Tulisan ini merupakan refleksi dari pengalaman Kuliah Kerja Nyata (Kukerta) mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Auliaurrasyidin Tembilahan 2020. Kukerta ini berlangsung selama 50 hari, terhitung sejak 24 Agustus hingga 12 Oktober 2020. Meski dilaksanakan pada masa pandemi covid-19, Kukerta ini berjalan normal dan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Saya menyebarkan angket online, dengan mengandalkan aplikasi Google Form yang berisi sabuah pertanyaan: “Ceritakan pengalaman anda selama Kukerta!” Angket ini saya sebarkan secara acak, namun terbatas untuk mahasiswa yang baru menyelesaikan Kukerta 2020.
Mahasiswa sangat antusias sekali menjawab angket tersebut, namun sekali lagi perlu pembatasan jumlah responden, sehingga dicukupkan hanya sebanyak 50 orang mahasiswa. Jawaban dari 50 responden inilah yang akan diulas dalam tulisan ini.
Seperti ragam latar belakang program studi mahasiswa, ada yang dari PGMI (Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah), PAI (Pendidikan Agama Islam), PIAUD (Pendidikan Islam Anak Usia Dini), dan ESY (Ekonomi Syariah). Hasil jawaban mereka juga sangat bervariatif. Begitu pula dengan kompleks dan ringkasnya jawaban, substansial dan remeh temehnya jawaban.
Kendati demikian, pengalaman mereka secara umum dapat dipetakan menjadi dua bagian besar, pengalaman yang sifatnya eksternal dan internal:
Pengalaman yang sifatnya eksternal
Pengalaman eksternal ini diperoleh karena adanya interaksi dan pendekatan antaranggota atau kelompok Kukerta dengan masyarakat tempatan di lokasi Kukerta (Kuliah Kerja Nyata).
Pertama, keberterimaan masyarakat. Kukerta menjadikan mahasiswa terjun langsung ke masyarakat dan lingkungan serba baru yang berbeda dengan tempat tinggal mereka sebelumnya. Mereka tidak mengenal orang lain lebih banyak. Keadaan yang demikian melatih mahasiswa untuk dapat beradaptasi, menjalin komunikasi, serta berinteraksi secara fisik dan emosional, tanpa mengabaikan protokol covid, seperti mencuci tangan dan mengenakan masker.
Tidak sedikit mahasiswa yang menceritakan bahwa pada awalnya mereka sulit untuk berbaur, tetapi seiring perjalanannya waktu keadaan menjadi sangat bersahabat. Mereka memahami triknya. Masyarakat akan ramah bila mereka menjaga sopan santun dan turut membersamaai kegiatan mereka.
Kendati wabah pandemi masih melanda, tidak jarang ada beberapa mahasiswa yang terlibat aktif membantu pelayanan administrasi di kantor desa, membantu guru-guru di sekolah, bahkan turut bercocok tanam dan memanen hasil pertanian. Mereka juga terlibat aktif dalam kegiatan olahraga dengan pemuda dan kegiatan ibadah di masjid.
Usaha-usaha mahasiswa Kukerta tersebut sebagai bagian dari pola interaksi formal dan non-formal, juga melingkupi interaksi yang didasari rasa religiusitas dan sportifitas.
Kedua, kedekatan dengan anak-anak di sekitar tempat Kukerta. Tampaknya ini menjadi target dan sasaran utama kebanyakan mahasiswa yang sedang Kukerta. Sehingga sering kali anak-anak usia Sekolah Dasar antusias bermain dan belajar di Posko Kukerta.
Bahkan Posko Kukerta seolah berubah menjadi “Home Schooling”, ada anak-anak yang mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) yang ditugaskan oleh guru di sekolah, ada yang les privat lintas disiplin mata pelajaran, dan ada yang belajar mengaji Alquran. Benar-benar sangat kompleks.
Beberapa orang mahasiswa Kukerta berhasil mengamati perkembangan afektif dan kognitif anak-anak usia sekolah tersebut. Perkembangan positif ditunjukkan dari hasil pembelajaran mereka di sekolah lebih meningkat di banding sebelum kedatangan mahasiswa Kukerta.
Perubahan positif hendaknya dipertahankan, sehingga Kukerta bukan sekadar ajang musiman. Setelah mahasiswa tidak Kukerta, hasil belajar dan semangat belajar anak-anak menjadi menurun. Ini bagian yang perlu diperhatikan secara serius.
Ketiga, bertemu dan “mendapat” keluarga baru di tempat Kukerta. Ada seorang mahasiswa yang mengaku berkenalan dengan salah seorang masyarakat yang ternyata merupakan keluarga atau orang yang memiliki pertalian darah dengan dirinya. Tentu saja ini bagian dari sisi positif Kukerta. Antarindividu anggota Kukerta akhirnya dapat menyambungkan kembali hubungan silaturahim dengan keluarganya di lokasi Kukerta.
Maski Kukerta hanya berlangsung 50 hari, mahasiswa Kukerta yang memang secara pertalian darah tidak memiliki hubungan sama sekali seolah mendapat keluarga baru di lokasi mereka Kukerta. Tidak jarang lahirnya istilah “induk semang” (orang tua angkat) di tempat Kukerta, sehingga dengan hati terbuka mereka menerima kehadiran mahasiswa layaknya anak mereka sendiri. Sehingga makanan yang siap saji, sayuran, buah-buahan yang baru mereka petik dari hasil kebun juga diberikan kepada mahasiswa Kukerta.
Pengalaman yang sifatnya internal
Pengalaman internal ini diperoleh mahasiswa anggota Kukerta ketika berbaur dengan anggota lain dalam satu kelompok Kukerta. Beberapa mahasiswa mengaku bahwa adanya Kukerta menjadikan mereka lebih memahami arti sebuah persahabatan, kesetiakawanan, keakraban, dan kebersamaan.
Meski berada pada satu kampus yang sama, tetap saja ada yang tidak saling mengenal. Tergabung dalam satu kelompok Kukerta yang berbeda kelas dan berbeda program studi membuat mereka mengawali perkenalan baru. Hubungan satu posko selama 50 hari ini cukup mengungkap karakter masing-masing teman dalam kelompok.
Membangun jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab. Mereka juga dituntut saling menguatkan dan saling mendukung program yang ingin dilaksanakan, dan belajar merendahkan ego pribadi demi kepentingan kelompok.
Keterikatan lahir dan batin, serta fisik dan psikis antar anggota Kukerta dan masyarakat tempatan terbentuk sangat cepat. Sehingga pada moment perpisahan tidak sedikit mereka meneteskan air mata dan terharu, terutama sekali dirasakan oleh kaum ibu dan anak-anak yang sehari-hari bermain dan belajar di Posko Kukerta. Ini menjadi sekelumit bukti keberterimaan masyarakat terhadap program Kukerta yang telah dilaksanakan.
Memang, karen covid 19 masih melanda, program Kukerta sedikit terkendala, misalnya tidak bisa terlibat lebih aktif dalam proses belajar mengajar di sekolah-sekolah dan sulit mengadakan event yang melibatkan banyak orang.
Namun, masih ada ide dan cara lain untuk menyesuaikan program Kukerta dengan masa pandemi, seperti membagi-bagikan masker gratis, menyediakan bak air untuk cuci tangan, dan mensosialisasikan efek covid 19 terhadap kesehatan, pendidikan, dan ekonomi masyarakat.