Keberhasilan dalam mendidik siswa merupakan impian setiap guru serta jika melihat tujuan pendidikan yang termaktub dalam UU No. 20 tentang sisdiknas, maka akan dapat diketahui bahwa prioritas utama dalam dunia pendidikan adalah keberhasilan guru dalam mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa mampu mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, kecerdasan, akhlak mulia, dan memiliki kepribadian yang baik.

Sudah banyak sekali upaya yang ditempuh oleh para akademisi, guna meningkatkan motivasi belajar siswa, meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran, serta para akademisi juga sudah membuatkan metodologi-metodologi pembelajaran yang tujuannya agar memudahkan guru untuk mencapai keberhasilan dalam mengajar, namun sejauh ini kualitas pendidikan dan kualitas pemahaman siswa masih hanya berhenti pada tataran kata-kata saja.

Dari fenomena tersebut muncul spekulasi-spekulasi yang dapat dikatakan kurang relevan, seperti spekulasi yang mengatakan bahwa tidak tercapainya tujuan pendidikan disebabkan karena faktor guru yang kurang professional, faktor guru yang tidak tepat dalam menentukan media pembelajaran, atau faktor guru yang kurang memiliki wawasan. 

Pada dasarnya di dalam literatur-literatur pendidikan memang dijelaskan bahwa adanya guru yang profesional merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pendidikan.

Berbagai literatur-literatur pendidikan esensinya tetap sama, kesemuanya berspekulasi bahwa guru yang profesional merupakan faktor utama penyebab keberhasilan dalam pendidikan. 

Pendidik atau guru selalu dituntut untuk harus memiliki kompetensi dasar, seperti kemampuan pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. Selain daripada itu guru juga dituntut untuk disiplin, menggunakan pakaian yang layak, dan berbau harum.

Kesemua tuntutan dan aturan yang diberikan kepada guru memang pada dasarnya tidak dapat dipertentangkan lagi, karena guru merupakan figure utama yang memiliki peran sangat krusial di dalam dunia pendidikan, namun terdapat hal yang lebih urgen lagi dari semua itu, yakni sesuatu yang dapat menjadi pendorong guru agar lebih giat, profesional, dan disiplin dalam mengajar. Lantas apakah sesuatu yang dapat menjadi pendorong para pendidik tersebut?

Untuk menjawab hal itu, perlu ditekankan terlebih dahulu kepada seluruh delegasi yang ikut andil dalam pendidikan, yakni kesemuanya harus sepakat terlebih dahulu bahwa guru adalah manusia yang memiliki kebutuhan dan memiliki kecenderungan sebagaimana manusia pada umumnya. 

Sejauh ini segala bentuk literatur-literatur pendidikan hanya berfokus tentang bagaimana cara meningkatkan motivasi belajar siswa dan metode mengajar apa yang harus digunakan oleh guru agar peserta didik semangat untuk belajar, namun belum ada sebuah kajian yang berfokus pada dampak pemberian finansial guru dalam meningkatkan sikap profesional guru dalam mengajar.

Semboyan yang terkenal dari dulu hingga sekarang tentang guru adalah, guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa, namun dewasa ini semboyan tersebut dapat dikatakan hanya sebuah kata-kata Mutiara saja, karena pada realitanya seseorang yang bercita-cita untuk menjadi guru justru menjadikan peran guru sebagai sebuah pekerjaan. 

Artinya jika pekerjaan tersebut tidak menghasilkan nilai finansial yang cukup setara dengan peran berat yang diembannya, maka secara otomatis kualitas pekerjaan pun akan menurun.

Hal tersebut dapat dilihat pada realitas di lapangan, bahwa pada umumnya guru yang mengajar di sekolah-sekolah negeri, mereka cenderung memiliki sikap profesionalisme yang tinggi dibanding dengan guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah swasta yang hanya mendapatkan nilai finansial yang jauh dari kata setara, yakni berkisar Rp. 12.000 sampai Rp. 15.000/ jam. 

Jika keadaan tersebut dibalik, yakni guru yang mengajar di sekolah negeri di pindah ke sekolah swasta dengan gaji perjam tersebut, maka dapat dipastikan tingkat profesionalitas guru-guru tersebut akan berubah.

Logika sederhananya demikian, guru honorer mengajar di sekolah yang lokasinya jauh dari tempat ia mengajar, lalu ia tidak memiliki biaya transportasi yang cukup, maka guru tersebut akan cenderung tidak berangkat. 

Terlebih jika mereka dituntut untuk harus berpenampilan keren layaknya guru-guru jaman sekarang dan ketika mereka tidak mampu untuk memenuhi hal tersebut, maka ia akan cenderung canggung ketika mengajar dan otomatis keadaan demikian akan membuat kinerja guru dalam pendidikan akan berkurang.

Hal ini berbeda jauh dengan guru-guru yang memiliki gaji dengan nominal yang sangat fantastis, seperti guru-guru PNS, mereka cenderung disiplin dan profesional, metode mengajar pun nampak jelas, media pengajaran dan pembelajarannya pun nampak jelas juga. 

Hal ini disebabkan, karena ia tidak lagi memikirkan bagaimana ia mendapatkan biaya transportasi, biaya beli baju-baju keren, dan biaya untuk membeli sesuatu yang dapat mendukung kinerjanya. 

Melihat dari pemaparan di atas, maka dapat dimengerti jika guru sudah mendapatkan sebuah kesejahteraan dalam mengajar, maka sikap profesionalitas akan muncul pada diri seorang pendidik dan kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki seorang pendidik, seperti pedagogic, professional, kepribadian, dan sosial akan cenderung mudah untuk dikuasai.

Seorang pepatah pernah mengatakan “di dunia ini uang bukanlah segalanya, namun di dunia ini segalanya butuh uang”. Sekali lagi ke semua pihak memang harus sepakat terlebih dahulu bahwa guru adalah manusia biasa yang memiliki kebutuhan layaknya manusia pada umumnya, ia bukan  malaikat yang tidak membutuhkan embel-embel apapun untuk mengerjakan tugas-tugasnya. 

Masalah finansial yang setara dengan kerja beratnya diatas pada dasarnya sudah direncanakan dan diaplikasikan oleh para pemerintah yang bertanggung jawab dalam dunia pendidikan, seperti memberi kuota P3K bagi para guru honorer, namun sejauh ini implementasi nya  hanya sedikit saja guru honorer yang dapat merasakannya, bahkan masih banyak guru-guru honorer yang sudah memiliki ijazah S1 namun P3K tidak kunjung juga berpihak padanya dan pada akhirnya situasi tersebut berdampak pada kegiatan belajar yang kurang efektif.

Dari sinilah benang merah tersebut akan terlihat, bahwa berhasil atau tidaknya guru dalam mendidik siswanya bukan hanya ditentukan oleh kemampuan-kemampuan dasar menjadi guru, seperti kemampuan pedagogik, kemampuan kepribadian, kemampuan sosial, dan kemampuan professional saja, serta bukan hanya ditentukan oleh metode-metode tertentu, melainkan terdapat satu hal yang lebih krusial lagi, yakni sesuatu yang dapat menjadi pendorong guru tersebut untuk mencapai komponen-komponen diatas, suatu tersebut tiada lain adalah nilai finansial yang setara dengan kerja beratnya.