Sudah lama rasanya kita disuguhkan pertunjukan kasus korupsi setiap harinya. Dari berbagai macam jenis kasus korupsi, banyak kasus korupsi mendera anggota parlemen dan pejabat eksekutif, baik dari tingkat menteri, gubernur hingga bupati.  

Semua dari mereka terjerat korupsi karena menerima suap, bermain proyek, manipulasi anggaran, memeras sampai penyalahgunaan wewenang sebagai pejabat publik. Dan hampir sebagian dari mereka adalah kader partai politik. Seperti yang dilansir akun Twitter KPKwatch_RI, terdapat 466 politikus yang terjerat kasus korupsi (Tempo, September 2014). Dan semua dari mereka adalah kader partai politik.

Hal ini bukan suatu yang aneh dan mengagetkan. Pasalnya, hampir dari semua posisi dan pos-pos di dalam struktur lembaga negara dari mulai lembaga legislatif, eksekutif hingga yudikatif dapat diisi oleh kader partai politik. Bahkan DPR sebagai institusi yang didominasi oleh kader-kader partai politik berhak melakukan fit and proper test dalam pemilihan kepala lembaga fungsional negara sampai lembaga adhoc, seperti Gubernur Bank Indonesia, Dirut BUMN, Ketua KPK, KY, MK, MA sampai Kapolri dan komisioner KPI.

Semua ini menunjukan bahwa begitu besarnya peranan partai politik dalam sistem politik dan kenegaraan kita saat ini. Dan semua ini juga memperlihatkan, bahwa partai politik sebagai lembaga pencetak pejabat publik, posisinya sangat strategis dan menentukan.

Namun apa lacur, peranan strategis partai politik ini justru malah menempatkan peringkat korupsi Indonesia ke peringkat 88, dari 168 negara. Survei Populi Center menyatakan bahwa DPR sebagai institusi yang didominasi oleh kader partai politik dinyatakan sebagai lembaga negara terkorup di negeri ini.

Bahkan survei ini juga menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sebagai lembaga yang “bersih”. Hanya 12,5 persen responden yang percaya pada partai politik (CNN Indonesia, Januari 2015). Alhasil, ketika partai politik sebagai lembaga yang memiliki posisi strategi dalam sistem politik dan kenegaraan kita justru menjadi lumbung korupsi, maka tindak pidana korupsi pun menjadi problem yang menggurita, mencengkram semua lembaga-lembaga negara.

Akan tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah masalah korupsi semata-mata masalah kebobrokan moral individu? Atau bagian dari akibat situasi tertentu yang mengondisikan seseorang untuk berbuat korup? Lantas, bagaimana alternatif penyelesaiannya?

Menakar Politik Biaya Tinggi sebagai Akar Persoalan

Biaya politik di Indonesia sangatlah mahal. Vivanews melansir di pemilu 2014 kemarin, total dana kampaye yang dihabiskan partai politik untuk menarik dukungan masyarakat mencapai Rp 3,1 triliun. Data-data tersebut juga memperlihatkan, Gerindra menempati urutan teratas sebagai partai yang menghabiskan dana kampanye terbesar, Rp 435 miliar.

Posisi kedua ditempati PDI Perjuangan dengan jumlah dana kampanye Rp 404,73 miliar. Selanjutnya Golkar berada di tempat ketiga dengan angka mencapai Rp 402 miliar. Partai Bulan Bintang (PBB) serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) tercatat sebagai partai dengan dana kampanye masing-masing yakni Rp 71,3 miliar dan Rp 52,9 miliar (Vivanews, April 2014).

Sedangkan biaya politik untuk Pilkada seperti pemilihan Bupati, Tempo memberitakan pengeluaran dana kampanye mencapai Rp 5,7 miliar. Dana itu bisa dirinci untuk berbagai keperluan, seperti pertemuan terbatas membutuhkan Rp 813 juta, pertemuan tatap muka Rp 819 juta, produksi iklan di media massa Rp 20 juta, penyebaran bahan kampanye untuk umum Rp 1,9 miliar, rapat umum Rp 766 juta, serta kegiatan lain yang tak melanggar aturan Rp 1,4 miliar (Tempo, Desember 2015).

Itu baru dana kampanye, yang dikeluarkan partai politik dan calon wakil rakyat ketika pemilihan itu berlangsung. Belum termasuk dana belanja pengorganisasian partai, meliputi biaya yang dikeluarkan partai untuk membiayai aktivitas rutin.

Aktivitas rutin meliputi rapat-rapat partai, biaya operasional kantor dan kesekretariatan partai, munas atau kongres partai, dan kunjungan fungsionaris partai ke cabang-cabang partai. Selain itu, ada pula aktivitas yang dilakukan pada momen-momen tertentu, tetapi diorganisasi partai secara kelembagaan, seperti ulang tahun partai dan momen perayaan lainnya.

Untuk kongres saja, partai menghabiskan dana sekitar 7 sampai 9 miliar rupiah. Dana tersebut sudah terhitung untuk semua biaya selama pelaksanaan kongres, seperti penginapan, transportasi dan konsumsi.

Bayangkan seberapa besar biaya untuk menggerakkan mesin partai di sekitar 33 provinsi dan 490-an kabupaten/ kota ketika terjadi momen konsolidasi nasional seperti kongres yang harus mendatangkan fungsionaris partai dari kabupaten/kota .

Dengan biaya sebesar inilah yang kemudian mendorong partai untuk memperoleh dana dengan berbagai cara, yang akhirnya memicu untuk terjadinya praktek “korupsi”. Upaya penggalangan dana yang pertama seringkali dilakukan oleh partai politik melalui aktivitas “perburuan rente”. Cara ini dilakukan oleh kader partai yang punya akses politik ke sumber dana negara untuk melakukan politik perburuan rente.

Lembaga-lembaga negara seperti kementerian, BUMN, dan parlemen dijadikan “sapi perah” oleh kader-kader partai dalam rangka menggalang dana politik. Biasanya, cara ini dilakukan dengan jalan bermain proyek, mark-up pengadaan barang, sampai manipulasi anggaran.

Kasus korupsi semacam skandal proyek Hambalang yang dulu sempat ramai, yang melibatkan politikus muda Anas Urbaningrum, Nazarudin dan Andi Malarangeng adalah salah satu contoh tindakan korupsi yang dilakukan dengan jalan aktivitas perburuan rente.

Aktivitas perburuan rente ini semakin diperkuat ketika sejumlah partai mematok dalam jumlah besar “setoran wajib” untuk partai kepada anggotanya yang menduduki jabatan publik demi memenuhi tuntutan biaya politik yang relatif tinggi, baik untuk kegiatan partai maupun keperluan kampanye.

Aturan tersebut kemudian memaksa kader partai yang menjadi pejabat publik untuk mencari penghasilan lain di luar penghasilan resmi. Dari sinilah muncul tindakan korupsi di mana kader partai akan terdorong untuk melakukan aktivitas perburuan rente di lingkungan lembaga negara. Kasus Damayanti adalah contoh dari kasus korupsi semacam ini.

Dan yang kedua, yang seringkali memicu terjadinya korupsi yakni adanya “perselingkuhan” antara bisnis dan politik. Perselingkuhan ini terjadi tak lepas dari akibat masih berkuasanya “konglomerat kroni” dalam struktur ekonomi Indonesia pasca Soeharto, yang bertemu dengan kondisi politik berbiaya tinggi.

Dengan kata lain, situasi politik biaya tinggi kemudian memberikan peluang kekuatan bisnis konglomerat kroni yang masih berkuasa untuk masuk dalam struktur pembiayaan partai politik. Sehingga tercipta hubungan “simbiosis mutualisme”, di mana kekuatan politik membutuhkan dana untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan kekuatan bisnis membutuhkan akses kebijakan untuk mempertahankan atau memperbesar kekayaan/ladang bisnisnya.

Analisa ini bisa digambarkan dengan ilustrasi, misalnya seorang yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, gubernur atau bupati dijatuhkan kepada kondisi untuk mengeluarkan biaya yang amat tinggi untuk memenangkan pertarungan kekuasaan, yang terkadang biayanya jauh lebih besar dari gajinya. Sehingga mau tak mau, ia harus melibatkan “aktor finansial” atau “kekuatan bisnis” sebagai sumber pendanaan apabila ia ingin memenangkan pertarungan kekuasaan. 

Untuk mengembalikan “jasa keuangan” yang besar itu, tak bisa ia hanya mengandalkan gajinya sebagai anggota DPR, atau sebagai gubernur/bupati selama satu periode. Maka mau tak mau, akhirnya ia harus memperjual belikan “kebijakan publik” kepada sektor bisnis yang dulu mendukungnya dalam pertarungan kekuasaan.

Kasus korupsi yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq adalah salah satu contoh kasus korupsi akibat pola semacam ini di mana Luthfi diduga ikut menerima suap dari PT Indoguna yang berhubungan dengan kebijakan impor sapi. 

Bahkan praktek korupsi dalam relasi simbiosis bisnis-politik semacam ini juga menyeret banyak kepala daerah yang mengeksploitasi sumber daya alam daerahnya dengan cara menyimpangkan strategi kebijakan untuk kepentingan kartel kelompok bisnis tertentu.

Dari kedua pola inilah kita melihat bahwa “politik biaya tinggi” telah menjadi alat “reproduksi” praktek korupsi. Ia menjadi mata rantai yang memproduksi sederet kasus korupsi untuk terus menerus bermunculan tanpa henti. Sehingga persoalan korupsi menjadi persoalan sistemik.

Bahkan lebih jauh, politik biaya tinggi telah menciptakan siklus hartawan menjadi penguasa: politik untuk menjadi hartawan, dan berharta demi kekuasaan politik. Disinilah kita melihat politik biaya tinggi adalah kondisi yang memberikan peluang bahkan mendesak moral seseorang untuk menjadi korup.

Alternatif yang mungkin

Persoalan korupsi dan politik biaya tinggi adalah persoalan sistemik yang pelik. Namun bukan berarti itu menutup segala alternatif yang bisa dilakukan untuk meminimalisir dan mengantisipasi. Artinya kita tak bisa menghilangkan seketika persoalan korupsi ini, namun ia bisa ditekan dengan alternatif yang mungkin sebagai sebuah tindakan preventif. Alternatif yang pertama yakni memaksa partai politik untuk lebih efisien dalam melakukan pembiayaan politiknya. Hal ini bisa dilakukan dengan memangkas beberapa pembiayaan yang sebenarnya tak perlu mengeluarkan biaya yang begitu mahal, seperti aktivitas rutin yang meliputi rapat-rapat partai, operasional kantor, munas atau kongres partai, dan kunjungan fungsionaris partai ke cabang-cabang partai. Aktivitas ini perlu diefisienkan mengingat ke-efektivan sebuah aktivitas bukan ditentukan oleh besarnya pembiayaan. Bahkan seringkali aktivitas yang tak substansial justru mengeluarkan biaya yang amat tinggi.

Kedua, partai politik harus mengubah diri untuk tidak bergantung pada seorang tokoh. Namun pada kualitas anggotanya. Karena hampir semua partai yang ada di Indonesia sangat bergantung pada sosok seorang tokoh, yang terkadang justru membangun jejaring patronase. Yang pada akhirnya memungkinkan terjadinya politik transaksional yang hanya melibatkan segelintir orang didalam partai. Ketiga, partai politik harus berfungsi sebagai ruang pendidikan politik agar para anggotanya mampu menyerap dan menerjemahkan aspirasi rakyat. Sehingga tak ada lagi upaya “memoles citra” yang dilakukan oleh kader parpol dalam rangka meraih simpati publik di konstes pemilihan. Karena usaha memoles citra inilah yang kerap memakan biaya yang amat tinggi dalam kampanye politik.

Dan yang terakhir, serta yang paling penting, yakni partai haruslah berfokus bagaimana bekerja untuk rakyat. Bukan malah memupuk kekayaan. Karena pada hakikatnya diadakannya partai politik dalam sistem politik demokrasi adalah untuk menjalankan aspirasi rakyat banyak. Bukan orang per orang. Mungkin ini alternatif yang paling penting dari alternatif yang lain untuk menekan angka korupsi yang dilakukan oleh kader parpol serta jalan satu-satunya jika parpol ingin mendapat kepercayaan dari rakyat.

#LombaEsaiPolitik