Tahun 2020, saya mengumpulkan beberapa esai seputas kebahasaan. Akhirnya saya putuskan menjadi buku kumpulan esai bertajuk Langgas Berbahasa. Buku ini memberikan perspektif baru seputar isu-isu kebahasaan. Salah satunya adalah esai bertajuk "Langgas Berbahasa Indonesia". Berikut saya kutip:
Perlu digarisbawahi, kemiripan dan kedekatan makna, bukan kesamaan makna. Artinya, sinonim bukan berarti sama persis. Karena bisa jadi kata-kata yang bersinonim tersebut dalam konteks kalimat tertentu tidak bisa dipertukarkan satu sama lainnya.
Jadi, apa yang dimaksud dengan langgas dalam berbahasa Indonesia? Tidak perlu rumit-rumit memikirkannya. Sebab, berbahasa itu ya memang sejatinya bebas, merdeka, tidak terikat. Itulah sebabnya bahasa Indonesia, bahasa yang demokratis alias terbuka.
Maka, di dalam berbahasa Indonesia ada kebebasan bagi penuturnya. Ditambah lagi, bahasa juga bersifat manasuka, suka-suka hati. Makin bebaslah kita berbahasa. Tak perlu takut salah atau disalahkan. Tak perlu takut dimusuhi. Tak perlu juga merasa takut untuk berkata-kata dengan bahasa Indonesia.
Nah, barang kali prinsip kebebasan ini yang kemudian disalahartikan oleh sebagian penutur. Yang kemudian lebih memilih menggunakan bahasa Inggris ataupun bahasa asing lainnya dalam berkomunikasi. Tentu tak ada salahnya menggunakan bahasa asing, selama itu dalam konteks, situasi, dan pada lawan bicara yang tepat.
Tidak lucu bila tinggal di perkampungan atau permukiman pinggiran kota, yang notebene tidak ada orang asing tinggal di sana, tapi kita malah gemar menggunakan bahasa asing? Baik itu dalam komunikasi sehari-hari ataupun di media sosial. Ini namanya tidak tepat sasaran dan tidak proporsional.
Di sisi lain, penggunaan bahasa asing juga mesti taat terhadap kaidahnya. Kadang kala kita dengan sadar memerkosa bahasa dengan alasan bahasa bersifat manasuka, suka-suka hati. Maka, kemudian muncullah ungkapan “es daganganku laku ber-cup-cup”. Bila kita tinjau lagi, apa iya bahasa Inggris punya pola reduplikasi semacam “cup-cup”?
Bentuk jamak dari cup, dalam bahasa Inggris adalah dengan menambahkan husuf s di belakangnya. Jadi, cups. Menghindari pemerkosaan bahasa semacam begini, baiknya kita gunakan saja bahasa Indonesia secara utuh dalam ungkapan itu, “es daganganku laku bergelas-gelas”. Yang artinya “laku banyak sampai begelas-gelas”.
Di sisi lain, sebagian masyarakat kita kerap merasa minder ketika menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dianggap kaku, kebangetan resmi, kuno, dan tidak gaul. Jadi, pilihan penggunaan bahasa asing menjadi kian menguat.
Memang, kita tak boleh telalu alergi terhadap bahasa asing. Sebab, bahasa Indonesia sendiri terbentuk dari ragam bahasa asing. Mulai dari Arab, Sanskerta, Belanda, dan Inggris. Banyak kosakata yang merupakan hasil serapan diambil dari bahasa-bahasa tersebut, di samping juga dari bahasa daerah.
Namun, jangan sampai hal itu membuat kita minder dan kehilangan jati diri kebahasaan kita. Bukankah persepsi yang demikian itu kita sendiri yang membuatnya? Kita sendiri yang membuat diri kita minder. Kita sendiri yang membuat seolah-olah bahasa asing lebih keren dari bahasa Indonesia.
Menurut saya, untuk terbebas dari rasa minder itu, pertama-tama perlu kita sepakati bersama bahwa menggunakan bahasa Indonesia adalah suatu kebanggaan. Bahasa adalah jiwa dan jati diri bangsa. Bahasa adalah cerminan penuturnya. Sebagai penutur suatu bahasa, kita mesti bangga dengan bahasa Indonesia.
Kedua, berbahasa Indonesia yang baik dan benar bukan berarti harus menggunakan kata-kata baku dalam berbagai kesempatan. Jangan sampai, dalam situasi santai, semisal ngopi dengan adik-adik mahasiswa di kantin belakang, kita malah berbahasa resmi.
Percayalah, bukan atensi yang kita dapat. Bisa-bisa julukan ‘pejabat’ atau ‘pak lurah’ mendarat di diri kita lantaran mengobrol dengan bahasa resmi layaknya sambutan pejabat kelurahan.
Sebagai penutur kita mesti cerdas dan memahami proporsi antara penggunaan bahasa resmi dengan bahasa sehari-hari. Berbahasalah dengan lebih dulu melihat situasi, latar, dan audiensnya.
Ketiga, kita juga mesti memahami kaidah berbahasa. Langgas dalam berbahasa bukan berarti kita mengesampingkan kaidah bahasa. Kaidah bahasa itu menyangkut ejaan, penyebutan, penulisan, titik-koma, struktur kalimat, dan sebagainya. Kadang hal ini memang dianggap remeh padahal penting sekali.
Percayalah, paragraf yang anda buat tanpa tanda titik dan koma bakal membuat pembaca ngos-ngosan saat membacanya. Selain itu, kalimat yang tidak terstruktur dengan baik juga bisa menimbulkan kegagalan komunikasi yang fatal.
Jadi, kebebasan dalam berbahasa adalah kebebasan yang dibatasi oleh kaidah dan tata bahasa itu sendiri. Karena kedua hal itu yang jadi penentu pesan yang disampaikan sangkil atau tidak.
Depok, 26 Agustus 2020
Identitas Buku
Judul: Langgas Berbahasa, Obrolan Santai tentang Bahasa Indonesia dan Penuturnya
Penulis: Ahmad Soleh
Penerbit: Haura
Tahun Terbit: 2020
Tebal: 113 halaman