Presiden Joko Widodo dan pihak Kementerian Luar Negeri telah menjelaskan bahwa tujuh belas pemimpin negara akan hadir di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali 15-16 November ini. Tiga anggota lainnya belum memberikan konfirmasi hingga 3 November lalu.

Yang menarik adalah pemerintah Indonesia tidak mengungkapkan kepala negara mana saja yang bakal datang pada pertemuan 15-16 November itu dan yang belum memberi kepastian datang. Alasan keamanan, kabarnya, menjadi penyebab utama tiga anggota itu bakal absen pada KTT G20.

Selain itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah menyampaikan ketidakhadiraannya pada KTT G20 mendatang. Walaupun bukan anggota G20, Ukraina diundang menghadiri KTT G20 di Denpasar, Bali. Bahkan, Presiden Jokowi telah menyampaikan undangan itu secara langsung kepada Presiden Zelensky di Kiev pada akhir Juli lalu.

Kedatangan para pemimpin negara itu pada KTT G20 merupakan kehormatan besar bagi Indonesia mengingat situasi dunia yang sedang sangat sulit seperti ini. Bagi kebanyakan orang, keberhasilan penyelenggaraan KTT G20 diukur dari kehadiran ke-20 pemimpin anggota kelompok ekonomi besar yang dijuluki G20 itu.

Langkah diplomatik

Menjelang penyelenggaraan KTT G20, pemerintah Indonesia telah melakukan langkah-langkah diplomatik. Pertama, Presiden Joko "Jokowi" Widodo menelepon tiga pemimpin negara yang belum menyatakan hadir. Konfirmasi mereka sangat penting bagi persiapan protokoler dan keamanan di Indonesia, khususnya di Denpasar, Bali. 

Salah satu anggota G20 yang belum menyatakan kehadirannya itu tampaknya adalah Rusia. Dalam sambungan telepon tersebut, Presiden Rusia Putin belum memutuskan apakah akan menghadiri KTT G20 atau tidak. Beberapa waktu sebelumnya, Duta Besar Rusia, Lyudmilla Vorobieva bahkan mengungkapkan kemungkinan Putin tidak datang dan negaranya akan diwakili Menteri Luar Negeri. 

Selain berbicara dengan Putin, Jokowi juga menelpon Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky. Walaupun bukan anggota G20, Zelensky juga diundang Jokowi untuk hadir dalam KTT negara-negara ekonomi utama dunia itu. Dalam sejumlah laporan media, Zelensky cenderung menolak hadir. Penolakan itu berkaitan erat dengan kenyataan bahwa Rusia masih menginvasi negaranya.

Sikap Zelensky ini tampaknya menjadi bargaining position-nya yang disepakati oleh AS dalam menghadapi Rusia. Pada Maret 2022, Presiden AS Joe Biden menegaskan kehadiran Zelensky sebagai semacam syarat politik jika Putin jika Indonesia tetap mengundang Putin pada perhelatan KTT di Bali itu.

Selama ini, AS dan beberapa negara Barat telah mendesak Indonesia untuk tidak mengundang Putin dalam KTT G20. Tuntutan itu telah disampaikan berkali-kali kepada Indonesia sebagai respon atas invasi militer Putin ke negara tetangganya yang berdaulat, yaitu Ukraina, pada 24 Februari 2022.


Skenario kedua

Melihat perkembangan itu, berbagai diplomatic lobbying tetap perlu dilakukan Indonesia melalui berbagai saluran agar semua anggota G20 tetap hadir. Lobbying tentu saja harus difokuskan pada AS dan Rusia karena memang pemimpin 2 negara itu sangat ditunggu kehadirannya. 

KTT G20 memang tampaknya bakal 'hambar' tanpa kehadiran ke-20 anggotanya secara lengkap. Apalagi pada tingkat KTT itu, semua rancangan kesepakatan dari berbagai perundingan sejak Presidensi Indonesia dimulai 1 Desember 2022 itu akan ditandatangani oleh para pemimpin G20.

Sambil tetap menjalankan proses lobbying itu, pemerintah perlu menyiapkan skenario kedua. Seandainya KTT G20 tidak dihadiri ke-20 anggotanya secara lengkap, maka skenario kedua lebih berfokus pada keberhasilan penyelenggaraan KTT tersebut.

Situasi global perlu menjadi pertimbangan bagi Indonesia untuk menerima kenyataan bahwa ada anggota G20 bakal absen. Alasan keamanan memang sangat nyata mengingat perang Rusia-Ukraina belum selesai. 

Perdamaian kedua negara itu tidak mudah dicapai. Kecenderungan status quo menjadi semakin mengemuka ketika pihak AS dan NATO tidak menunjukkan upaya serius mendamaikan Rusia-Ukraina.

Apalagi perang itu juga melibatkan pemihakan absolut AS dan anggota NATO kepada Ukraina. Pemihakan itu repotnya harus dihadapi Indonesia yang tidak memihak Ukraina

Selain itu, pandangan Indonesia juga tidak memihak Rusia juga tidak diterima oleh AS dan kawan-kawan. Padahal Indonesia telah menyetujui resolusi Majelis Umum PBB yang merupakan inisiatif AS dan kawan-kawan sebagai pendukung Ukraina.

Ketika Indonesia mendapat giliran menjadi Ketua G20 sejak 1 Desember 2022, maka imbas pemihakan AS dan sekutunya mau tidak mau harus menjadi perhatian serius Indonesia. Salah satu akibatnya adalah kemungkinan tidak semua anggota G20 hadir. 

Meski demikian, negara-negara itu diharapkan tetap memandang urgensi hasil-hasil KTT G20 di 2022 ini. Mereka juga diharapkan tetap menganggap penting Indonesia, sehingga ketidakhadiran secara fisik dan langsung di Indonesia dapat diganti dengan kehadiran secara online.

Pemerintah Indonesia perlu menyadari kenyataan terjadi pembelahan global antara kubu AS dan Rusia secara global yang memang tidak mudah ditengahi. Perpecahan itu juga menjalar di antara ke-20 anggota G20. 

Akibatnya, 17 pemimpin negara yang telah memastikan hadir itu tetap merupakan capaian tinggi dalam diplomasi multilateral Indonesia.

Dengan kondisi itu, Indonesia sebaiknya fokus pada kehadiran 17 kepala negara itu bagi kesuksesan  KTT. Kehadiran mereka memperlihatkan bahwa  G20 memiliki nilai positif dalam ekonomi global yang sedang melemah pada saat ini.

Kemungkinan blessing in disguise bisa saja terjadi. Ketidakhadiran AS dan Rusia justru mungkin dapat mengurangi tensi KTT G20. 

Sebaliknya, kehadiran AS dan Rusia di KTT G20 dapat menimbulkan insiden tidak perlu dalam diplomasi multilateral setingkat KTT. Lebih jauh, kehadiran pemimpin AS dan Rusia juga tidak begitu saja bisa menghasilkan perdamaian bagi Rusia-Ukraina.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia tetap perlu memelihara optimisme keberhasilan KTT G20. Walaupun hanya dihadiri 17 pemimpin negara anggota G20, Presidensi Indonesia pada G20 dapat berkontribusi bagi penyelesaian berbagai krisis global.