Aceh dan Kopi Itu ibarat Adam dan Hawa dalam kisah klasik baik di Islam, Nasrani maupun Yahudi. Selain itu ada ganja yang dianggap narkoba oleh negara dan diharamkan oleh sebagian ulama dan dimubahkan ulama lainnya.

Bicara Aceh juga bicara konflik vertikal yang menyeret konflik horizontal yang harusnya para aktornya dihukum bukan dijadikan Menteri dan Gubernur, Aceh lab pelanggaran HAM terberat yang hingga kini pelanggarnya masih berkhotbah tentang moral.

Para pakar pasti penasaran bercampur tak percaya rakyat Aceh masih mampu bangkit, melahirkan para pemikir, melahirkan para politisi, melahirkan para guru besar di Universitas. Jawaban-jawaban ilmiah pun dilontarkan melalui penelitian-penelitian sosial yang dilakukan ilmuwan dalam dan luar negeri.

Sebelumnya sekadar mengingatkan, tahun 2004 penulis sempat tenggalam oleh tarian Tsunami, sempat pula melihat tumpukan mayat manusia, artinya pasca konflik RI-GAM Aceh kembali diuji bencana alam pula. Lalu mengapa rakyat Aceh mampu kembali melanjutkan hidupanya, bahkan dalam kehidupan berdemokrasi Aceh satu-satunya Propinsi yang memiliki parlok. Aceh menjadi perintis Cagub/Cabup/Cawalkot jalur independen.

Setelah berpikir mendalam tanpa literatur atau bacaan dari para pakar ekonomi-sosbud, psikolog, penulis akhirnya menemukan jawaban yang subjektif, Aceh ternyata memiliki minuman surga, kita mengenalnya dengan sebutan kopi. Teman-teman dihalalkan gak percaya dengan jawaban itu, namun teman-teman diharamkan untuk tidak meneliti manfaat kopi bagi kawasan yang di sapa konflik dan bencana.

Saya percaya bahwa kopi adalah minuman perdamaian, minuman cinta, minuman Pancasila. Loh kok minuman Pancasila? Warung kopi di Aceh tak membatasi agama, suku, dompet, tampang, berbeda-beda tetap kopi minumannya.

Tradisi minum kopi selepas kerja atau bahkan di jam kerja sempat membuat seorang rektor protes, katanya itu budaya buruk, melalaikan, tentu pak rektor belum melakukan penelitian mendalam, sekedar asumsi yang emosional, budaya pola pikir fundamental dalam melihat sebuah fenomena.

Kopi minuman surga tentu saja realitas ngopi di warung kopi merupakan tradisi yang tak dapat dilarang, tradisi itu sekilas melalaikan, tak produktif bahkan diklaim dapat merusak generasi. Asumsi yang tak berdasar itu merupakan ketakutan, fatalistik thinking, dan bahkan kontraproduktif.

Bagi Aceh yang menerapkan syariat Islam secara formal, tradisi minum kopi di warung kopi kemudian hari bisa menjadi satu tradisi yang diharamkan, indikasi ke arah itu mulai kelihatan bila para pengambil kebijakan diberi pemahaman bahwa ngopi dapat membawa manusia ke surga, menjalankan syariat Islam di warung kopi.

Sebagai contoh penulis ajak mengunjungi Gerobak Arabica, sebuah warkop yang memiliki Program Sanger for Yatim. Gerobak Arabica yang terletak di Pango Raya Kota Banda Aceh itu, setiap Jumat mengajak peminum sanger (Sanger adalah campuran kopi, susu, teh yang kopi masih hegemoni di dalamnya) untuk bersedekah.

Setiap pengunjung yang minum Sanger berarti menyumbang ke anak yatim-piatu, manajemen Gerobak Arabica tidak mengambil satu rupiah pun hasil penjualan sanger. harga sanger 11 ribu rupiah setiap gelas, 100% uang itu dimasukan dalam kotak sedekah. Kalaupun uang kita tak sampai seharga Sanger, kita tetap boleh minum Sanger di Gerobak Arabica asalkan uang tersebut dimasukan dalam kotak sedekah.

Nah, terobosan Gerobak Arabica ini dapat ditularkan ke warkop seluruh Indonesia, Kopi menjadi minuman surga, kopi dapat menjadi minuman menolong sesama sehingga tak perlu menunggu pemerintah untuk melakukan kesalehan sosial sekaligus menikmati kopi serta membangun jaringan di warung kopi.