Korupsi merupakan fenomena yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dapat di lihat dari headline di berbagai media, baik itu media cetak maupun media digital yang diantaranya membahas mengenai korupsi.
Tidak usah jauh-jauh melihat korupsi yang dilakukan pejabat tinggi Matheus Joko Santoso terkait dengan bansos. Namun, lihat dari realita, seperti kebiasaan melakukan tugas kuliah dengan plagiasi, atau memanfaatkan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi, sudah merupakan cikal bakal dari korupsi.
Tapi tunggu dulu, adanya korupsi yang terjadi hingga kini, tidak terlepas dari pertanyaan, bagaimanakah korupsi itu lahir? Ada banyak, bahkan hampir semua ahli sosio ekonomi-politik mengasumsikan bahwa praktik korupsi lahir karena dampak dari moral pemimpin yang rendah.
Rendah dalam arti : tidak ada kapasitas untuk mengontrol kehendaknya, —apapaun yang dikehendakinya akan terwujud. Namun, apabila individu dapat mengontrol kehendaknya dan menanamkan pada dirinya untuk tidak korupsi, maka ia tidak akan korupsi.
Hal ini beranggapan bahwa adanya penolakan yang kuat dari intervensi lingkungan terhadap moralitas kesadaran seseorang. Pandangan ini tidaklah sepenuhnya salah. Namun, terlihat jelas bahwa kesalahan dari pandangan ini adalah menumpuknya pandangan pada subjektifitas pelaku.
Tidak dipungkiri, bahwa adanya perjumpaan dinamika bersama dengan masyarakat menjadi kunci subjektifitas moralitas pelaku. Secara sederhananya bahwa moralitas yang dianut oleh pelaku atau seseorang, sangat berpengaruh dari dan terbentuk atas kontruksi moral lingkungan yang dijumpainya sejak kecil.
Dengan begitu, bukan berarti kita dengan gamblang dapat menjustifikasi atau menghakimi dengan menjatuhkan hukuman kepada pelaku tersebut. Namun, adanya konteks dari latar belakang yang membentuk moralitas seorang tersebut, sehingga melakukan tindakan korupsi.
Seorang yang melakukan korupsi diakibatkan karena adanya ketidakpedulian dengan lingkungannya. Tidak menutup kemungkinan pelaku berasumsi bahwa dirinyalah yang akan hidup di dunia. Sehingga pelaku tidak memikirkan lingkungan yang akan terkena dampak dari perbuatannya.
Dapat diartikan bahwa moralitas ini merupakan moralitas yang individualistik, yang di mana terbentuknya dari dekontruksi moralitas sekelompok masyarakat yang individualis. Individualis adalah seorang yang memikirkan dirinya sendiri, tanpa memikirkan lingkungan disekitarnya.
Lantas dari manakah sebenarnya moralitas atau watak individualistik ini bermula dan berkembang yang kemudian melakukan tindakan korupsi? Mengingat bahwa moralitas inilah yang dominan mempengaruhi seseorang dalam melakukan tindakan korupsi.
Adanya teori ekonomi liberal yang kemungkinan besar dapat membentuk dari watak atau moralitas ini. Teori yang diperkenalkan oleh Adam Smith ini menonjolkan kebebasan individu. Dengan kebebasan individu tersebut, dapat mengiring pada sebuah hasrat keinginan untuk menguasai dirinya dan orang lain.
Sehingga, terbentuknya suatu persaingan antar individu untuk megejar demi kepuasan diri. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pelaku korupsi dicirikan memiliki watak atau moral yang individualis dan kemungkinan besar dekat dengan liberalisme.
Maka dari itu, watak yang tersebut tidak lepas dari adanya sistim kapitalisme, yang di mana kepemilikan modal hanya dimilki oleh segelintir orang. Kalr Marx beranggapan bahwa kapitalisme merupakan suatu sistim yang bekerja antara kelas, dan mengakibatkan konflik atau pertentangan antar kelas.
Yang di mana seseorang yang memiliki kapital atau modal disebut dengan kelas penindas. Sedangkan, yang tidak memiliki modal terpaksa “menjual” dirinya kepada pemilik modal, yang disebut dengan kelas tertindas.
Menjual dalam arti: menyerahkan tubuhnya, tenaganya, waktunya, dan lain sebagainya, kepada pemilik modal. Pemilik modal tidak hanya memiliki keunggulan kuasa terhadap seorang yang telah menjual dirinya pada pemilik modal tersebut.
Namun lebih jauh lagi, seperti keunggulan penguasaan struktur kelas sosial, alat produksi, hingga sistem pemerintahan. Dengan demikian, tidak dipungkiri dapat menjadi superiotas budaya yang nantinya dapat dengan mudah diikuti oleh kelas tertindas. Dari sinilah teori hegemoni Gramsci berkembangkan.
Mengingat bahwa dasar kapitalisme adalah kebebasan individu yang bersifat materi. Maka, tidak menutup kemungkinan bahwa pemilik modal mengejar hal yang dianggapnya mewah atau suatu barang apapun, yang mana barang tersebut memiliki nilai lebih.
Dengan pola hidup pemilik modal yang mewah atau konsumerisme, maka secara implisit kaum tertindas melakukan pola hidup yang sama, hingga menjadikan sebuah budaya. Dengan demikian, watak konsumerisme berkembang memaksakan diri untuk memiliki dan mementingkan diri sendiri diluar dirinya.
Dengan berbagai cara, seperti: merampok atau mencuri uang, mencuri hp, mencuri motor, hingga merampok uang negara atau korupsi. Hal ini tentunya dalam upaya untuk mencari kesenangan dan kemewahan pada dirinya karena akibat dari adanya sistim kapitalisme.
Dengan begitu, pemilik modal memiliki kekuatan besar dalam menjalin kerjasama dengan penguasa yang akan mengantungkan dirinya sendiri tanpa melihat akibat yang terjadi atas perbuatannya. Contoh nyatanya adalah perampasan tanah, eksploitasi alam akibat tambang, dan lainnya.
Terlebih lagi ketika meligitimasi kebijakan-kebijakan yang telah dideklarasikan melalui proses legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan melalui tindakan gratifikasi oleh perusahaan pemilik modal tersebut. Alih-alih, keberadaan DPR yang anggotanya 55% adalah pengusaha.
Dari jumlah itu diantaranya 26% pemilik perusahaan, 43% direksi perusahaan, 23% komiaris perusahaan, 8% managerial perusahaan. Sehingga berpotensi konflik kepentingan semakin tinggi terkait dengan bidang usaha yang dimiliki dan rentan terjadinya tindakan korupsi.
Inilah moralitas rakus yang berkembang luas pada individu. Bukan mereka yang memiliki kesempatan saja, namun adanya konsep mementingkan diri sendiri. Sehingga terjadinya korupsi mulai dari pemimpin, anggota parlemen, hingga mengakar sampai ke pelosok desa dengan cara apapun untuk meraih kepuasan.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa permasalahan korupsi bukan hanya tentang hukum, dan bukan hanya persoalan moralitas pelaku saja. Namun lebih jauh lagi, pada urgensi ideologi politik yang dianut suatu negara.
Sehingga, dalam memberantas korupsi tidak hanya dengan penegakan hukum, dan pendidikan moral maupun agama saja. Akan tetapi, dengan mengubah paradigma ideologi ekonomi politik di negara yang liberal dan kapitalistik untuk menjadi sebuah negara yang lebih mengutamakan kepentingan kolektif.