"Didiklah Pemerintah dengan Perlawanan dan didiklah Masyarakat dengan Organisasi" Pramoedya Anantatoer.

Disadari atau tidak sedari dulu Organisasi mempunyai peran yang besar dalam membawa perubahan didunia, terkhususnya di Indonesia sendiri.

Sedari Masa Pra-Kemerdekaan hingga hari ini Organisasi selalu dan masih melahirkan orang-orang yang berpemikiran besar, berbekal intelektual dan analisis yang tajam, mereka melahirkan gagasan-gagasan solutif dan melakukan upaya-upaya pembaharuan demi tercapainya cita-cita Kesejahteraan.

Hanya saja, belakangan ini Pasca Reformasi terlihat seperti ada Patologi yang merebak pada Organisasi-organisasi di Indonesia. Patologi tersebut kian hari kian terlihat dengan kontras, kian hari kian menyebar mengakar pada tubuh Organisasi.

Dari beberapa fenomena yang saya temui dikampus, khususnya dikalangan mahasiswa yang mengikuti Organisasi (kita sebut saja aktivis) terdapat beberapa Patologi yang dianggap seolah lumrah.

Kita ambil beberapa sampel; ada yang  ambisius menduduki jabatan, punya kenalan sana-sini lah agar dikemudian hari mendapat pekerjaan, bahkan rela mengesampingkan kuliahnya bertahun-tahun dengan dalih 'ngurusi Organisasi', tidak sedikit juga saya lihat ber-orientasi Profit, dan masih banyak varian lainnya.

Sedikit me-refleksi, sekilas kita kembali ke masa Pra-Kemerdekaan Indonesia. Di masa itu, bukankah kita sama-sama tau bahwa para pemikir kita; Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka serta pejuang tokoh lainnya merupakan Mahasiswa yang juga terjun kedalam dunia Organisasi? Bukankah Organisasi pada waktu itu mereka jadikan sebagai alternatif pembelajaran tambahan selain kelas?

Dan bukankah jelas Organisasi pada waktu itu melahirkan manusia-manusia pemikir dengan spirit perjuangan untuk bangsa? Lantas kenapa hari ini yang terlahir hanyalah seonggok daging yang arogan, emosional dan berpemikiran kerdil? Ok cukup, Mari kita sedikit berdiskusi.

Organisasi yang seharusnya menjadi salah satu sumber pelahiran solusi dan gagasan, hari ini berubah menjadi salah satu ladang masalah yang kompleks, yang turut harus diperhatikan dan diperbaiki.

Kita kembali pada masa orde baru tepat menjelang terjadinya reformasi, (baca buku Anak-anak Revolusi, karya Budiman Sudjatmiko) era itu organisasi PRD dengan tekun mengadakan diskusi-diskusi ilmiah diberbagai kampus dan daerah-daerah baik kepada mahasiswa maupun masyarakat, mereka juga melakukan advokasi sebagai bentuk konkret selayaknya aktivis yang memperjuangkan masyarakat.

Bahkan mereka menjadi garda terdepan dalam menentang rezim waktu itu, Mereka tidak gentar ketika menerima tindakan represif dari aparat, mereka rela ketika harus disiksa, dibui hingga mengorbankan nyawanya demi menyuarakan keadilan. (bisa baca novel Laut Bercerita, karya Leila S. Chudori)

Berbeda jauh dengan realitas aktivis hari ini, Proses dengan protes, siangnya demonstrasi meneriakkan kata ‘lawan’ malamnya bersandar lelah dengan sang pujaan. Cuaca hujan dan panas jadi alasan menunda pekerjaan, diputusin langsung ngilang dari organisasi, tugas pengkaderan berubah menjadi ‘pem-baperan’.

Bagaimana intelektual dan analisis tidak tumpul apabila masa-masa menjadi mahasiswa dihabiskan dengan hal-hal yang tidak menunjang perkembangan, euforia semata.

Teramat banyak mahasiswa hari ini yang masuk organisasi hanya untuk memenuhi hasrat (please organisasi bukan pemuas hasrat), fenomena seperti ini benarlah miris dan menjadi ancaman yang serius didunia Organisasi sendiri.

Ruang-ruang proses yang seharusnya melahirkan gagasan dan perubahan dikontaminasi hingga berubah menjadi ruang kontestasi kepentingan, Gerakan-gerakan dilakukan sebagai investasi untuk menggapai kekuasaan dimasa depan.

Alih-alih kaderisasi padahal kooptasi! Menggadaikan Idealisme demi janji manis senioritas! Positioning aktivis yang seharusnya bersama masyarakat berubah menjadi bersama para oligarki.

Sudah terjadi pergeseran orientasi yang cukup lebar pada aktivis hari ini, sosok yang dibanggakan sebagai Agent Of Change dan social of control kini telah menjadi mitos belaka. Aksi-aksi yang dilakukannya hanya sebatas reaksioner, berujung vandalisme dan tidak solutif.

Pada akhirnya kegiatan-kegiatan Organisasi yang seharusnya menjadi momen pembelajaran dan pengembangan dengan sekejap disulap menjadi pemuas hasrat kepentingan dan ajang eksistensi, bahkan tidak sedikit juga saya melihat organisasi disulap menjadi arena tinju UFC dan sangkar kursi bersayap.

Lalu pertanyaannya, dimanakah letak masalahnya? Yap, penulis rasa ada di bagian Kaderisasi-nya. Saya sepakat dengan statement, “Kaderisasi merupakan jantung Organisasi” karena melalui kaderisasi lah proses-proses jati diri aktivis terbentuk dan menjadi kokoh.

Halnya apa yang dikatakan Tan Malaka, “Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk”.

Perumusan formula Kaderisasi pum haruslah representatif dari tujuan Organisasi dan benturan proses kaderisasinya harus mempunyai output pada; mental, intelektual dan Spiritual.

Jika serangkaian proses kaderisasinya di isi dengan hal-hal yang tidak esensial dan ber-orientasi kepentingan, yang terlahir hanyalah sosok yang arogan, berpemikiran dangkal, gila jabatan dan anarkis. Hanya se-sosok ‘sampah’ yang bahkan tidak akan bisa didaur ulang, sekali lagi penulis tegaskan, ‘Hanya akan ada se-sosok SAMPAH!’.

Dimulai dari berubahnya fungsi Kaderisasi hal itu mempengaruhi pula pada aktivis yang terlahir, dan tentunya akan sangat berpengaruh pula pada aspek-aspek lainnya.

Jargon yang mengatakan bahwa, ”Orang besar terlahir dari Organisasi” semakin hari menjadi semakin bias, kejenuhan terhadap organisasi hanya tinggal menghitung waktu.

Mengutip kata-kata Auguste Comte seorang bapak Sosiologi dalam buku Pengantar Sosiologi karya George Ritzer, “Rusaknya kondisi sosial disebabkan oleh rusaknya intelektual”, dalam artian aspek Intelektual merupakan aspek terpenting dalam kehidupan.  

Perawatan Tradisi-tradisi Intelektual perlu digaungkan kembali diranah Kampus dan Organisasi, agar senantiasa mengingatkan bahwa dalam berproses seharusnya kita MENGABDI! bukan BERKARIR! Dan Proses sama pentingnya dengan hasil!

Terakhir, sebagai bahan refleksi kritis kita bersama penulis kutip beberapa kata-kata yang selalu menjadi pegangan penulis agar tetap berusaha istikamah dalam mengembangkan diri dan setia terhadap proses:

GusDur, “ Jadilah Akademisi yang berjiwa Aktivis dan jadilah Aktivis yang akademis”.

Gus Mus, “Gelar sarjana bukanlah sebuah prestasi, baru disebut prestasi ketika bermanfaat bagi sesamamu”.

Karl Marx. “ revolusi akan terjadi dengan sendirinya melalui pembangkitan kesadaran”

Wiji Thukul, “Apa guna punya ilmu tinggi kalau hanya untuk mengibuli, apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu”.

Nasihat-nasihat sang guru Abah KH. Asep Syaifuddin Chalim yang senantiasa meng-inspirasi dan memotivasi dalam proses belajar.

Sang Guru penulis, Nur Sayyid Santoso Kristeva dalam pengantar buku Manifesto Wacana Kiri, “Apakah mungkin kader yang tolol dan dungu dengan segudang kemiskinan pengetahuan dalam otaknya mampu melakukan perubahan! Tampaknya suatu hal yang mustahil”.

Dan kata-kata penulis sendiri, “Bukan hanya tubuh yang perlu diperhatikan asupan nutrisinya, melainkan otak sekalipun perlu diperhatikan asupan nutrisinya demi terjaga dari kecacatan dalam berfikir dengan membaca dan berdiskusi”.

Panjang umur Perlawanan, Panjang umur nafas Perjuangan.

Semoga Bermanfaat.


Catatan:

Ada 2 hal yang melatarbelakangi Tulisan ini; Pertama, sebagai Refleksi Kritis dan curhatan. Kedua, mengasah skill menulis yang sempat terhenti cukup lama.

Seperti biasa, penulis berharap pembaca bisa bekerja sama untuk memaklumi dan membantu penulis dengan memberi masukan agar menjadi lebih baik di tulisan selanjutnya.

Mohon maaf dan Terimakasih Banyak..