Ikhtiar mendorong wacana Amandemen UUD 1945 tampak semakin serius – setidaknya dapat kita lihat dari konsensus yang terbangun antar Partai Politik koalisi pemerintah. Alasan yang melatarbelakangi munculnya wacana amandemen UUD 1945 adalah keinginan untuk mengubah ketentuan Pasal 3 dan Pasal 23 UUD 1945 dengan mendorong pemberlakuan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Pembentukan PPHN diusulkan menjadi kewenangan MPR yang diatur dalam konstitusi. Namun, untuk mengatur kewenangan MPR tersebut diperlukan amandemen konstitusi yang sifatnya terbatas.

Agaknya kita perlu memeriksa trajektori penerapan PPHN atau dulu kita sebut dengan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN telah diberlakukan sejak Orde Lama, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang salah satu isinya adalah Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) juga membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) dengan tujuan untuk menyusun rencana pembangunan nasional yang tersentralistik.

Depernas kemudian membuat Rancangan Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) Delapan Tahun, yakni untuk periode 1961 – 1969. Rancangan ini diterima menjadi ketetapan MPRS sebagai Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama. MPRS kemudian mengeluarkan ketetapan tentang Pedoman Pelaksanaan Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan secara sentralistik. 

Begitu pula pada rezim Orde Baru, GBHN menjadi dalih untuk membatalkan inisiasi pembangunan yang muncul dari daerah. Pembangunan berlangsung secara sentralistik dan menjadi otoritas Presiden bersama MPR pada saat itu. Konsekuensi dari pembangunan yang tersentralistik adalah hilangnya prinsip inklusi kekuasaan – otoritas pembangunan tidak terdistribusi secara merata ke seluruh daerah di Indonesia. Implikasinya ketimpangan pembangunan terjadi antara Jawa dan pulau-pulau diluar Jawa.  

Sistem ketatanegaraan yang berlaku pada Orde Lama dan Orde Baru adalah demokrasi terpimpin atau biasa disebut dengan demokrasi terkelola. Kekuasaan terpusat pada Presiden dengan logika kebijakan top-down. Sentralistik kekuasaan tersebut dihadirkan dengan tujuan menciptakan stabilitas politik dan pembangunan. GBHN kemudian diberlakukan demi menggapai tujuan tersebut.

Reformasi kemudian menghilangkan GBHN sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Hal ini beriringan dengan perubahan sistem ketatanegaraan yang telah terdesentralisasi. Ketiadaan GBHN pun merupakan konsekuensi logis dari pemilihan umum secara langsung. Sebab, haluan pembangunan akan menyesuaikan dengan program yang ditawarkan oleh Presiden Terpilih melalui visi dan misinya. 

Sebagai ganti GBHN, UU No 25 Tahun 2004 mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat dalam Pembukaan UUD 1945 dituangkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Skala waktu RPJP adalah 20 tahun, yang kemudian dijabarkan dalam Rencanan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang berlangsung dengan skala waktu lima tahun dan memuat visi, misi dan program pembangunan dari Presiden tepilih – dengan berpedoman pada RPJP. Di tingkat daerah, Pemda harus menyusun sendiri RPJP dan RPJM Daerah, dengan merujuk kepada RPJP Nasional. Sistem ini ajeg berlaku menyesuaikan dengan perubahan politik yang terdesentralisasi dan mengedepankan prinsip no one left behind atau tak ada satupun yang tertinggal, terlupakan atau terpinggirkan atas haknya dalam rangka terlibat aktif dalam pembangunan yang berkualitas.

Dari trajektori politik hukum GBHN di atas, tampaknya penerapan PPHN akan lebih cocok untuk rezim otoriter seperti di era Orde Baru, namun tak relevan diterapkan pada masa reformasi yang telah mengalami berbagai macam perubahan politik dan sistem ketatanegaraan. 

Dengan adanya haluan negara yang kaku, arah pembangunan sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Konsekuensi lain dari pemberlakuan PPHN adalah Presiden akan kembali menjadi mandataris MPR – sesuatu yang sudah kita tinggalkan selepas Orde Baru. Sistem ketatanageraan kita akan condong kepada legislative heavy, dimana MPR memiliki otoritas penuh untuk mengatur dan merumuskan pembangunan. Hal ini menyebabkan pemilihan Presiden secara langsung menjadi tidak relevan sekaligus mengacaukan sistem presidensial.

Ancaman Legislative Heavy

Jika GBHN dihidupkan kembali maka pendulum sistem pemerintahan akan bergerak kembali ke arah parlementer dan merusak sistem presidensial yang selama ini dibangun. Sistem presidensial telah terbukti berhasil dalam membawa Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis karena Presiden bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung, bukan kepada lembaga negara. Betapa tidak, konsekuensi politik dari pemberlakuan PPHN adalah Presiden akan tunduk pada otoritas MPR. Artinya kita akan menghadapi sistem presidensial rasa parlementer dalam pelaksanaan pembangunan. 

Apalagi jika kita periksa alasan mendasar dari dihapuskannya GBHN pada awal masa reformasi adalah semangat untuk mengedepankan prinsip check and balances kekuasaan pada lembaga negara. Kekuasaan bersifat setara antar lembaga negara artinya tidak ada yang lebih tinggi atau rendah, semua memiliki porsinya masing-masing. 

Paradigma bernegara kita telah berubah, tidak lagi menganut prinsip supremasi MPR, melainkan supremasi konstitusi. Konstitusi UUD 1945 menjadi landasan dan pedoman dalam melaksanakan pembangunan. Secara politik, pun kita telah memiliki seperangkat sistem yang memastikan terciptanya kesinambungan dalam rencana pembangunan tanpa pemberlakuan PPHN. Semua gambaran ideal soal pemberlakuan PPHN yang dikemukakan oleh elite politik tak lebih hanya sebagai jebakan romantisme masa lalu yang justru kontraproduktif dengan iklim politik dewasa ini. 

Jangan sampai dalih pemberlakuan PPHN melalui amandemen UUD 1945 justru menjadi pintu gerbang kebangkitan kembali otoritarianisme yang dulu pernah menjadi sejarah kelam politik di Indonesia.