Dunia dan alam semesta akan selalu bersifat dinamis serta terus bergerak dari satu perubahan menuju perubahan lainnya. Perubahan yang terus terjadi akan selalu mengacu pada ilmu pengetahuan sebagai ranah kognitif manusia yang semakin berkembang dan mempengaruhi paradigma perkembangan itu sendiri.
Secara prinsip, pergeseran pada ranah ilmu pengetahuan akan membentuk sebuah perubahan signifikan pada ranah vital lainnya. Ditambah dengan hasrat dan naluri manusia yang tidak akan pernah puas pada perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga perubahan peradaban dunia-pun juga tak akan pernah selesai.
Misal dalam ranah teologis, dimulai dari pengetahuan tentang animisme, kemudian berkembang menjadi dinamisme, bergerak lagi menuju politeisme hingga kini berujung pada konsep monoteisme.
Tidak lupa serta pada pergerakan perubahan ilmu pengetahuan yang berawal dari teosentris, menuju empirisme, kemudian bergerak pada ranah rasionalisme, positivisme, materialisme, dan hingga pada paradigma idealisme. Telah banyak simbol dan pola diciptakan manusia sebagai representasi dari pergerakan paradigma pengetahuan dari waktu ke waktu.
Kemapanan ilmu pengetahuan modern saat ini diwakili oleh kemajuan teknologi yang secara signifikan membantu mempermudah segala aspek kehidupan manusia. Melalui sistem yang terikat pada paradigma ilmu rasionalisme, manusia dihantarkan pada struktur kemapanan jasmani yang berlarut-larut.
Setelah sekian lama paham modernisme melalui paradigma rasionalismenya mendapat porsi utama dalam perubahan ilmu dan teknologi, paham ini pun mendapat sebuah kritikan yang cukup signifikan dari paradigma pemikiran postmodernisme dengan berbagai lingkup dan problematikanya sendiri.
Postmodernisme; Pemahaman serta Konseptualisasi
Paham postmodernisme dianggap pertama kali dicetuskan oleh Arnold Tonybee pada tahun 1939. Namun Charles Jencks melalui karyanya “The Language of Post-Modern Architecture”, menegaskan bahwa konsep postmodernisme tersebut lahir dari tulisan tokoh Spanyol Frederico de Onis melalui tulisannya “Antologia de la poesia espanola e hispanoamericana” pada tahun 1934.
Dalam tulisannya, Frederico memperkenalkan konsep postmodernisme sebagai reaksi dari berkembangnya paradigma modernisme. Buah pikir dari beberapa tokoh postmodernisme berhasil membawa konsep postmodernisme menuju benua Eropa hingga banyak pemikir Eropa yang akhirnya tertarik dan ikut berkecimpung pada pemahaman tersebut.
Secara sederhana, postmodernisme merupakan pergerakan ide yang dianggap menggantikan ide-ide zaman modern. Dimana paradigma ilmu modern menurut Louis Leahy, dicirikan dengan objektivitas, totalitas, dan strukturalisasi, hingga kemajuan sains.
Postmodernisme menganggap modernisme telah menyebabkan sentralisasi dan universalisasi ide dalam ilmu dan teknologi. Hal tersebut dikemas dengan istilah globalisasi dunia. Sedangkan, postmodernisme sendiri lahir dengan cita-cita akan peningkatan kondisi sosial, budaya, serta kesadaran akan berbagai realitas dan perkembangan diberbagai bidang.
Dalam buku “Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat”, Bambang Sugiharto menekankan pada prinsip dasar postmodernisme yakni meleburnya batas wilayah serta pembedaan antar budaya tinggi rendah, penampilan dan kenyataan, simbol dan realitas, hingga universal dan peripheral yang selama ini diglorifikasi oleh teori sosial serta filsafat konvensional.
Jadi, secara singkat dapat dijelaskan bahwa postmodernisme merupakan perluasan konsep (intensifikasi) yang dinamis dan selalu berupaya untuk terus mencari kebaruan, serta revolusi kehidupan. Tidak pernah percaya dengan segala narasi besar dan berbagai penolakannya pada filsafat metafisis, filsafat sejarah, ataupun pemikiran totalitas.
Jika dihadap-hadapkan dengan modernisme, postmodernisme akan memiliki posisi yang cukup beragam. Pandangan ini dikeluarkan Bryan Turner pada karyanya berjudul “Teori-Teori Sosiologi Modernitas Postmodernisme”.
Satu sisi modernisme dianggap tidak berhasil dalam membawa martabat manusia modern. Bahkan dianggap sebagai akibat dari posisi manusia pada jurang ketimpangan. Atas dasar itu dirasa postmodernisme dianggap perlu digagas dan dicetuskan.
Sisi lainnya menganggap bahwa justru postmodernisme ini merupakan hasil pengembangan dan perluasan dari konsep-konsep modernisme. Perbedaan kedua pandangan ini cukup kontras di mana satu menganggap postmodernisme berbeda terbalik dengan modernisme, lainnya menganggap postmodernisme merupakan bentuk sempurna dari modernisme.
Postmodernisme dan Kritiknya Pada Ideologi dan Ilmu Modern
Fenomena postmodernisme memang sudah menyebar dalam dunia ide dan pemikiran. Sebab seperti dikatakan di atas, lahirnya postmodernisme dianggap sebagai penyatuan alasan yang konkrit pada kritik modernisme yang dianggap kurang memenuhi tuntutan intelektual sebagai problem solver terhadap masalah sosial dan kemanusiaan.
Menurut Scott Lash pada bukunya berjudul “Sosiologi Postmodernisme”, pemikiran postmodernisme pun sebenarnya belum mencapai tahapan yang sempurna dalam ranah teoritisnya.
Namun, di tengah kekurangan ide tersebut tetap dapat diambil sejumlah point kritik ideologis dari beberapa pemikir postmodernisme terhadap gerakan modernisme dengan asas rasionalitasnya.
Pertama, penafian pada pemikiran totalitas (totalism). Dalam pandangan postmodernisme, tidak ada sama sekali realitas yang dinamakan rasio universal. Sebenarnya yang ada hanyalah relativitas dari eksistensi plural. Dirasa perlu ada pergeseran cara berpikir dari “totalizing” kepada “pluralistic and open democracy” pada berbagai aspek kehidupan.
Pandangan tersebut benar-benar sangat berbeda dengan metode ilmiah ataupun ilmu pengetahuan modern yang mengacu pada konseptualisasi serta universalisasi teori. Hal tersebutlah yang membuat postmodernisme menganggap metode seperti itu perlu ditinggalkan atau ditinjau ulang menuju gaya baru ala postmodernisme.
Kedua, persaingan dan pergolakan pada identitas sosial dan juga personal yang secara terus-menerus tiada henti. Pergolakan yang tak berbuntu tersebut dianggap sebagai konsekuensi dari kemapanan teori sosial modern melalui metode-metode saintifik yang rasional.
Postmodernisme justru menekankan bahwasanya penggunaan akal dan pikiran yang akan membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Postmodernisme selalu menolak segala konsep yang fundamentalistik dan memiliki nilai sakral tersendiri yang membuat seolah konsep tersebut menduduki posisi paling atas hingga selalu menjadi tumpuan dari konsep yang lain.
Ketiga, semua hasil pikir dari berbagai jenis idelogi wajib dikritisi atau bahkan ditolak. Layaknya prinsip dalam ber-ideologi, ruang gerak berpikir manusia akan selalu dibatasi dan diikat pada satu nilai tertentu yang bersifat permanen. Sedangkan, postmodernisme selalu tegas menolak segala bentuk prinsip yang bersifat permanen.
Segala bentuk ideologi apapun bentuknya, apapun hasil fikirnya selalu menjerumuskan pikiran manusia pada satu kubangan berpikir tertentu dengan batas-batas ideologinya. Hal tersebut dianggap fatal dalam mekanisme berpikir dan keterbukaan. Oleh karena itu, manusia postmodernism tidak ada yang boleh terikat pada nilai yang permanen bahkan agama sekalipun.
***
Beberapa poin utama dari kritik postmodernisme terhadap ide dan gagasan modernisme tersebut cukup penting untuk kita ketahui dan telusuri lebih dalam sebagai perwujudan manusia akademisi yang gemar bermain pada wahana intelektual.
Kritik keras postmodernisme tersebut juga layaknya sebagai konsep manusia yang memiliki beberapa kekurangan yang akhirnya dirasa kurang proporsional antara satu pandangan menuju pandangan lainnya.
Manusia diberikan anugrah akal sebagai penyaring pengetahuan dengan batasan pemikiran yang telah ditetapkan dari yang menciptakan ilmu itu sendiri. Antara modernisme ataupun postmodernisme masing-masing memiliki porsi tersendiri untuk kemajuan peradaban yang harus diilihami dalam menjalankan kehidupan bersosial dan bermasyarakat.