Secara umum sektor transportasi dapat dikelompokkan menjadi tiga moda, salah satunya transportasi udara yang mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal.
Industri penerbangan membuka ruang investasi tetapi juga membawa dampak negatif terhadap lingkungan. Pada tahun 2004, sektor transportasi menghasilkan 6,3 Gton emisi CO2 (sekitar 12 persen dari total dunia).
Sektor transportasi ini dipandang sebagai salah satu sumber emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar secara keseluruhan; mempunyai pangsa sebesar 46 % dari total emisi GRK yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil serta mengeluarkan gas buang yang langsung mengakibatkan efek rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O).
Pengembangan sektor transportasi harus berkelanjutan (sustainability), yaitu melihat jauh ke depan serta berdasarkan perencanaan jangka panjang yang komprehensif dan berwawasan lingkungan.
Dalam konteks industri penerbangan, liberalisasi langit ASEAN sejak tahun 2015 (Single Aviation Market) membawa akibat baik positif maupun negatif bagi lingkungan Indonesia; mendorong peningkatan emisi pada sektor transportasi yang dipengaruhi oleh (i) jarak tempuh atau aktivitas perjalanan; (ii) moda transportasi yang digunakan; dan (iii) kandungan karbon bahan bakar.
Pemanasan global sangat dipengaruhi oleh tindakan manusia yang ditandai dengan kenaikan suhu rata-rata 0,8 Celsius dalam seabad terakhir; salah satunya disebabkan oleh meningkatnya pesawat komersial yang menghasilkan polusi (exhaust gas polution) dan berakibat merusak lapisan ozon.
Peningkatan konsentrasi GRK memicu peningkatan suhu permukaan bumi, karena GRK ini mempunyai sifat menyerap energi panas dari matahari. Alhasil timbullah apa yang disebut efek rumah kaca. Peningkatan suhu permukaan bumi akhir-akhir ini telah menimbulkan perubahan iklim global secara nyata.
Pemanasan global mulai mendapat perhatian serius pada pertengahan tahun 1980 sejak World Meteorological Organization (WMO) melakukan penelitian dan mengeluarkan hasil riset tentang perubahan iklim global. WMO bersama dengan United Nation Environment Programme (UNEP) membentuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988 dan mengusulkan PBB untuk melakukan tindakan guna menanggulangi pemanasan global.
Pada tahun 1991, World Widelife Fund (WWF) berani mendalilkan yang patut dijadikan tersangka utama akan semakin melebarnya lubang lapisan ozon adalah transportasi udara. Mereka menghasilkan polusi NOx yang berakibat fatal bagi lingkungan. Hal tersebut dapat membahayakan integritas dasar sistem ekologi apabila tidak segera ditindaklanjuti (Marhaeni, 2015).
Pada tahun 1992, PBB kemudian mengeluarkan resolusi tentang penanggulangan pemanasan global untuk saat ini dan generasi mendatang. Resolusi ini ditindak lanjuti dengan mengadakan World Summit di Rio de Janeiro tahun 1992. Hasil pertemuan World Summit adalah konvensi di bidang biodiversitas, perubahan iklim, dan Agenda 21. Untuk selanjutnya konvensi perubahan iklim disebut United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Selanjutnya UNFCCC sepakat untuk mengadakan rapat tahunan tingkat menteri yang disebut Conference of the Party (CoP) dan rapat lima tahunan setingkat kepala negara. Beberapa hasil yang penting dari penyelenggaraan CoP dapat dirangkum sebagai berikut.
CoP pertama di Berlin pada (1995) melahirkan mekanisme pendanaan yang disebut Joint Implementation yang dapat dilakukan antar negara-negara maju dan Activities Implemented Jointly antara negara maju dengan negara berkembang. CoP 2 di Genewa (1996) tidak menghasilkan kesepakatan yang berarti.
Baru pada CoP ketiga di Kyoto (1997) dikeluarkan Protokol Kyoto yang mengharuskan negara maju untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 5% dari produksi tahun 1990 pada periode 2008 sampai 2012. CoP 9 yang diadakan di Milan membahas lebih lanjut prosedur pengajuan CDM. Lalu CoP 12 (2006) di Nairobi membahas pendanaan spesial dalam rangka menanggulangi pemanasan global.
Pada pertemuan G-20 di Pittsburgh September (2009), Pemerintah Indonesia mengeluarkan komitmen yang tidak mengikat untuk menurunkan emisi GRK di Indonesia sebesar 26% pada 2020 dengan usaha sendiri dan akan meningkat menjadi 41% apabila ada bantuan dunia internasional. Sektor kehutanan diharapkan dapat menurunkan emisi kurang lebih 14% melalui pengelolaan hutan seperti pencegahan deforestasi, degradasi, kegiatan penanaman kembali serta penurunan jumlah (hot spot) kebakaran hutan.
Sektor energi dan pengelolaan limbah diharapkan dapat menurunkan emisi masing-masing kurang lebih 6%. Pengurangan emisi GRK untuk sektor energi dapat dilakukan dengan memanfaatkan energi baru dan terbarukan serta meningkatkan efisiensi penggunaan energi. Komitmen penurunan emisi GRK tersebut disampaikan kembali pada konferensi perubahan iklim di Kopenhagen pada Desember 2009.
Sejalan dengan komitmen penurunan emisi pada tahun 2020, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) pada Maret 2010. ICCSR memuat strategi sembilan sektor, yaitu kehutanan, energi, industri, transportasi, limbah, pertanian, kelautan dan perikanan, sumber daya air, dan kesehatan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim hingga tahun 2030 ke depan.
ICCSR diharapkan menjadi acuan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Pada September 2011, pemerintah mengeluarkan rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2011. Sesuai peraturan tersebut, pemerintah pusat dan daerah, serta kementerian dan lembaga terkait mendapat tugas dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca atau disebut RAN-GRK; meliputi bidang pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, serta pengolahan limbah.
Dalam Preliminary Report on the International Civil Aviation Organization (ICAO) Resolution on Climate Change pada 8 Oktober 2011, dimana Indonesia turut serta sebagai peserta, telah ditegaskan bahwa negara ini harus mengambil berbagai macam cara dan upaya (developing action plans) untuk menindaklanjuti ICAO Resolution A37-17/2.
Resolusi ini menekankan akan pentingnya jaminan untuk melaksanakan program tersebut secara berkelanjutan untuk mengurangi karbon emisi (carbon emmision) kurang lebih 50% pada tahun 2050.
Ada tujuh jenis GRK yang didefiniskan United Nations Frameworks Convention on Climate Change (UNFCCC), yaitu, CO2 (karbon dioksida), CH4 (metana), N2O (nitrous oxide), HFCs (hidrofluorokarbon), PFCs (perfluorokarbon) dan SF6 (sulfur heksafluorida).
Pemantauan, pelaporan dan verifikasi (monitoring, reporting and verification – MRV) terhadap pengurangan emisi GRK merupakan proses penting dalam RAN GRK. MRV merupakan bagian dari sistem pemantauan dan evaluasi dari aksi mitigasi yang akan diambil oleh negara-negara peratifikasi UNFCCC dibentuk berdasarkan Bali Action Plan.
Konsep MRV dapat dianggap sebagai suatu pelengkap kegiatan dan proses yang diikuti negara untuk memperkirakan emisi GRK, mengembangkan dan melaksanakan aksi mitigasi, dan memonitor dan melaporkan dukungan berbasis finansial, teknologi dan kapasitas yang diterima dari negara lain.
Sebagai upaya untuk menstabilkan konsentrasi GRK, Protokol Kyoto merupakan kunci jawaban permasalahan. Dalam protokol ini terdapat tiga mekanisme pendanaan yang dapat digunakan, yaitu Joint Implementation (JI); Clean Development Mechanism (CDM); dan Emission Trading (ET).
CDM merupakan mekanisme perdagangan karbon yang unik karena menggabungkan kepentingan lingkungan dengan mekanisme perdagangan; artinya menjembatani kepentingan negara maju dengan negara berkembang. Penulis berpendapat bahwa Indonesia sebagai negara berkembang tidak hanya dapat berperan lebih dengan mengikuti mekanisme CDM secara sukarela.
Lebih jauh, kita harus berkomitmen penuh dalam melakukan tindakan nyata untuk mengurangi emisi GRK pada sektor transportasi dengan cara (i) mengurangi emisi per kilometer; (ii) mengurangi emisi per unit transportasi; dan (iii) mengurangi jarak atau jumlah perjalanan.