Sebagai santri "karatan" tentu daku sangat akrab dengan terminilogi ittiba’ bahasa Arab untuk kata mengikuti. Ittiba' sebenarnya banyak digunakan dalam literatur Ushul Fiqh dalam beberapa pembahasan. Diantaranya digunakan dalam permasalah taqlid dan ittiba’. Namun, beberapa kesempatan terakhir ini terma ini juga digunakan untuk sebuah upaya mengikuti jejak seorang guru.

Dalam tradisi pesantren mengikuti (ittiba’) merupakan hal yang sakral dibicarakan. Hampir semua mereka yang berlatar belakang pesantren mengetahui makna kata ini sebagai sebuah pola mengikuti pola kehidupan, titah yang disampaikan oleh seorang Kiai. Namun, sampai sekarang pola ittiba’ yang lahir dari bilik-bilik tradisi pesantren ini terlihat masih belum begitu terang maksudnya. Hingga banyak yang gagal dalam mengaplikasikannya secara proporsional.

Seingatku, kitab klasik yang paling fundamen yang menjadi kajian serta pedoman dalam menjalani proses nyantri di mana pun adalah kitab karangan Syekh Azzarnuji yakni Ta’limul muta’allim fi Bayani Thoriqit ta’allum. Kitab ini menjadi standar pertama yang berisi prinsip-prinsip dasar yang harus diketahui oleh semua santri. Bahkan ada sebuah adagium –daku lupa sumbernya- bahwa “belum dikatakan santri kalau belum pernah mengaji kitab ini. Ya kitab ini memang kunci agar kita sukses dalam belajar.

Dalam kitab ini, ada satu bab yang masuk dalam jajaran pembahasan pertama dalam kitab Ta’lim (panggilan akrab untuk kitab itu) yakni bab memilih guru (ikhtiar al-ilmi wal ustadz dan seterusnya). Daku baru sadar, bahwa kitab sedasar dan se-klasik kitab Ta’lim ini telah berupaya mengangkat sebuah paradigma “kritisisme” dalam belajar. Terlepas dari isi serta standar yang digariskan dalam kitab itu, yang jelas, ini kitab telah memberikan sebuah gerbang pemikiran bahwa seorang santri hendaknya memiliki jiwa kritis dalam belajar terkait ilmu dan guru.  

Tradisi kritisisme dalam belajar serta memilih guru ini yang daku anggap kehilangan nilai universalnya dalam tradisi nyantri akhir-akhir ini. Lahirnya doktrin ittiba’ al-ustadz yang berkembang akhir-akhir ini telah menutup hal yang begitu prinsip dalam mencari ilmu (tholabul ilmi). Hal ini tampak dengan lahirnya beragam pandangan seputar keislaman yang landasan epistemiknya adalah “menurut guru saya”.

Kata yang terakhir ini dalam beberapa hal mempresentasikan jiwa santri tulen yang esktra-manut, namun di sisi lain menunjukkan hilangnya “ghiroh ta’allum” sebagaimana diajarkan oleh Salafunassholih. Kenapa demikian, karna penggunaaan kata di atas dijadikan alat legitimat bahwa pemikiran yang demikianlah yang hanya dianggap benar.

Paradigma yang berkembang pada akhirnya adalah pengkultusan secara frontal terhadap ijtihad seorang guru. Kita tentu tidak asing lagi dengan nama Imam Syafi’i. Seorang Imam Madzhab yang telah melanglang buana dalam cakrwala keilmuan Islam serta keberkahannya masih kita rasakan hingga akhir ini.

Fakta sejarah mengatakan, bahwa beliau memiliki banyak guru. Salah satunya adalah Imam Madzhab Malikiah, yakni Imam Malik. Ikatan guru-murid antara dua imam kesohor ini tidak menghalangi salah satu dan lainnya dalam menelurkan buah ijtihad mereka.  sering kali sang murid (Imam Syafi’i) berbeda pandangan sang guru (Imam Malik).

Ittiba’ (manut) sepertinya perlu ditelaah secara lebih luas, mengingat biasnya telah menghilangkan ghiroh ta’allum berikut prinsip-prinsipnya. Dan yang paling dominan kita rasakan dari lahirnya doktrin ittiba’ ini dalam dunia pesantren, ialah stagnasi nalar, sehingga banyak sekali disiplin ilmu-ilmu di pesantren yang kontra-produktif dengan ide-ide universal Islam. stagnasi ini akan tergerus, bila konsep ittiba’ hanya ditelan bulat-bulat dan dilaksanakan dengan perilaku serampangan.