Pena adalah perjalanan kedua, takdir pena adalah menulis yang lainnya. Makna segala apa yang dikatakan menjadi takdir bagi seluruh pengembara. Bagaikan seseorang yang melihat dirinya pada cermin, cinta juga telah menakdirkan kekasihnya. Cermin cinta yang sempurna mengilapnya karna wajah sang kekasih.

Fatima berlari kecil menuju lantai atas. Dia tidak bisa meninggalkan momen indah ini. Dia tidak akan kehilangan senjanya. Ya, setiap hari setelah menyelesaikan muroja’ahnya dia akan langsung berlari menuju atap. Tempat paling tepat untuk menyaksikan bagaimana cakrawala melepas senja.

Kali ini ada yang menghentikan langkahnya ketika telah sampai di atap, sesaat Fatima memperhatikan kanan-kirinya. Tertegun dirinya mendapati seorang Wanita dewasa di sana. Dengan cermin hatinya yang retak, bersandar pada tiang penyangga, berdo’a untuk memperbaikinya.

Di tangan Wanita itu menggenggam sebuah kendi usang berisi air. Dengan ragu Fatima berjalan mendekati Wanita itu. Tapi karena terlalu hening, langkah kecil Fatima itu mampu mengagetkan Wanita itu dan membuat Fatima juga ikut terkejut hingga botol misik yang dibawanya terjatuh hingga pecah. Ah…!!!

“Oh.. mohon maaf Tuan Putri kalau saya mengejutkan Anda”.

“Ternyata Anda bibi Asma, ku kira siapa” ucap Fatima dengan tersenyum lega.

Serpihan-serpihan kaca yang tersebar membuat jari tangan bibi Asma terluka saat sedang mengumpulkannya. Fatima segera mengambil perban dan membalutkannya di jari tangan bibi Asma yang terluka.

Bibi Asma memperhatikan tangannya yang terbungkus perban seraya bertanya kepada dirinya.

“Serpihan kaca ataukah serpihan jiwa yang telah membuatnya terluka?” kata sandi dari teka-teki perjalanan hidupnya tergenggam erat di tangannya.

“Ah, maafkan aku bibi. Aku terlalu ceroboh,” ucap Fatima menyesal. “Dan lihatlah, kendi usang kesayangan bibi juga pecah. Maafkan gadis ceroboh ini,” sahut Fatima sambal menunjuk ke arah serpihan kendi bibi Asma. Rupanya saat tadi mencoba meraih botol misik Fatima, bibi Asma menjatuhkan kendinya.

“Ahh…,” ucap bibi Asma kepada serpihan kendi usang itu. “Kau pun hancur rupanya, sepertiku”.

Fatima menatap dalam-dalam bibinya itu. Dia tau ada beban berat yang coba dipikul sang bibi. Beban berat sepeninggal suaminya. Yang hanya bisa bibinya ceritakan kepada kendi usang itu.

“Menangislah, bibiku. Keluarkan semuanya. Tuangkan seluruh bebanmu seperti botol misik ini menumpahkan minyaknya”.

Di hadapan cinta, Wanita yang berkemauan tinggi pun dapat berubah seperti sepotong kain.

Fatima kehabisan cara. Dia memutuskan melakukan hal terbaik yang bisa dilakukannya di dunia ini.

Menceritakan dongeng!

Dalam senja yang sendu ini, Fatima hanya bisa menenangkan bibinya dengan dongeng-dongeng.

“Kendi usang itu memiliki seorang pemilik Bibiku,” Fatima memulai perkataannya.

Sambil menyeka airmata bibinya dengan sapu tangan, Fatima melanjutkan, “Sayap kendi itu patah karena berpisah dari pemiliknya. Sekarang pemiliknya telah mengambil dan membawa kendi itu di sampingnya”.

“Namun kendi itu adalah tanda cinta bagiku. Penunggu kesabaranku. Sahabat dekatku”.

“Pernahkah Bibi mendengar bahwa tanah kendi itu telah dilaknat oleh seorang raja, seorang wanita yang bertunangan, dan seorang tukang perabotan yang buta?”

“Apakah kau bilang mendengar, wahai Tuan Puteriku yang bijaksana?”

“Ya, aku bilang mendengar Bibiku”.

“Ah, Tuan Puteriku. Apakah aku ini dalam kondisi yang akan mendengarkan kendi usang itu?  Satu hari pun aku tidak mendengarkan cerita dari kendi usang sahabatku itu”.

“Bibiku, kendi itu terbuat dari tanah seperti yang Anda tahu. Sama seperti Bibi, saya, dan juga manusia lainnya. Sumber mineral dan diri kita berasal dari tanah. Ratusan tahun yang lalu, batu bata yang terbuat dari tanah itu digunakan untuk membangun sebuah kerajaan terkenal oleh seorang pangeran yang ingin membuktikan dirinya kepada ayahnya yang juga seorang raja. Ah, seandainya Bibi tau apa yang disaksikan batu bata tak berlidah itu.

Sang pangeran selalu membujuk ayahnya, tetapi tidak pernah berhasil meluluhkan hatinya. Bahkan, sang ayah tak pernah sekalipun mengunjungi kerajaan yang dibangunnya itu. Seiring waktu berlalu, pangeran menjadi raja hebat yang dikenal di seluruh dunia. Jika Bibi tahu apa yang batu bata itu saksikan dari belakang takhta selama waktu yang terlewati?

Penghianatankah, kejayaankah, pedang-pedang yang dihunus untuk keadilankah, para penipukah, para pahlawankah. Semua disaksikannya satu demi satu.

Pada suatu hari, kerajaan yang telah menguasai dunia selama bertahun-tahun  ini diambil alih dan dihancurkan oleh seorang raja yang lebih kuat. Batu-batu bata hancur di bawah reruntuhan yang penuh dengan kemarahan. Kerajaan dihiasi oleh reruntuhan bangunan dan hancur bersamaan dengan kicauan burung hantu.

Raja yang datang dari kerajaan terhormat itu menghembuskan napas terakhir tanpa bisa membuktikan dirinya pada sang ayah. Laknat yang dia dirikan dengan seribu satu usaha di kerajaan itu hanya tertinggal sebagai suatu keinginan.

Berabad-abad terlewati, sebuah kisah tragis yang sama juga terjadi. Ketidak beruntungan itu datang menghampiri seorang gadis anak petani yang terus menangis setelah tunangan yang dicintainya pergi meninggalkannya.

Sang ayah yang cemas dengan keadaan puterinya yang bisa buta karena terus menangis itupun menghadiahkan sebuah kalung yang terbuat dart tanah reruntuhan kerajaan. Di sekitar kalung itu tertulis nama kekasihnya. Hatinya pun tenang. Jiwa gadis yang penuh dengan rasa cinta berubah menjadi tipis. Begitu tipis sampai banyak orang yang mengeramatkan kalung tersebut.

Seorang tukang perabotan yang mendengar kesaktian kalung tersebut berangan-angan memilikinya untuk menyembuhkan matanya yang buta. Diapun mendapat kepercayaan sang gadis setelah berhari-hari berada di sampingnya. Suatu malam, Ketika sang gadis tertidur, tukang perabotan itu memotong lehernya dan mengambil kalungnya. Namun baru dua langkah pergi, dia mati tersambar petir.

Keesokan harinya, orang-orang yang ingin datang menemui sang gadis memutuskan membangun monument setelah melihat leher sang gadis terpotong., sementara tukang perabotan menjadi abu. Monumen ini berbentuk menara dari tanah. Beberapa tahun kemudian monumen itu hancur menjadi sebuah bukit yang terbuat dari tanah yang diambil oleh para ahli kendi.

Itulah cerita tanah yang berumur lebih dari lima ratus tahun yang Bibi tangisi ‘kendiku.. kendiku.’ Di dalam kendi usang itu, para raja, gadis-gadis yang bertunangan, kalung-kalung, dan pisau-pisau menangis bersama. Mereka menangisi apa yang terjadi.

Di sini adalah dunia, Bibiku. Semua serapah dan keinginan kita tertinggal di dunia ini, berada dalam bulatan cerita. Dunia adalah sebuah kebohongan. Dan tak mempunyai seorang teman.

Sekarang kita perlu memandang ke belakang kendi. Pemecah kendi usang itu adalah Allah, pemilik kendi adalah Bibiku.

Allah Maha Menghendaki, Bibiku. Dia menyukai hati yang retak. Dia tidak suka hati yang tertulis nama selain nama-Nya”.

“Tuan Puteriku, Fatima. Engkau menjelaskan cinta seakan-akan seperti sebuah halangan dan sebuah kain penutup di cerita itu”.

“Makna tentang cinta bukanlah cinta, Bibiku”.