Mecintaimu adalah perihal alamiah yang takarannya tak mungkin dengan mudah dikalkulasi. Kau bisa saja merenggut karang dari dasar laut, tapi tidak dengan menerka-nerka isi hatiku.
Jadi berhentilah mengira-ngira. Keterangan ini aku tulis berdasarkan rujukan dari terik mentari yang membakar, kemarau menggugurkan segala yang menumbuh, padi di sawah, cengkeh, pala, merica, dan kelapa di kebun, serta aku dan segala kenangan di hatimu.
Veni, nama itu aku temui saat menggeledah akun media sosial milikmu. Maaf, belakangan aku baru menyadari akan nama lengkapmu yang begitu panjang dan tak sesederhana senyum dari deretan putih gigi juga lesung pipi di pipimu yang selalu aku ingat sebelum tidur. Semoga kau sehat selalu dalam lindungan tuhan.
Pernah sebelumnya aku menuliskan beberapa peringatan, “Aku mencintaimu.” Entah kalimat singkat bermakna ganda itu sampai di hatimu atau hanya sekadar singgah di kaca mata minus yang kau letakkan sebagai tameng kedua bola mata indah di wajahmu itu.
Tetapi benar, dari sekian banyak perempuan yang aku cinta, kau salah satunya. Mengertilah. Memang kesetiaan tak selalu bermakna tunggal.
Pada tahun 2015 lalu, kala itu, kau masih mahasiswa baru dan aku sudah menanjak menapaki semester akhir. Kita mula-mula bukan siapa-siapa dalam kerumunan jumlah yang tak sedikit.
Tetapi yang membuat aku bingung, kenapa mesti mataku tertuju padamu? Apa yang menarik dari wajahmu selain kecantikan yang semua orang tentunya mengakui itu?
Lelaki harus komitmen, sebab perempuan butuh kepastian, katamu. Bukan soal, aku mengerti perasaan perempuan. Nyaris tak ada perempuan yang ingin diduakan.
Tetapi hati lelaki juga nyaris tak ada yang bisa menerima kenyataan, di mana mencintai tak sepatutnya dua perempuan.
Dihadapkan pada beberapa pertanyaan, aku jadi bingung mau berbuat apa, kecuali menulis surat atau lebih kepada pernyataan ini. Veni, lama-lama rasanya aku benar-benar jatuh hati dan ingin memilikimu seutuhnya. Tetapi dengan cara apa?
Lantaran hatiku diwarnai oleh bunga-bunga yang entah sumbernya dari daerah mana saja. Tak ada yang benar-benar tumbuh. Mekar dan wanginya pun tak begitu memikat. Hanya saja, aku memang suka banyak bunga, bahkan sebelum aku dilahirkan.
Adalah taman yang dibangun oleh rinduku di setiap sudutnya sudah penuh bunga. Kau bunga dengan warna merah jingga, juga belum kunamai. Sementara bunga lainnya ikut melekat dalam pekarangan. Aku bingung pilih mana. Namun, tetap saja aku nyaman dengan banyak bunga.
Bila tiba waktunya, kau tetap bersikukuh ingin pergi karena tak nyaman dengan bunga lainnya, apa boleh buat. Memaksamu hanya menikam dadaku sendiri, walau membiarkanmu merupakan penggalian kuburanku juga.
Perlu kau ketahui, bahwa memisahkan diriku dari wujudmu adalah juga jalan menuju kematian. Atau mungkin itu yang semula kau butuh?
“Setiap orang berhak mencintai,” kau kata dengan santainya. Hak adalah bukan kewajiban, tetapi ada harapan dalam setiap hak yang tidak terpenuhi.
Aku memang bukan aktivis hak asasi manusia, tapi aku juga punya hak agar aku mencintaimu, dan harusnya kau tak mencintai yang lain.
“Aku tak suka basa-basi itu. Aku mau langsung menikah,” tegasmu di hadapanku saat kusuguhkan secangkir kopi di kantin kampus.
“Menikah bukan kompetisi, tetapi tanggung-jawab.” Mungkin kau masih ingat kalimat singkatku kala percakapan kita bulan lalu.
Menikah bukan hanya akibat saling cinta semata, melainkan ada tugas dan amanah yang demikian besar akan dipikul oleh keduanya. Karena itulah gunung, lautan, langit, dan bumi dicipta. Agar manusia mengerti akan hidup yang bukan hanya tentang keluarga.
Selain itu, kau juga tak menyukai lelaki yang menyimpan banyak perempuan di hatinya. Kau bahkan menyumpah-serapahi. “Pengecut,” cetusmu.
Padahal perempuan membungkam, tak banyak mengumbar isi hatinya pada lelaki, hanya karena hukum moral. Tidak dalam bentuk kata-kata, tetapi juga lewat polesan wajah. Jujur saja.
Bunga-bunga di teras halaman hatiku tetap akan terawat, hingga semua berbunga mekar dan wangi. Tak ada salah pada cinta yang mengakar dan menjulur banyak, selagi ruang kosong telah disiapkan, sebagai tempat kepatahan kelak bermukim. Laksana burung selalu akan turun kembali, setinggi apa pun ia terbang.
“Kurang ajar,” katamu. Sebelum tertawa, aku terlebih dulu mengingatkan, keadilan tak mungkin bisa menjadi landasan teori bila tidak pernah diuji secara materiel.
Selain mencintaimu dengan pasti, ini juga ujian materiel untuk membenarkan akan kelakuanku yang kemungkinan besar juga bisa berlaku adil.
Kebodohan selalu menyertai perasaan. Kau tak suka tinggal, pun enggan tuk pergi. Atau kau mau tinggal, hanya saja ragu-ragu dan atau mungkin malu disebabkan hukum moral di negeri kita yang terlalu kaku?
Sudahlah. Bila kau ingin tinggal, tinggal saja. Bunga-bunga yang lain tentu akan makin senang bila kau menetap. Karenanya, tak ada lagi sepi yang perlu memaksa mereka menepi.
Tetapi bila kau tetap memaksa, aku dengan terkapar ambisi, teruntuk kedua orang yang membesarkanku, terpaksa menikahimu. Namun, dengan seperangkat alat berat dan sederet kemiskinan sebagai maharnya.
Apakah keluargamu akan terima? Aku rasa tidak.
Jadi, begini saja, kita adalah sepasang kata yang beku ditinggal kemarau dan sedang haus dalam kesedihan menunggu air mata.