Kucing di rumahku mulai aneh beberapa waktu terakhir ini. Pas dia masuk kamar, aku memanggilnya, dia tak bergeming sedikit pun, sekadar mengeong pun tidak. Dia tetap berjalan dengan angkuh dan sombong. Aku kembali memanggilnya. Menoleh pun dia tidak. Kucing sialan! Jalannya semakin angkuh, sok-sok berwibawa, sok-sok tenang dan dalam.
Satu hari, dua hari, tiga hari, dia masih begitu. Angkuhnya makin menjadi-jadi. Dia masuk ke kamar, ke ruang lainnya, lalu keluar. Keluar pun masih dengan langkah yang pongah. Aku mencoba sabar. Menahan diri biar buku di samping kananku tak melayang ke tubuhnya.
Entahlah. Aku rasa dia sekarang sedang merasa menjadi harimau. Ya! Mungkin saja. Tebakanku beralasan. Lihat, cara jalannya saja dibikin-bikin persis lenggok harimau. Pelan dan pelan. Bernapas pelan. Sorot mata dibuat-buat tajam. Memang lihat apa kok sampai mata ditajam-tajamkan begitu? Tikus? Aku lupa, dia sudah jarang makan tikus. Mungkin karena sering dikasih roti sama orang tuaku, makanya tak selera dia sama tikus.
Dulu sih dia ditugaskan untuk menghalau tikus biar tak masuk ke dapur. Dikerjakan tertib pas awal-awal. Di hari-hari kemudian, nol. Ibuku pun terpaksa membeli perangkap tikus. Aku kadang juga bingung soal perangkap tikus ini. Sudah mahal-mahal dibeli, tapi ndak berguna. Berhari-hari ditaruh di dapur, hasilnya nol besar. Satu pun tak pernah tertangkap. Apa tikus tahu kalau di dapur sudah dipasangi ranjau? Mana mungkin.
Buktinya ikan di dapur lenyap juga. Setelah cukup lama bertugas, perangkap tikus terpaksa angkat kaki dari dapur. Dia di pecat. Alasannya buka saja karena tak ada tikus yang tertangkap, tapi juga karena umpan yang ditaruh di perangkap setiap malam hilang. Gimana kejadiannya?
Umpan hilang, target tak dapat. Aku rasa kucingku yang punya kerja, atau mungkin siapa saja yang masuk dapur, lapar lalu melahap umpan di perangkap tikus. Ah, cuma ya tak mungkin rasanya kalau umpan se-upil dilahap juga sama orang di rumah. Kalau tidak kucing, berarti memang tikus yang berhasil mengambil umpan makanan di ranjaunya. Tanpa kena tangkap tentunya.
Kalau memang ya, hebat pula gaya si tikus. Melakukan genjatan senjata dengan kucing, biar kami beli perangkap tikus. Lalu dengan teknik yang sudah dipelajari, umpan lenyap dari perangkap. Kena dua kali kami. Uang terbuang, umpan di makan pula.
Ah, lupakan saja soal perangkap tikus itu. Toh itu juga sudah lewat. Masa lalu ya masa lalu. Hari-hari yang lalu sudah jadi mimpi. Hanya tinggal bayangan. Tak bisa disentuh. Tapi setidaknya bisa jadi bahan pelajaran. Tak belajar dari masa lalu, berarti susah untuk menemukan hal baru untuk maju. Sekarang, ada apa dengan kucing?
Kenapa tabiatnya jadi begitu? Apa benar dia sekarang sudah merasa seperti harimau? Apa karena hasil merenungnya sekian lama akhirnya si kucing tersadar dan meyakini kalau dirinya masih ada sangkut paut dengan harimau?
Tapi kalaupun begitu kejadiannya, memangnya harus angkuh dan sombong ya? Aku rasa kucing salah memahami. Kucing mengambil sisi harimau hanya biar terlihat gahar dan berani. Ujung-ujungnya angkuh. Sombong juga. Kucing hanya lihat tampilan luar. Begitu kalau suka lihat tampilan luar, di dalam jadi tak berisi. Tapi kok kucing tahu ya soal trik topeng-topeng begitu?
Cukup besar kapasitas otak kucing ini. Umur baru beberapa tahun tapi sudah bisa belajar banyak tentang topeng.
Beginilah contohnya kucing yang sekedar tahu tapi tidak memahami. Tahu ini, tahu itu, tapi hanya tahu, tanpa memahami dan menerapkannya dalam diri. Sepulang membeli bakso, kucing itu masuk lagi ke kamarku. Aku kesal padanya. Aku pura-pura saja tak ada dia di sana. Dia mendekat, lalu mengelus-eluskan tubuhnya padaku. Mau merayuku dia rupanya.
Dia mengeong manja. Aku tak peduli, dan tetap melahap bakso. Dia mengeong lagi. Nadanya mulai berubah. Terdengar memelas. Aku cuek. Dia mengeong lagi, persis orang tak makan tiga hari.
"Mentang-mentang aku punya makanan, terus harimaumu lenyap!" kataku pada kucing.
Dia mengeong. Entah paham, entah tidak.