Usai makan bakso di warung, wajar kalau bayar. Kenapa? Karena anda menelan daging, taoge, kenyang, dapat nutrisi, dan dapat manfaat nyata. Tak ada yang meragukan kemanfaatan orang yang makan di restoran. Tapi, kalau kuliah kenapa harus bayar? Duitnya untuk apa? Gaji dosen?
Mengapa orang bayar ke kampus? Apa uang itu untuk biaya listrik yang menerangi ruang kelas? Untuk ongkos transportasi dan makan dosen? Untuk mengupahi tenaga administrasi? Mungkin jawabannya berakhir dengan kata ‘Ya’. Tapi, apakah tiap orang pasti makin pintar ketika kuliah?
Apa benar anda makin dewasa karena ulah dan kerja keras dosen? Bagaimana kalau perkuliahan dilaksanakan secara online, dosen tak perlu ke kampus, universitas tak perlu bayar listrik yang menerangi kelas? Apa anda mendapat pengembalian dana, mengingat ada penurunan operasional?
Saya pikir mahasiswa cerdas tak percaya bahwa kampus ‘’Lembaga Pendidikan yang Haram Komersil’’. Ketika daftar kuliah, itu sebenarnya anda sedang transaksi ekonomi. Anda bayar, anda dijanjikan ijazah dengan penyerahan tak-langsung. Maksudnya harus ikuti beberapa tahap untuk dapat barang yang anda inginkan.
Dalam prinsip ekonomi, jual beli mensyaratkan hubungan egaliter antarpihak. Mahasiswa sebagai ‘’pembeli’’ ijazah, dan kampus sebagai ‘‘penjual’’. Karena untuk dapat barang yang diinginkan harus menunggu setidak-tidaknya 4 tahun, maka mahasiswa ‘’dipaksa’’ berdamai dengan dosen selama masa tunggu.
Apakah ketika bayaran lunas, anda pasti dapat barang yang anda beli? Belum tentu. Ada banyak kasus yang membikin mahasiswa gagal mendapat barang yang harusnya didapatkannya. Karena di dalam 4 tahun ‘’masa tunggu’’ itu, rupanya kampus membikin banyak sekali standar etika paksaan.
Berarti mahasiswa hidup dalam represi selama 4 tahun? Iya. Memang iya. Anda harus sopan pada dosen meski ia brengsek. Anda tak boleh menuntut penurunan UKT meski bapakmu kena PHK. Anda tak boleh bikin diskusi yang mempertanyakan kebobrokan penguasa.
Bahkan dalam hal pilih judul skripsi, anda dibebaskan membuat topik. Tapi begitu saja diveto karena katanya ‘’tak relevan’’. Bagaimana bisa dosen yang hanya duduk di ruangan dingin mengatakan demikian. Tahu apa dia tentang bahasan masalah di lapangan yang sedang anda teliti?
Diakui, kita hidup di dunia dimana dosen selalu berkata, ‘’Jangan aneh-aneh kalau pilih penelitian!’’. Apa maksud dari ‘’aneh-aneh?’’. Sungguh sial, anda dapat dosen kelas Tukang Stempel Administratif. Dosen harusnya petualang yang mencari kebenaran. Aneh kalau takut pada topik yang ‘‘aneh’’.
Bayangkan, betapa aneh Thomas Alva Edison bertahun-tahun hidup di ruangan untuk berjibaku dengan kabel dan bohlam. Bagi masyarakat zaman itu, sungguh aneh, ‘’Orang kok utak-atik kaca berbentuk jambu’’. Kan sudah ada lampu minyak. Untuk apa mencoba yang aneh-aneh itu?
Pola pikir itu juga menimpa pelaut Italia, Columbus abad 15. Masyarakat mencibir, ‘’Untuk apa berlayar sampai jauh. Bagaimana kalau jatuh ke Jurang Bumi? di seberang hanya ada tebing maha dalam. Selain Eropa, tidak ada tanah dan peradaban lain’’. Itulah pendapat para penakut bin pengecut.
Kalau sudah tahu kemungkinan-kemungkinan baru bisa muncul dari penelitian ‘’yang aneh’’, mengapa masih saja dosen berpikir sempit? Kita patut curiga, dosen yang gemar melarang percobaan jangan-jangan ia takut terlampaui murid. Sehingga dengan dalih ‘‘Ini tak relevan!’’, mencoba membunuh gagasan kreatif mahasiswa.
Di Depok beberapa waktu lalu, bahkan mahasiswa dilarang berambut gondrong. Biar apa? Apa urusannya dengan beli ijazah? Pelajar telah keluarkan uang, kenapa kampus mengatur-atur? Kalau rektor bisa mengeluarkan aturan, kenapa mahasiswa tak dapat juga membikin aturan untuk universitas?
Rupa-rupanya, masa tunggu 4 tahun untuk dapat ijazah itu dimanfaatkan benar oleh kampus untuk mengawasi perilaku mahasiswa. Telat masuk kelas, dijatuhi absensi jelek. Giliran dosen terlambat, atau tiba-tiba membatalkan kelas karena ‘‘ada urusan’’, mahasiswa ‘‘dipaksa’’ untuk maklum.
Ketika dosen gagal mengajar, entah dia sakit, istrinya melahirkan, atau keluarganya meninggal (dan itu bukan urusan mahasiswa), harusnya mahasiswa yang telah mengeluarkan biaya untuk membayar si dosen mendapat pengembalian uang. Kenapa? Karena dia telah bayar tapi kenapa tak dapat ‘‘ilmu?’’.
Daya tawar mahasiswa sungguh rendah. Bak budak yang lemah dan selalu dipaksa patuh di hadapan kampus. Tanpa pernah tahu hitungannya bagaimana, mahasiswa tahu-tahu disodori biaya semester yang tinggi dan dilarang mempertanyakan dari mana muncul angka segitu. Inikah penjajahan zaman modern?
Ini sama ketika pandemi Covid-19. Penurunan biaya UKT itu kurang masuk akal. Yang lebih rasional, menurut saya, kampus sebaiknya mengembalikan uang mahasiswa dengan hitungan yang diperinci. Maksudnya, gegara kuliah online, dosen kan tak perlu keluar ongkos untuk mengajar di kampus.
Juga listrik di kelas tak terpakai. AC tak perlu dinyalakan. Air toilet tak perlu mengalir. Lantai-lantai kampus tak terinjaki, tak ada debu oleh kaki mahasiswa, meja kursi tak makin reot diduduki pantat. Kan mahasiswa tak ke kampus. Artinya properti gedung dan isinya menganggur.
Karena fasilitas yang telah disewa tak dipakai, maka uang untuk menyewa fasilitas adalah tidak terpakai atau menganggur. Dan itu uang mahasiswa. Bukan duit rektor. Uang yang sebagian besar berasal dari orang tua yang mungkin kena PHK, atau usahanya hancur karena kejatuhan ekonomi nasional.
Kampus-kampus RI harus menjunjung tinggi semangat demokrasi. Ketika mahasiswa ‘‘tak perlu mengeluarkan uang untuk listrik, air, dan fasilitas ruang kelas’’, maka biaya semester harusnya turun, atau uang pelajar dikembalikan. Dengan kuliah online, toh dosen tak keluar uang untuk bensin mobil.
‘‘Ini sudah jadi kebijakan dari atas, mas. Kita tinggal menjalankan,’’ kata petugas keuangan. Ternyata mahasiswa ‘‘dipaksa’’ harus bayar sesuai nominal yang disampaikan Bagian Keuangan, yang dia sendiri menetapkan kebijakan itu bukan karena kehendaknya, melainkan diputusi oleh elit di atasnya.
Dari situ, sistem ala ‘’Birokrat Merah Komunis’’ tampak nyata. Kita dipaksa bayar sejumlah nominal oleh Biro Keuangan, padahal ia sendiri mendapat intruksi dari-atas untuk melaksanaka/nnya begitu saja tanpa tahu mengapa muncul angka segitu, dari mana hitunganya, dan kenapa tak bisa ditawar.
Di kampus sudah ada gedung, toilet, ruang kelas, laboratorium. Kenapa kuliah tetap mahal? Bahkan biayanya cenderung naik. Bukankah uang mahasiswa selalu telah cukup untuk bayar listrik, tagihan air toilet, gaji dosen, bensin mobil rektor dan dekan, mengupah seluruh staf?
Kita harus yakin, ketika kuliah diubah menjadi online, dosen tak lagi pergi ke kampus, seluruh ruang kelas tak butuh listrik. Itu artinya terjadi penurunan besar-besaran biaya operasional. Artinya ada banyak uang mahasiswa yang tak terpakai, karena memang mahasiswa tak memerlukan fasilitas fisik. Kan online.
Maka dari itu, sangat wajar bila biaya UKT turun, karena memang terjadi penurunan biaya operasional kampus. Dan fakta mahasiswa tak memakai kelas, listrik, air. Jadi, kenapa harus membayar sesuatu yang tak anda pakai? Pemaksaan bayar atas benda yang tak anda perlukan itu otoriterisme.
Sebenarnya kuliah itu perkara sederhana. Kampus lah yang membikin semua jadi ruwet. Kuliah itu kan sebenarnya, di dunia nyata, jelas-jelas kegiatan ekonomi. Masa tunggu 4-5 tahun itu yang diisi dengan sederet norma ribet tak penting.
Andai biaya operasional kampus hanya memerlukan tiap mahasiswa bayar Rp2 juta, kan universitas tak perlu menetapkan bayaran semester sebesar Rp5 juta. Untuk apa? Uangnya kemana? Dimakan rektor dan kroni? Masuk rekening petinggi yayasan? Rektor keenakan! Mahasiswa sengsara!
Misal sebelum Covid-19 tiap hari dosen berangkat-pergi ke kampus keluarkan Rp50 ribu. Selama masa kuliah online, uang Rp50 ribu itu tak terpakai. Artinya mahasiswa tak perlu bayar biaya perjalanan guru, karena uang itu tak diperlukan. Lha wong dosen di rumah. Tidak ke kampus, kok!
Mengisap darah orang tua mahasiswa itu tak beda dengan penjajah! Saat bangsa alami kehancuran ekonomi, menguras uang mahasiswa itu mirip bandit kolonial yang tak punya rasa kasihan dan hanya peduli uang, uang, dan uang. Kampus tiran model begitu harus dihancurkan! Seret rektor! Pukul penindas!
Rektor jangan banyak omong! Kembalikan uang bayaran mahasiswa! UKT kami menumpuk di rekening anda! Stop tipu-tipu! Jangan ancam kami dengan barikade preman-preman! Jangan takuti kami dengan ancaman skorsing dan DO! Kami lebih cinta keringat orang tua ketimbang takut kalian!
Kami lebih pilih hargai punggung bapak kami yang bungkuk kerja keras ketimbang retorika pembelaan kalian! Kami tak mau jadi bagian pemeras keringat orang tua! Sadar lah! Civitas akademika tak mungkin menyebut diri keluarga kalau tak punya rasa solidaritas mahasiswa miskin! Stop isap kami!