Terima kasih pada Marie Kondo yang telah mengajarkan konsep penyortiran barang-barang dengan bertanya pada diri sendiri, "does it spark joy?"
Setelah melakukannya, termasuk pada buku, saya jadi "merasa bersalah" punya buku sebanyak itu. Saya kemudian lega ketika hanya menyisakan beberapa.
Saya banyak menemukan orang-orang post koleksi buku mereka yang banyak banget. Tentu ini baik. Tidak baiknya adalah, tidak sedikit pula yang beli, tidak dibaca (dengan alasan tidak sempat dan lain-lain), tetapi beberapa waktu kemudian beli buku lain lagi dan tidak dibaca lagi. Ini sih yang tidak baik.
Pertama, beli buku itu pakai duit. Kedua, buku itu dari kertas; kertas dibuat dari serat kayu. Pengetahuan yang kita baca itu mengorbankan banyak pohon dari dunia yang panas banget ini. Terus, ketika punya banyak buku, tidak dibacaa?
Slogan-slogan macam "buku adalah jendela dunia" atau pemikiran baca buku bikin open minded itu tidak salah sebenarnya. Tetapi kalau tidak disikapi dengan bijak, jadi bikin kita tidak merasa bersalah amat ketika kita beli buku banyak-banyak namun banyak juga yang tidak dibaca.
Solusinya? Kalau tidak mau mengubah kebiasaan beli buku banyak-banyak karena banyak duit, belilah e-book. Tetapi lebih baik lagi kalau membatasi. Caranya? Atur fokus. Sebulan, beli cukup 2. Mau yang bagus ada 5 kek, ya pilih 2 yang paling bagus.
Selesaikan buku yang sudah dimiliki sebelum beli buku baru lagi. Terus, fokus juga pada genrenya. Misal, saya lagi tidak bisa baca buku tebal-tebal dan lagi belajar memperdalam puisi, jadi fokus saya di buku kumpulan puisi.
Take a (long) break sama buku-buku non-fiksi yang keren, menarik, tapi sebenarnya tidak dekat. Misal, buku-buku macam Sapiens, Sejarah Tuhan, dan sejenisnya. Tidak dekat dalam artian, ya saya habis baca terus saya dapet apa? Bahan buat diskusi? Emang seberapa sering sih diskusi serius itu ada?
Mungkin, di usia dewasa, kamu juga akan perlu baca buku-buku non-fiksi. Maka coba atur: boleh beli 3 buku, tapi harus ada yang non-fiksi. Jangan novel semua, komik semua, atau kumpulan cerpen semua.
Terus, jangan impulsif! Kebiasaan yang saya lakukan, kalau saya tertarik beli buku, biasanya saya akan tahan dulu, keliling dulu ke rak-rak yang lain. Kalau saya balik ke 1 buku yang sama lebih dari 3 kali (dan pas ada duit tentunya), baru saya beli
Alternatif lain, baca ke perpustakaan atau pinjam punya teman. I know owning books somehow makes us feel cool but... in what way? Banyak kok di antara kita yang tidak akan baca ulang buku yang sama. Nah, tapi kalau dari awal sudah yakin bakal baca ulang, bolehlah; gak apa-apa beli
Setelah saya sortir, sisanya segini. Yang disumbangkan ada 3 kardus. Ya saya jadi mikir dong, "saya tidak bisa nih beli buku terus just because they're interesting." Maka saya terapkanlah aturan-aturan di atas.
Bahkan komik saja saya batasin. Padahal saya suka Haikyuu, Shaman King dirilis ulang, Death Note juga punya lengkap semua. Tapi yang paling sparks joy itu One Piece dan Bakuman. Jadi saya cuma meneruskan beli One Piece (versi VIZ) dan mempertahankan Bakuman yang sudah tamat.
Paling penting untuk ditekankan adalah make sure you know the difference between the obsession of the books or the obsession of buying/owning the books. "Obsesi" pada buku itu, kamu suka banget sampai cepat habis bacanya, bahkan sampai baca ulang.
Obsesi pada membeli atau memiliki buku itu, ya udah kamu beli doang, tapi (sebagian besarnya) tidak dibaca (sampai selesai). Makanya saya beri judul tulisan ini "Kultur Mengoleksi Buku yang Tidak Sehat", bukan "Kultur Membaca yang Tidak Sehat" (well, itu juga mungkin ada sih).
Buku itu ada untuk dibaca, dipahami, dan kadang juga sebagai sumber inspirasi dalam menjalani kehidupan. Buku itu sesungguhnya bukan barang koleksi. Hanya karena ini buku, bukan berarti mengoleksi dalam jumlah banyak itu hal baik. Ingat, ada banyak duit dan pohon yang dikorbankan.
Sebagai penutup, inilah buku (termasuk komik) favorit saya: Supernova Series, trilogi Parasit Lajang, Laut Bercerita, One Piece, My Brother's Husband, The Great Fairy Ritual, Milk & Honey, The Sun and Her Flower, Quiet: the Power of Introvert in the World That Can't Stop Talking.
Aroma Karsa, Leah on the Off Beat, Conversations with God (versi bahasa Indonesia yang saya punya, setahu saya sudah tidak ada di mana-mana). Well, basically, ini hampir semua buku yang saya punya sih. Anyway, they're all worth to read (and own). Silakan dipertimbangkan untuk dibaca.
Eh, lupa. Satu lagi buku favorit saya, judulnya Poetry 101. Tentang puisi dari masa ke masa. Dari awal dikenal, sampai ke era spoken word, slam poetry, dan insta poet. Dari era sebelum Shakespeare sampai Rupi Kaur.