Di kedai kopi di rahim kota
kita meneguk bergelas-gelas kantuk, lantas tertawa terbahak-bahak.
Tuhan bersenda-gurau dengan cecak di saku baju seorang bocah
yang melipat puisi ke dalam musim kemarau di perutnya.
Aku melempar tangis ke emperan jalan
kau bermain petak umpat dengan para tualang.
“Matilah, bayang-bayang di tubuh pertapa.
Dan kita saksikan mayat-mayat tinta berbaring
di pinggir trotoar”
ucapmu, kemudian mengusir waktu.
Diam-diam aku mengintip riwayat wajahmu.
Sungai berontak di kening. Banjir.
Menenggelamkan catatan perjalanan. Dan makam
berakar doa, aku ingin pulang sebagai seorang anak.
Di kedai kopi, kita mendurhaka.
Menjelma Malin Kundang.
Disaksikan kunang-kunang bernafas khidmat, perahu bertolak
dan kita bersujud di telapak tangan Ibu.
Tuan
Almanak tua, di akar februari: narasi hujan.
Kekanak puisi berlarian. Denai mungil, mengusili petrichor.
Tuan
Di ladangmu aku membatinkan redih rindu
berselubung sajak, menyirami luka angin
sementara dedaun tumbang, malu-malu aku berdoa:
Tuhan
sediakan air ‘tuk membakar api
sediakan api ‘tuk membasahi air.
Pertalian waktu, berlangit kata-kata mengikat jari: peterana.
Bocah-bocah syair menari. Redap ditabuh, seruling bersiul.
Tuan
Berilah petuah.
Di perkamenmu aku menitipkan hikayat
pernikahan gerimis berbahasa hujan.
Sebagaimana bayi berpayung di nadi ibunya
aku ingin menafsir arah musafir atas keledai yang
diikatnya pada sebatang nama.
Tuan
dia itu, puitis sekaligus prosais.