Ada yang menguliti lembaran malam
Ia sebut bulan sama berartinya bintang
Kisahnya kasih nan gigih
“Sehabis gelap terbitlah terang”
Kasih sepanjang datang
Hilang satu beribu kau berbilang
Aku tetap takjub padanya yang bilang :
“Ambil nafasku untukmu sayang”
O, perempuan-perempuan
Ada yang bilang penipuan-penipuan
Bukankah mereka saling berjuang
Persembahkan menang?
Padanya api membakar penuh abu
Membangun sepilu rindu
Berkasih seindah syahdu
Memberi setulus ibu
Bagi pengagum kartini kan lahir kembali
Karna cinta belumlah mati
Sebab lelaki berjuang
Sebab semuanya ingin terang
Memberi bara tungku yang lama dingin
Membakar dan pelan abadi
Tanpa api kayu tak jadi abu
Kulihat kartini di sini
Berharap selamat
Tidaklah sealim ulama melantunkan doa
Dalam bisik penuh iya, mengaku lemah
Cuma Tuhan adalah Pendengar terbaik
Dengarkan lirih penuh ketakutan
"Ijabahlah ini Tuhan
Engkau mengetahui pasti
Siapa lagi yang akan mengabdi
Jika seisi bumi mati"
Ada rengek yang tak kunjung henti
Melihat sesama telah mati
Dalam luka teramat perih
Seperti terobek hati sendiri ku pinta
sepenuh harap, sedalam malam
"Sudahi ini, kami tidak tahu mereka pasti
Jika ini pertanda dunia akan abadi
Berilah kami penguat hati
Bukankah Engka Maha Penyayang, Maha pengasih”
Aku percayai
Tidak banyak bisa kutulis
Sesederhana cinta
Seperti halnya perokok,
Tiada satu diantara mereka akan berhenti
Mengisap dan menghembus
Membakar jadi abu abadi
Bahkan pada senyuman nona sekalipun
Bukan alasan berhenti
O, Agung kuasa Tuhan
Kulihat mereka seolah tidak berbunyi
Tertunduk malu dan patuh
Sepakat bakar rokok setelah beduk
Dan sudahi ketika imsak
Aku tidak tahu pasti,
Tapi Ramadhan itu puitis
Kasih suci nan putih Ilahi Robbi
Tidak tahu pasti
Tidak ada yang tahu pasti
Ternyata ia melebihi kisah asmara
Ada yang bergejolak tapi tidak tampak
Ada yang menyiksa tapi tidak berteriak
Di mana kau berada? Dari mana kau datang?
Tidak kudengar tapak kakimu lekang
Termangu semua mengurung diri
Tutup pintu, jendela, dan tidak pergi
Taman kanak-kanak tutup
Mercusuar mati, ada gelap yang lebih galat
Sementara keberadaanmu tidak tahu pasti
Atau adalah ulah kesengajaan
Sebagai upah besar kelengahan
Beritahu kepedulian kasih anak bini
Seperti menjaga keselamatan bersama
Dunia telah sibuk atas egomu itu
Ufuk seujung heboh dengan menara masjid
Seisi Azan menjadi tangisan bilal
Pada teriakan ibu-ibu minta makan
Di rumah makan hati di luar akan mati
Apa sebaiknya gantung diri?
Supaya berkurang kematian Corona
Tapi telah mati karena
Kecewa
kebanyakan mereka memilih berpura-pura
Merekah perjumpaan, rekayasa tanpa alur kasat mata
Bagaimana dengan yang tertimpa bencana?
Apa sebaiknya berdrama saja?
Dalam percintaan bukankah indah
Tontonan nilai-nilai Estetika
Demi gembira, tiadakan kata siapa
Mengapa berjumpa, berpapasan dengan tidak suka
Jika akhirnya mengulum duka
"terdiam dan luka"
Atau ada yang telah mendahului
Sebelum hujan jatuh berkali kali
Tanpa peduli tetap ludahi bumi
Seperti awan yang mendung
Seperti sebab sore adanya pelangi
Menghias indah di langit bumi
Sejuk berhias warna warni
Dahului hujan yang turun
Semua karena wanita
Kenapa wanita butuh cermin?
Menatap yang lama pada tubuh sendiri
Membanding dan bersolek
Perihal tampak adalah mencolok
Karena wanita, semuanya atas mereka
Lekuk tubuh yang menyimpan rahasia
Keindahan di mata panah pemburu
Petaka di hati yang ragu-ragu
Derap bibir penuh isyarat
Pinta dan kebenaran
Meminta kepastian pasti
Membenar dalih seperti lidah ibu
Daya dan upaya tidak kasat mata
Antara dosa dan pahala
Membiru mata pujangga
Merunduk hati menghamba
Luka cinta
Jangan menaruh api dalam sekam
Sebab semua tentu tidak menyangka
Ada yang tidak tampak tapi menyiksa
“seperti bara cinta”
Setiap hari dirayu angin sepoi
Serta merta lembut membelai
Tidak pernah tahu apa bersamanya
Ada yang tidak tahu
Seperti sejuk yang lagi menipu
Bisa saja pohon tumpangan jadi tumbang
Bisa saja dinding tebing robohkan jurang
Ada yang tertipu di situ
Tapi akulah yang selalu takjub pada wanita
Tersenyum mengulum luka
Mereka berkata:
“Menangis tanpa suara itu pedih”