilabeli sebagai tempat angker, ternyata pada hari itu adalah tempat untuk tak sengaja bertemu teman lama, lantas mengobrol dan tentu saja memperlihatkan mobil yang dibawanya. Akh... barangkali saya terlalu berlebihan, semoga saya salah.

Setiap individu bersukacita berlebaran di kampung halaman. Bertemu orang tua, sanak saudara, teman lama juga tetangga. Kampung menjadi tujuan. Berbulan-bulan mencari penghasilan di ibukota, menyisihkannya untuk bisa berlebaran di kampung.

Lebaran dan kampung, tak ada yang salah dengan peristiwa dan tempat tersebut. Tetapi menjadi kurang bijak ketika hal yang sakral dan sederhana dirusak oleh ambisi dan nafsu. Ajang silaturahmi tak seharusnya menjadi ajang pamer diri. Silaturahmi bisa dilakukan dengan cara yang santun dan bijak.

Kampung, tak semestinya menjadi tempat untuk menuntaskan ambisi. Kampung rindu diperlakukan dengan sederhana, didatangi wajah-wajah yang penuh ketulusan. Kebaruan memang tak bisa dihindari, tetapi ada banyak hal yang masih bisa kita perbuat agar kampung tak berubah wajah secara mendadak.

Mobil-mobil mewah itu hanya datang seketika, paling lama 7 hari setiap tahun, ketika lebaran tiba. Sepeninggalnya orang-orang tersebut akan kembali ke kota, kampung kembali seperti semula, menjadi tempat bagi mereka yang memang enggan pergi. Kampung, semestinya tak hanya menjadi idola ketika lebaran. Dan lebaran di kampung seharusnya menjadi uji coba bagi kita tentang siapa sebenarnya kita.