Eggi menganggap polisi selama ini hanya menyasar orang atau sebagian kelompok Islam yang memiliki kecenderungan kritis, bahkan berseberangan dengan pemerintah. Padahal, sikap serupa juga dilakukan oleh kelompok yang memiliki bias dukungan terhadap pemerintah.
Jujur, ini sangat-sangat menggelitik. Dalam tanggapannya terhadap tudingan bahwa ia tergabung dalam grup Saracen yang baru-baru ini diungkap kepolisian, pengacara Eggi Sudjana membuat pernyataan yang (sekali lagi) mengatakan bahwa ada upaya kriminalisasi terhadap mereka yang kritis dan berseberangan dengan pemerintah.
Tudingan yang jujur memang melelahkan untuk kita perhatikan sehari-hari. Meskipun kemungkinan penyimpangan semacam kriminalisasi ini ada dan memang mesti dilawan, tentu dalam koridor hak asasi manusia yang bertanggung jawab. Namun, ada hal-hal yang membuat kita mestinya menjernihkan pikiran dari soal tudingan-tudingan seperti ini.
Yang menarik, ada “kelompok Islam yang cenderung kritis”. Seakan hanya kelompok ini sajalah yang bisa kritis dan yang lainnya cukup diam atau manut-manut belaka.
Memangnya hanya “tetangga” kanan kiri aja yang bisa dan layak disebut kritis, ketika mereka menganggap pemerintah dzholimi rakyatnya dengan kebijakan (yang katanya) absurd: tagihan listrik naik, garam impor, transportasi daring yang disebut sebagai pertanda kemajuan “dihalangi” hingga soal motor yang tak boleh lewat jalan protokol?
Sayangnya, kita bias memahami kekritisan hanya dalam koridor something and some people in other side of the government. Because, kalo mau ngomong kritis, ya kritis aja. Ngga usah peduli kita ini same or other side with our government, hanya biar kelihatan pintar dan sok intelektual, apalagi "memperkosa" perspektif sebagai "victim" melulu hanya demi meraih perhatian dan massa. Maksudnya, fokus pada pesan, bukan siapa yang membuat pesan.
Saya, misalnya, mengkritisi our television and our regulated about this issue, saya ngga peduli apakah saya berseberangan dengan stasiun TV atau tidak. Kenapa? Yang terpenting adalah bagaimana visi yang sama untuk pertelevisian yang lebih kondusif, persaingan yang sehat dan juga menyajikan program yang aman buat anak, beretika dan bervariasi. Orang tak peduli siapa saya, namun yang mereka setujui adalah pesan yang saya buat.
Lagipula, kalau yang kritis hanya orang-orang Islam yang mengkritik kebijakan pemerintah yang mutar-mutar di situ saja, bagaimana dengan orang-orang Islam lain yang memilih kritis di jalan yang beda? Misal, mereka yang mengkritik sistem pendidikan kita, mengkritik soal kebijakan lingkungan hidup atau pun mereka yang mengkritik pelayanan kesehatan dan pelayanan publik.
Apa iya, mereka yang kritis di jalan yang beda ini tak berhak mendapatkan keadilan yang sama, jika mereka merasa dikriminalisasi, termasuk oleh penegak hukum sekalipun? Apa iya, hanya kelompok tertentu saja yang dianggap berhak mewakili umat Islam dan berhak untuk mengkritisi?
Saya yakin, bukan hanya kelompok yang mengatasnamakan agama atau suku tertentu sajalah yang berhak kritis atau pun mengaku-ngaku kritis. Semua orang bisa mempergunakan akal pikirannya untuk kritis. Nggak peduli dia ini Wahabi, NU, Muhammadiyah atau pun Syiah dan Ahmadiyah sekalipun. Begitupun juga di agama lain.
Mereka semua berhak untuk kritis. Mereka berhak juga untuk kritis di jalan yang berbeda. Paku di pinggir jalan raya, angkutan umum, ketiadaan trotoar yang layak, sekolah-sekolah yang masih memungut "pungli" hingga tindakan child molester (kekerasan seksual kepada anak), adalah banyak bahan yang juga bisa dikritisi. Tak harus melulu "menggoreng" kriminalisasi ulama atau pun soal daya beli turun dan tagihan listrik naik.
Bukan berarti saya membela pemerintah dalam tulisan ini. Pemerintah memang harus selalu dikritisi. Begitu juga bukan berarti saya tidak menghargai dan membela ulama atau pun semacamnya. Namun, ulama juga tetap saja manusia, tak bisa lepas dari kekhilafan.
Memang, ketakutan terbesar dari kebebasan berpendapat adalah kriminalisasi. Bahwa sebuah bangsa yang memang menganut demokrasi mestinya menjamin soal hal ini. Beberapa kasus-kasus terakhir seperti yang dialami oleh seorang komika dan penghuni sebuah apartemen di Jakarta serta seorang warganet yang membuka "kedok" seseorang yang mengaku motivator serta pengusaha, memang menjadi contoh dari upaya kriminalisasi itu sendiri.
Tentu kita harus menuntut adanya unsur kehati-hatian dari penegak hukum dalam mengusut kasus-kasus terkait dengan beberapa pasal "karet", seperti pencemaran nama baik dan penistaan agama. Mereka harus bisa membedakan mana yang benar-benar dilandasi argumen dan fakta yang benar atau mana yang hanya bisa menebar sensasi dan kabar bohong belaka.
Namun, selain menuntut keadilan dan kebebasan berpendapat, masyarakat tentunya harus juga bertanggung jawab dengan kebebasan berpendapat yang mereka pilih. Semua orang bisa mengaku bertanggung jawab dan menjaga kebebasan ini, dari khilafahis, pancasilais, sampai tukang bokis sekalipun. Namun, yang benar-benar melaksanakannya? Tentu kita mungkin bisa berkaca pada diri kita sendiri.