Umat Islam baru saja merayakan Lebaran, Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1439 H. Momen hari raya, merupakan saat-saat yang penuh keceriaan dan keakraban. Ajang saling berbagi maaf atas kesalahan. Sekaligus waktu terbaik untuk saling bersilaturahmi. Sanak kerabat yang merantau akan pulang ke kampung halamannya, mudik, demikian biasa disebut.
Di balik segala keceriaan, suka cita, dan aneka semaraknya suasana Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Ada sosok yang sangat berjasa besar bagi setiap kita, sehingga seseorang dapat merayakan dan menikmati Lebaran dengan meriah. Dia tak lain adalah, ibu kita. Tanpa kehadiran seorang ibu, Lebaran akan terasa hampa, ada yang kurang.
Kehadiran seorang ibu di tengah-tengah kita, dalam suasana Lebaran, bisa dibilang adalah segala-galanya. Maka tak mengherankan jika banyak orang rela berdesakan di kereta ekonomi, rela membayar tiket pesawat dengan harga jutaan, rela bersabar menanggung kemacetan berjam-jam di jalan, semua itu demi satu tujuan, bertemu dengan ibu.
Sebagian pemudik bahkan mungkin ibunya sudah mangkat, namun tetap meluangkan waktu untuk mudik. Demi bisa berziarah ke pusara seorang ibu. Betapa sempitnya Lebaran jika hanya bersilaturahmi kepada yang hidup, dan melupakan berziarah kepada mereka yang sudah mendahului kita kembali kepada Nya.
Tradisi Lebaran, dengan meluangkan waktu untuk mudik, bertemu dan berkumpul dengan keluarga. Bersimpuh dan bersilaturahmi dengan ibu kita dan juga keluarga besar. Hal tersebut merupakan tradisi yang sangat kaya, yang kita miliki dan perlu dilestarikan.
Seorang ibu adalah, dia yang di masa kecil kita selalu rela untuk bangun lebih dulu, menyiapkan makan sahur, juga dia yang ikhlas repot menyiapkan berbuka. Yang bahkan kadang-kadang beliau sendiri tidak bisa menjalankan ibadah puasa, karena sedang berhalangan. Namun hal itu, tak menghalanginya untuk tetap melayani keluarganya, anak-anak dan suaminya.
Perjuangan dan pengorbanan seorang ibu tak berhenti di bulan puasa. Menjelang Lebaran, lagi-lagi seorang ibu akan rela berkorban, tanpa mengeluh, untuk mencarikan busana terbaik untuk anak-anaknya. Ia rela berdesakan di pasar-pasar, di mall-mall, yang bahkan kadang ia rela menangguhkan kepentingannya sendiri.
Seorang ibu ialah mentari, yang tak pernah meminta pengakuan kepada bumi manusia seisinya, untuk mengakui jasa-jasanya. Seorang ibu juga serupa malam yang rapi menutupi bumi, yang ikhlas menanggung kesalahan perbuatan anak-anaknya.
Demikian besar jasa dan pengorbanan seorang ibu, maka tidak mengherankan Nabi Yang Mulia Muhammad SAW memerintahkan agar setiap kita menghormati ibu kita. Bahkan Rasulullah yang mulia, mengulangi hingga tiga kali agar kita menghormati ibu kita, sebelum akhirnya menyebutkan nama bapak kita, untuk juga dihormati.
Lebih jauh, seorang ibu adalah bayangan Citra Tuhan dalam hidup kita. Jika menaati seorang ibu yang demikian terlihat saja kita merasa kewalahan, jangan berharap untuk sanggup mentaati Tuhan. Karena surga berada di telapak kaki ibu kita. Bahkan, seandainya seorang ibu berada dalam salah, Rasulullah Muhammad memerintahkan agar umatnya tetap berkata baik dan lembut kepada seorang ibu. Perkataan semacam "hush" atau "uff" sebagai cibiran kepada seorang ibu, tegas dilarang.
Jika hidup dipahami sebagai berawal dari proses kejatuhan setiap kita ke bumi, melalui perantara ibu kita. Dan diakhiri dengan proses kembali menuju Tuhan, melalui perantara kematian. Maka kembali menemui ibu kita, kembali bersimpuh di kakinya, kembali mengingat segala pengorbanan ibu kita, kembali meluangkan waktu berziarah ke pusaranya. Sejatinya semua itu adalah juga proses menumbuhkan kesadaran batin kita, dari mana hakikatnya kita semua berasal.
Dengan demikian, maka Lebaran adalah sekaligus sebagai monumen bagi setiap kita untuk kembali mengingat dan menghadirkan arti dan jasa seorang ibu dalam hidup kita. Bahwa ibu kita adalah surga kita, meskipun beliau acapkali menjadi surga yang sering kita lupakan atau tak sengaja terlupakan karena kesibukan dan ego kita.