Pada tanggal 14 Juni 1985, terjadi sebuah penandatanganan kebijakan Schengen atau Schengen Agreement yang ditandatangani dan disetujui oleh Belgia, Prancis, Jerman, Luxemburg, dan Belanda. Tujuan dari adanya kebijakan ini adalah penghapusan batas-batas regional yang dapat menghalangi kebebasan seseorang dalam perpindahan dari satu negara ke negara lainnya di Eropa.
Kebijakan ini diperkuat dengan adanya Treaty of Maastricht pada tahun 1993 yang menyebutkan bahwa adanya kerja sama dalam mengatasi permasalahan imigrasi. Namun, sepertinya kebijakan ini malah menjadi petaka bagi Uni Eropa dan negara-negara yang tergabung dalam kebijakan ini. Kebijakan ini mengikat negara-negara dalam Uni Eropa yang dimana negara anggota EU harus ikut menampung para imigran yang datang ke Eropa.
Dikarenakan dengan semakin bebasnya para imigran yang keluar-masuk negara-negara Eropa yang akhirnya mengancam keamanan negara-negara di Eropa itu sendiri. Tak hanya itu, hal ini tentunya menjadi beban baru bagi negara-negara di Eropa yang sebelumnya masih mengalami ketidakstabilan ekonomi akibat dari krisis ekonomi di Eropa.
Sebelumnya, isu ini sudah diprediksi oleh organisasi internasional untuk migran (IOM) bahwa Eropa merupakan negara tujuan paling berbahaya untuk migrasi yang tidak teratur di dunia dan perbatasan mediterania yang paling berbahaya di dunia (Park, 2015, hal. 1). Imigran yang datang ke negara-negara anggota Uni Eropa kebanyakan ialah korban daripada civil war yang berlangsung di Suriah Timur Tengah. Tak hanya itu, imigran yang datang ke negara Uni Eropa juga merupakan masyarakat dari negara lainnya.
Para imigran ini tidak hanya orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan atau state-less tetapi, ada juga yang merupakan masyarakat berkewarganegaraan di luar negara Uni Eropa.
Dengan adanya kebijakan terbaru dari Uni Eropa yaitu kebijakan Schengen, maka para imigran bebas masuk ke negara-negara Uni Eropa, terlebih lagi imigran yang merupakan pengungsi dari negara-negara yang bermasalah. Alasan mengapa Uni Eropa menerima pengungsi yang masuk ke dalam negaranya adalah karena melindungi Hak Asasi Manusia para pengungsi tersebut.
Where Migrants from?
Imigran yang datang ke negara-negara Eropa kebanyakan merupakan masyarakat yang terkena dampak dari konflik Suriah di Timur Tengah. Banyak masyarakat yang tewas terbunuh akibat adanya konflik besar-besaran yang tak kunjung berhenti di Suriah ini. Hal ini mengakibatkan masyarakat yang merasa terancam hidupnya, memutuskan untuk menyelamatkan diri dengan berpindah tempat untuk mencari perlindungan yang aman atas keselamatan diri mereka.
Data yang didapat dari sumber menyatakan bahwa imigran di Eropa lebih banyak yang merupakan masyarakat Suriah, meskipun banyak imigran dari negara lain yang merupakan korban kekerasan yang berlangsung di Afganistan dan Irak, korban pelanggaran yang terjadi di Eritrea, dan juga kemiskinan yang sedang melanda di Kosovo (Migrant Crisis: Migration to Europe explained in seven charts, 2016).
Hal inilah yang akhirnya timbul sebuah isu baru di Eropa khususnya negara-negara yang menjadi anggota Uni Eropa yang terikat dalam kebijakan yang tertulis di dalam Treaty of Maastricht dalam hal menampung imigran yang datang ke Eropa hingga terjadilah Immigrant crisis di Eropa pada tahun 2011. Tidak dapat dimungkiri faktanya bahwa Civil war yang terjadi dan melanda Suriah di Timur Tengah sendiri merupakan faktor utama terjadinya krisis imigran di Eropa.
Para imigran ini sendiri datang melalui Turki dan Yunani, mencoba menetap, berharap mendapat kehidupan yang layak dan kemanan atas hidupnya yang terancam jika terus menetap di Suriah. Imigran yang datang secara besar-besaran ini akhirnya membuat banyak negara-negara di Eropa kewalahan dalam menangani kasus imigran itu sendiri.
Seperti halnya beberapa negara di daerah Balkan contohnya Slovenia yang harus menerima kedatangan imigran sekitar 8.000 - 9.000 migran pada tanggal 20 Oktober 2015 dan dalam jangka waktu selama 3 hari disebutkan total imigran yang datang ke Slovenia sendiri mencapai lebih dari 21.445 Orang (Wangke, 2016).
Terhitung sejak tahun 2016, 28 anggota Uni Eropa menampung sekitar 4.3 Juta orang yang masuk dan sekitar 3 juta imigran yang telah meninggalkan negara-ngara anggota Uni Eropa (Migration and migrant population statistics, 2018). Sumber yang sama juga menyatakan bahwa dari angka tersebut ada sekitar 2 juta imigran yang merupakan warga negara diluar negara anggota Uni Eropa, dan sekitar 1.3 Juta imigran yang merupakan imigran dari negara-negara Anggota Uni Eropa.
Dari angka tersebut lebih dispesifikasikan lagi yaitu lebih dari 929 ribu imigran yang datang ke negara-negara anggota Uni Eropa mempunyai kewarganegaraan dan sekitar 16 ribu imigran lainnya yang tidak mempunyai kewarganegaraan (Migration and migrant population statistics, 2018).
Para imigran menyebrang dari kota Bodrum, Turki ke kota Kos, Yunani dengan menempuh jarak hanya 2.5 Miles dan hanya dengan membayar $1.000 - $1.500 per orang. Namun ada juga yang datang ke kota Lesbos, Yunani melalui kota Ayvalik, Turki dengan menempuh jarak sekitar 6 Miles. Di kota ini imigran yang datang sebanyak 2000 orang setiap harinya. Imigran lainnya, menempuh jarak sekitar 370 Miles dari kota Istanbul, Turki ke kota Thessaloniki, Yunani dengan berjalan sejauh 1000 Miles.
Sebagian imigran yang melalui jalur darat ini ada yang menggunakan bus dan kereta namun dengan resiko tertangkap dan sebagiannya lagi memilih untuk membayar seharga $1000 untuk sebuah mobil selundupan. Hal ini jadi lebih menyusahkan karena banyaknya imigran yang datang ke Eropa setiap harinya dengan jumlah yang besar dan semakin bertambah hingga akhirnya beberapa negara seperti Hungaria dan Austria memutuskan untuk menutup perbatasan mereka untuk para imigran dan menghentikan penerimaan imigran sehingga banyak imigran yang terlantar (how millions of migrants are entering Europe)
Karena timbul masalah-masalah di berbagai negara belahan dunia yang dekat dengan negara-negara kawasan Eropa menjadikan banyak masyarakat yang merasa hidupnya terancam atau merasa tidak dapat perlindungan dari sebuah negara yang akhirnya membuat mereka berpindah tempat dari negara asalnya ke negara terdekatnya yaitu negara-negara di kawasan Uni Eropa.
Negara dalam kawasan Uni Eropa sendiri sebenarnya menerima dengan baik imigran-imigran atau pengungsi yang memang sedang membutuhkan tempat tinggal yang layak dan membutuhkan perlindungan dari suatu negara. Seperti contohnya peperangan yang terjadi di Suriah yang akhirnya membuat masyarakatnya rela berjalan puluhan bahkan ribuan miles agar dapat menyeberang dan memasuki negara-negara Eropa dengan harapan mendapat perlindungan seperti tadi yang disebutkan.
Namun, tentunya tidak cukup satu negara menampung semua imigran dari korban Suriah itu sendiri, dan maka itu Uni Eropa membuat sebuah kebijakan mengenai Imigran itu sendiri. Dimana pada akhirnya kebijakan yang di setujui adalah setiap negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa harus ikut membantu dan menerima pengungsi dan imigran yang datang dari negara anggota Uni Eropa maupun dari negara luar anggota Uni Eropa.
Akan tetapi, karena negara di Eropa itu sendiri belum cukup stabil setelah mengalami krisis ekonomi, maka adanya imigran ini menjadi sebuah permasalahan baru yang akhirnya membuat negara kawasan Uni Eropa mengalami krisis imigran, dimana imigran yang diterima setiap tahunnya semakin meningkat dan semakin bertambah jumlahnya.
Bahkan sampai saat ini, isu imigran itu sendiri menjadi sebuah perdebatan dan perbincangan serius dalam negara-negara anggota Uni Eropa. Juga, isu imigran ini sendiri memang masih menjadi permasalahan bagi beberapa negara anggota Uni Eropa yang merasa kewalahan dan tidak lagi sanggup menerima imigran atau pengungsi dari negara di luar kawasan Uni Eropa.