Belantika musik tanah air belakangan ini tengah dimeriahkan dengan sebuah lagu berjudul Lathi. Sebuah lagu yang mengulas tentang hubungan toxic relationship dalam kehidupan anak muda. Lagu tersebut menggabungkan musik modern dan tradisional. Hal yang menarik dari lagu itu adalah respons dari para penggemarnya.
Booming-nya lagu tersebut ternyata diikuti uuforia para penggemarnya dengan membuat Lathi Challenge. Sebuah tantangan di mana seseorang menampakkan perubahan dua karakter berbeda dalam satu waktu sekaligus, berawal dari cantik hingga berubah menjadi menyeramkan. Tantangan ini memang membutuhkan kreativitas yang tinggi untuk melakukannya, terutama dalam berdandan.
Cara berdandan yang menyeramkan yang identik dengan hantu dan unsur mistis lainnya beberapa hari ini sedang marak dan diikuti oleh banyak netizen. Terutama netizen perempuan. Beberapa orang menganggap hal tersebut bagian dari memanggil atau memuja setan. Tetapi saya tidak ingin mengulas hal itu, karena memang tidak menarik untuk diulas.
Saya sebenarnya tidak terlalu menyimak perkembangan tersebut. Hal yang mendorong saya untuk menulis hal ini berangkat dari sebuah diskusi kecil di sebuah kolom media sosial. Seorang teman perempuan sedang mengunggah video pendek lagu tersebut dan memberi narasi bahwa video tersebut menggambarkan seorang perempuan yang selalu menjadi korban dari subordinasi dan penindasan berulang.
Perempuan tak bisa keluar, tak bisa bersuara, dan akhirnya gunda antara memilih akur dengan penindasan yang coba dinikmatinya atau melawan dengan puing-puing kekuatan yang entah bisa atau membuat jatuh lagi, dan kalah. Dan apa yang dia digambarkan tersebut dia sebut sebagai toxic relationship.
Lathi dan Melawan Toxic Relationship
Dalam lagu Lathi yang menceritakan toxic relationship digambarkan bahwa pasangan yang seharusnya menjalin hubungan dengan saling mencintai, berubah lantaran salah satu di antaranya melakukan kekerasan terhadap yang lain.
Menurut pencipta lagunya, lirik dari lagu ini terinspirasi dari banyak orang yang mungkin pernah mengalami hal serupa. Pada lirik berbahasa Inggris tersebut, digambarkan kesulitan untuk keluar dari toxic relationship, namun akhirnya pengalaman tersebut merupakan pelajaran sekaligus seperti kutukan.
Dilansir dari Health Scope, hubungan dalam toxic relationship didominasi oleh perasaan tidak aman, egois, dan keinginan untuk memegang kendali. Kondisi ini tidak dapat diremehkan, karena dapat menyebabkan berbagai risiko serius bagi pasangan yang terlibat.
Dengan kata lain, istilah toxic relationship merujuk pada sebuah hubungan yang ditandai dengan perilaku-perilaku 'beracun' yang merusak fisik maupun emosional diri sendiri maupun pasangan. Jika dalam hubungan yang sehat didominasi oleh kasih sayang, rasa saling menghormati, dan penerimaan, maka toxic relationship adalah kebalikannya.
Pertanyaan selanjutnya, penggambaran yang menyeramkan atas sosok perempuan apakah selaras dengan spirit lagunya? Yakni melawan toxic relationship.
Mitos Hantu Perempuan
Upaya keluar dari hubungan yang disebut toxic relationship yang digambarkan dalam video lagu Lathi yang diperankan oleh perempuan secara sekilas menggambarkan bagaimana perempuan harus mampu keluar dari jeratan tersebut. Dalam kontek masyarakat kita yang cenderung patriarkal menjadi relevan bahwa perempuan harus berusaha keluar dari dominasi laki-laki yang cendrung tidak setara.
Persoalannya kemudian, apakah visualisasi dan respons netizen melalui Lathi Challenge selaras dengan ide tersebut? Wajah seram dan mistisme apakah relevan dijadikan sebagai media menyuarakan hal tersebut?
Bumbu-bumbu mistisme atas produksi lagu dan video tersebut ditegaskan juga oleh Sara Fajira, penyanyi lagu Lathi. Dalam wawancara dengan Youtuber Vandam berjudul 20 Kesaksian Sarah Fajira Bertemu Sosok Tak Terlihat, ia menyatakan, "Saya merasakan sesuatu yang tidak biasa (lokasi shooting), dan memang benar ada (hantu) sosoknya perempuan berambut panjang."
Selain penyanyinya, banyak para netizen atau penggemar lagu tersebut membumbuinya dengan hal serupa yang mengaitkannya dengan kekuatan gaib, Nyai Roro Kidul, cerita zaman dulu dan tradisi Jawa yang keramat serta mistis.
Kehadiran Lathi dengan gambaran perempuan yang menyeramkan bukan hal baru di Indonesia. Meskipun dalam media yang berbeda, film-film Indonesia banyak menceritakan kaitan antara mistisme dan perempuan.
Beberapa film bergenre horor di Indonesia periode 2000-an banyak menampilkan representasi tersebut. Film-film horor perempuan seperti Suzanna, Kutukan Suster Ngesot, Suster Keramas, Suster Keramas, Terowong Rumah Sakit, Kembalinya Suster Gepeng, dan banyak film sejenis lainnya.
Kehadiran hantu perempuan dalam budaya layar di Indonesia tidak lahir di ruang hampa. Contohnya terkait sosok Sundel Bolong dalam mitos Indonesia. Ghaliyah (2018) dalam Jurnal Perempuan mengulas sosok Sundel Bolong yang dapat ditafsirkan sebagai simbol dari perempuan yang tidak diinginkan dan bahkan dianggap menjijikkan melalui penggambaran isi perutnya yang terlihat.
Mitos yang bermula dari film-film horor yang secara berkelanjutan terus dipercaya dan masih menjadi buah bibir masyarakat ini pun bisa dimaknai sebagai penanda tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Selain itu, teror yang dilakukan para arwah gentayangan juga dapat mengartikulasikan betapa rendahnya upaya penegakan hukum di Indonesia terhadap para pelaku.
Jika dicermati lebih dalam, terbentuknya mitos-mitos mengenai hantu perempuan di Indonesia mengindikasikan adanya campur tangan ideologi politik untuk mengendalikan masyarakat dan melanggengkan kekuasaan. Sosok hantu perempuan merupakan langkah strategis untuk membungkam kaum perempuan dan melanggengkan ideologi patriarki.
Melalui wacana yang terus-menerus direproduksi melalui media film, bahasa dan simbol, ideologi patriarki telah mengakar di dalam alam pikiran masyarakat, sehingga tidak mudah untuk diubah, termasuk mengubah tafsir masyarakat terhadap mitos-mitos arwah para perempuan tersakiti tersebut.
Selain itu juga, Hatib Kadir (2017) dalam sebuah artikel menjelaskan mengapa hantu sering kali diperankan oleh perempuan. Di situ dijelaskan bahwa hampir semua struktur kekerabatan di Asia Tenggara dan Jawa bersifat bilineal. Dalam masyarakat bilineal, harta warisan rumah dan urusan domestik biasanya diserahkan kepada anak bungsu atau kepada perempuan.
Oleh karena itu, perempuan sering kali digambarkan menjadi penghuni rumah. Bahkan, kelak hingga mati, ia masih menghantui tata urusan warisan di generasi selanjutnya. Struktur masyarakat tersebut secara tidak sadar menempatkan secara dekat representasi hantu dan perempuan dalam sebuah film.
Dalam konteks yang lain, Stephen Galdwin dalam “Witches, Spells, and Politics: The Horror Films of Indonesia”, dikutip dalam Tirto menjelaskan bahwa banyak kontribusi film horor di Indonesia memiliki pengaruh politis. Bahwa horor, teror, dan ancaman yang dihadirkan tokoh-tokoh hantu atau dukun perempuan yang ada pada 1970-an merupakan elemen pengendali.
Bahwa perempuan yang kuat, berkuasa, dan menakutkan adalah salah, sementara perempuan yang patuh, pendiam, dan penurut merupakan representasi yang benar. Kemunculan hantu perempuan yang kuat dan dominan dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan salah. Hal tersebut jika kita kaitkan dengan sosok Lathi akan menjadi relevan.
Apakah kemunculan Lathi Challege adalah usaha dari menciptakan wacana baru bahwa wacana perempuan yang kuat, berkuasa dan menakutkan adalah benar. Sehingga banyak netizen melakukan hal tersebut. Kita semua bisa menilainya.
Tetapi apa pun itu, sedikit ulasan di atas bisa saja dibantah bahwa gambaran sosok perempuan dalam video dan Lathi Challenge yang sedang marak itu bukan hantu seperti perdebatan saya dengan seorang teman beberapa hari lalu. Tetapi rasanya susah tidak mengaitkan keseraman yang ditunjukkan dalam video dan respons netizen melalui Lathi Challenge-nya ditambah cerita dari penyanyinya langsung dengan representasi hantu.
Sebuah video dan lagu yang berusaha digambarkan untuk melawan toxic relationship bisa jadi kontra produktif dengan tujuannya. Alih-alih melawan, yang ada malah melanggengkan mitos-mitos patriarkal dan mendomestikasi perempuan.