Masalah korupsi selalu menjadi berita yang hangat diperbincangkan. Ia seperti suara sumbang yang tidak enak didengarkan tetapi tetap saja disenandungkan untuk didengarkan. Ia memiliki daya rusak seperti kanker mematikan. Tidak ada yang mengharapkan kehadirannya. Tetapi saat kanker tumbuh dalam tubuh suatu organisme, sulit untuk dihilangkan dan secara perlahan dapat membunuh organisme tersebut. Semua fungsi kehidupan dalam organisme bernama Negara menjadi terganggu karena korupsi yang seperti kanker itu.
Di negara yang mengidap penyakit korupsi kronis, semua tugas negara—seperti pembangunan, pelayanan publik, distribusi sumberdaya, kekuasaan, dll—tidak dapat berjalan dengan baik. Akibatnya rakyat tidak sepenuhnya menikmati kehadiran negara. Sebenaranya persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialamai oleh warga negara hanyalah simptom yang menandakan bahwa dalam tubuh penyelenggara negara ada infeksi kronis. Dan salah satu infeksi itu hari-hari kita dengarkan adalah korupsi.
Beberapa waktu lalu 41 anggota DPRD Malang ditersangkakan oleh KPK sebagai lembaga anti rasuah di negara kita. Belum lagi berita para pejabat negara lainnya sampai para kepala desa yang terlibat kasus korupsi. Hal ini benar-benar menandakan bahwa korupsi adalah penyakit kronis yang menyerang tubuh negara kita yang bernama Indonesia.
Di sini muncul satu pertanyaan yang cukup pelik untuk dijawab: “Apa yang menyebabkan tindakan korupsi itu terjadi?”
Tidak sedikit orang yang memberikan jawaban bahwa korupsi terjadi karena kurangnya moralitas bangsa kita. Sehingga solusinya adalah pendidikan moral terutama sejak di dalam lingkungan keluarga. Pendapat ini tidak bisa dipungkiri ada benarnya. Tetapi pendapat ini cukup mudah terbantahkan. Sebab seringkali para pelaku korupsi justru adalah orang-orang mengerti persoalan moral. Juga tidak jarang adalah mereka yang awalnya punya integritas moral namun rusak ketika masuk dalam sistem yang korup.
Hal ini tentu masih debatable karena cukup sulit untuk membuktikan secara detail pernyataan itu. Tapi di sini kita bisa mengerti satu hal bahwa korupsi bukan hanya terkait persoalan moralitas. Berikut ini akan diuraikan beberapa pandangan teoritis untuk menjawab apa penyebab korupsi.
Pertama, Teori Sekema Cara-Tujuan yang diperkenalkan oleh Robert Merton. Teori ini menyatakan bahwa korupsi itu disebabkan oleh tingginya motivasi untuk kaya (tekanan sosial) namun memiliki akses yang terbatas ke sumber daya ekonomi, sehingga untuk menjadi kaya seseorang harus melakukan cara-cara di luar kaidah-kaidah normatif. Dorongan untuk menjadi kaya menjadi satu tekanan sosial sebab dalam banyak masyarakat, menjadi kaya adalah sebuah prestise yang cukup membanggakan. Apalagi oleh mereka yang sedang menduduki jabatan prestisius.
Korupsi menurut Merton adalah sikap yang termotimvasi oleh desakan-desakan struktur sosial untuk sukses secara ekonomi yang berakibat pada pelanggaran norma- norma sosial untuk mencapainya. Hal seperti ini terjadi pada orang-orang yang memiliki akses terbatas untuk menjangkau sumberdaya ekonomi yang ada, tetapi memiliki motivasi yang tinggi untuk sukses secara ekonomi sehingga mereka melakukan cara-cara di luar aturan normatif (skema cara-tujuan).
Sayangnya pandangan ini masih sulit untuk menjelaskan mengapa justru orang-orang kaya yang memiliki akses ke sumberdaya ekonomi yang sering terlibat kasus korupsi (cara-cara pencapaian di luar norma-norma sosial).
Kedua, Moral ekonomi korupsi. Pandangan ini merujuk pada suatu tradisi ekonomi masyarakat purba atau masyarakat pra-kapitalis. Prinsip ekonomi ini berbasis pada tiga hal pokok: mutuality (hubungan saling menguntungkan), reciprocity (bersifat timbal balik), dan solidarity (solidaritas).
Menurut Alhumami untuk mewujudkan ketiga hal pokok itu, maka seluruh aktivitas ekonomi digerakkan melalui pola jaringan patronase (patron-clientage) terutama dalam dua hal: (1) mengalokasikan sumberdaya ekonomi dan (2) memberikan proteksi agar sumberdaya ekonomi itu hanya dimiliki oleh kelompok mereka. Seorang patron adalah orang yang memiliki akses langsung ke sumberdaya ekonomi, sehingga orang-orang yang memperoleh keuntungan finansial adalah mereka yang punya hubungan dekat dengan sang patron.
Bentuk-bentuk moral ekonomi pra-kapitalis ini dapat dijumpai dalam praktik- praktik korupsi saat ini. Setidaknya praktik korupsi melibatkan tiga aktor kunci, yakni: pejabat negara yang punya akses ke sumberdaya ekonomi (APBN), anggota DPR selaku pihak yang menyetujui penggunaan APBN, dan pengusaha yang berkepentingan dengan proyek-proyek yang didanai dengan APBN.
Ketiga, Familisme yang tak bermoral dari Edward Banfield. Perspektif ini berasumsi bahwa korupsi itu merupakan ekspresi perasaan wajib membantu, memberikan keuntungan bagi orang-orang yang sudah menanam budi terutama sekali pada keluarga, teman-teman dan anggota kelompok.
Konsep seperti ini lebih akrab dikenal dengan istilah “nepotisme” dimana orang tak perduli dengan kapasitas diri seseorang, asalkan ia keluarga atau teman dekat, berkualitas atau tidak dia tetap harus diprioritaskan. Di Indonesia, hal semacam ini banyak dijumpai dalam praktek-praktek politik di tingkat nasioanal sampai daerah. Disebut “familisme yang tak bermoral” karena prinsip ini lebih mengedepankan kewajiban menolong keluarga dan mengabaikan pertimbangan profesionalitas dan perbaikan lembaga yang melayani orang banyak.
Keempat, teori institusi politik dan ekonomi dari Daron Acemoglu dan James A. Robinson. Menurut teori ini, korupsi tumbuh subur dalam sebuah institusi politik dan ekonomi yang bersifat ekstraktif. Institusi politik ekstraktif adalah institusi politik yang ditandai dengan adanya segelintir orang yang mengendalikan kekuasaan, memiliki kontrol yang lemah terhadap penggunaan kekuasaan itu, sehingga memaksa kaum elit politik untuk mengerhkan institusi ekonomi untuk menguasai sumber daya yang ada dalam masyarakat demi melanggengkan kekuasaannya.
Pada sistem politik-ekonomi yang ekstraktif, perekonomian dan kekuasaan politik sepenuhnya dikendalikan dan dinikmati oleh penguasa dan kolega-koleganya. Sedangkan masyaralat lain tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati kemakmuran. Dalam sistem seperti ini, orang baikpun pada akhirnya tidak mememiliki pilihan lain selain mengikuti sistem ekstraktif yang ada.
Dari keempat perspektif teori di atas, dapat disimpulkan kembali bahwa korupsi itu bukan sekadar persoalan moralitas. Sehingga untuk mencegahnya korupsi tidak cukup hanya dengan kampanye tentang perlunya moralitas.
Justru Edward Banfield dengan teori familisme tak bermoralnya dan teori moral-ekonomi korupsi menunjukkan bahwa tanggung jawab moral untuk membantu keluarga dan orang-orang berjasa di sekitar serta kehendak untuk melidungi akses sumber daya untuk orang-orang di sekeliling kita justru bisa menjadi pemicu untuk melakukan korupsi. Ukuran menjadi baik adalah ketika kita menjadi seorang pejabat yang royal dan mampu mendistribusikan kekayakaan kepada para kolega dan keluarga.
Juga seperti ditunjukan oleh Acemoglu dan Robinson, sistem politik-ekonomi yang ekstraktif (yang korup) justru menjadi pemicu korupsi dan ketidak adilan dalam kehidupan bernegara. Dalam sistem seperti ini, korupsi adalah bahasa keseharian yang memuluskan proses birokrasi. Karena itu, korupsi menjadi sesuatu yang banal dan tidak terpikirkan lagi tentang apa dampaknya pada masyarakat.
Seperti membuang sampah sembarangan, kita tidak pernah berpikir tentang dampaknya terhadap keseimbangan ekologi dan kesehatan lingkungan. Yang terpenting adalah relasi saling menguntungkan antara segelintir orang yang terlibat di dalam penyelenggaraan negara dan kolega-koleganya.