Kamu bebas tanpa menjadi, kata Sartre dalam novel The Age of Reason. Kata-kata ini mungkin hanya sebuah kata yang terbentuk, tetapi akan berbeda jika diterapkan dalam ranah moral. 

Sekarang kebebasan juga terbilang suatu masalah. Ada yang mengatakan keberadaan suatu kebebasan seseorang justru bersifat immoral atau tidak bermoral. Jadi dia bebas tanpa menjadi, dia melupakan bahwa kebebasan juga merupakan eksistensi. 

Namun, apakah itu benar-benar bersifat immoral? Di sini kita akan membahas persoalan ini.

Di dunia perdagangan kita mengenal dengan istilah peluang. Peluang tentu terkait dengan bisnis. Namun, apakah ada kaitannya dengan moralitas? Tentu ada. Jadi, baik dan buruk dalam perdagangan itu bukan hanya persoalan peluang, tapi juga untung rugi. 

Ada pepatah populer yang mengatakan yang baik belum tentu baik dan yang buruk, begitu juga sebaliknya. Ini menandakan kompas moral kita agak sedikit membingungkan. Tidak, bukan membingungkan, tapi sudah terkena dengan peluang. 

Di Internet, media sosial, bahkan di televisi pun kebanyakan acaranya atau sinetron terkesan tidak bermoral. Ini bukti bahwa ini bukan persoalan moral, tapi persoalan materi. Pasarlah yang membentuk moralitas yang ambigu itu. 

Kita yang menonton pun tidak lepas dari kegiatan mengkritik bahwa ini baik itu buruk dan seterusnya. Padahal ini persoalan materi. 

Baca Juga: Beban Moral

Para aktor dan aktris juga sadar akan hal itu. Toh, kalau kita protes, pasti ada yang nimbrung, "mereka begitu karena mencari sumber kehidupan." 

Ini mungkin sama halnya dengan memori pilpres kemarin. Kita para cebong dan para kampret habis-habisan bilang pasangan calon ini seperti itu seperti ini, padahal mereka tak tahu kalau ini tidak semata-mata persoalan moral, tapi juga materi. 

Kalau mereka sadar, artinya ada sesuatu. Parahnya kalau tidak sadar. Ada yang sampai memutuskan silatuhrahmi bahkan memusuhi temannya sendiri. Ini justru tidak sehat.

Jika ini murni persoalan moral, maka persoalan materi pun tidak menjadi masalah. Ini dikarenakan materi bagi semua orang sudah merata. Artinya, ini kembali lagi bagaimana kita menyikapinya. 

Misalnya sebagai pembanding, korupsi dan balap liar di desa. Korupsi lebih parah dari balap liar di desa. Mengapa? Karena korupsi termasuk persoalan moral dan materi, sedangkan balap liar di desa murni persoalan moral. 

Mereka yang di desa sama-sama memiliki kendaraan bermotor atau mobil. Sedangkan mereka para koruptor sudah kaya raya malah melakukan korupsi. Apakah mereka dari segi materi masih kurang? Jawabannya TIDAK. 

Namun, kesan persoalan moral ini sedikit agak bias. Masalahnya jelas terlihat dengan idenya. Bermoral berarti dari segi materi sudah mencukupi. Artinya, hanya orang kaya saja yang dapat bermoral, sedangkan yang kurang mampu tidak bermoral. 

Dalam teori moralitas Nietzsche, kita akan melihat bagaimana moralitas budak berpatokan pada kegunaan sedangkan moralitas tuan bersifat bangsawan. Dia membagi antara baik dan buruk bagi para tuan, dan baik dan jahat bagi para budak. 

Buruk dan jahat sangat jelas berbeda. Akan tetapi, para budak akan dinilai jahat bagi mereka jika berprilaku buruk pada tuannya. Ini menandakan kegunaannya ketimbang moralitas melulu. 

Di sini sangat jelas bahwa hanya orang kaya saja yang bisa bermoral. Namun, justru karena ini juga yang membebaskan para budak di zaman dulu. Mereka lelah dianggap buruk. Dan melakukan pemberontakan.

Jadi, mungkin hanya orang kaya saja bisa bermoral karena dari segi materi pun mereka tidak masalah. Itulah sebabnya mengapa problem materi dianggap sangat krusial dalam kehidupan. 

Kriminalitas di jalanan, apakah itu murni kasus moral? Belum tentu. Kita tak bisa menilai sebelum melihatnya dengan jelas. 

Pencapaian materi agar merata merupakan suatu kasus unik jika dikaitkan dengan pertanyaan apakah itu bermoral atau tidak. Di sisi lain, peluang selalu menghantui problem tersebut. Kita tak benar-benar tahu apakah itu memang baik ataukah hanya persoalan mata pencaharian. 

Ada banyak kasus di televisi yang kita bisa saksikan sehari-hari. Mereka yang lucu terkadang kelewat batas, tapi banyak pula yang mendukungnya. Bukankah hal itu aneh? 

Di lain hal, itu menandakan harapan bahwa pencapaian materi itu perlu bagi semua orang. Namun, apakah standar untuk dikatakan pencapaian materi? Kerja? Kebutuhan? Ataukah keinginan? Atau mungkin, penawaran dan permintaan? 

Ini seperti teka-teki lebih merujuk ke ekonomi ketimbang murni permasalahan moralitas. Ini tidak mudah untuk dijawab.

Sebagaimana telah diketahui di atas, jelas ini bukan persoalan moral semata, melainkan juga tentang materi. Ini dimulai perubahan moral terkait dengan peluang di dunia perdagangan. Baik dan buruk berubah menjadi untung dan rugi. 

Sedangkan ketika persoalan materi telah diselesaikan, persoalan moralitas pun menjadi pusat utama dalam penilaian. Namun, ini disangka sebagai moralitas orang kaya. Disebabkan dari segi materi mereka telah mencukupi.